Nunukan Zoners : Hubungan dua bangsa serumpun Indonesia-Malaysia kini tengah mencapai titik paling kritis. Sejak Petronas, perusahaan minyak milik Malaysia, memberikan konsesi pengeboran minyak di lepas pantai Sulawesi yaitu di Blok Ambalat kepada Shell (perusahaan milik Inggris dan Belanda) 15 Februari lalu, hubungan kedua negara tetangga tersebut mengalami ketegangan yang mencemaskan. Dalam pekan pertama Maret 2005, sudah beberapa kali kapal-kapal perang RI dan Malaysia berhadap-hadapan, nyaris baku tembak. Untung keduanya masih menahan diri. Seandainya salah satu pihak menembak, niscaya perang terbuka akan meletus. Jika sudah demikian, hubungan RI-Malaysia pun akan makin tegang dan menyeret konflik yang lebih luas.Yang menjadi pertanyaan kita: kenapa Malaysia punya sikap senekat itu tanpa mengindahkan tatakrama hubungan antarnegara ASEAN? Pertanyaan itu agaknya tak mudah dijawab. Banyak hal yang menyebabkan kenapa negeri jiran itu tiba-tiba berambisi menduduki Ambalat. Salah satunya, karena di Blok Ambalat terkandung minyak dan gas bumi yang nilainya amat besar, mencapai miliaran dolar. Tapi ada alasan lain yang tampaknya menjadi pertimbangan dalam pendudukan Ambalat: Indonesia tengah mengalami krisis kepercayaan, korupsi, dan pengikisan dari dalam sehingga posisi Indonesia jika berkonflik dengan Malaysia niscaya kalah! Malaysia secara geografis dan populasi memang kecil, bukan tandingan Indonesia. Tapi dilihat secara militer khususnya jumlah peralatan militer canggih Malaysia unggul dibanding Indonesia. Malaysia punya uang, tak punya utang, dan sewaktu-waktu bisa membeli peralatan militer secara kontan. Jadi meski secara kuantitas dia kecil, tapi secara kualitas dia besar. Dari sini tampaknya kita bisa mengerti mengapa Malaysia punya keberanian menantang Indonesia. Belum lagi posisi Malaysia sebagai anggota Negeri Persemakmuran di bawah Kerajaan Inggris. Di antara negara-negara anggota persemakmuran (Commenwealth States), termasuk di dalamnya Australia dan Kanada ada traktat kerjasama militer jika terjadi serangan kepada salah satu anggotanya.Uji coba Dari gambaran di atas, barangkali kita bisa mengerti kenapa Malaysia suka ''mempermainkan'' Indonesia untuk uji coba. Uji coba tersebut dilakukan Malaysia dengan menunggu momen yang tepat. Sebagai gambaran, kita bisa melihat uji coba Malaysia dalam penguasaan Pulau Sipadan dan Ligitan. Ketika Bung Karno masih berkuasa dan berani menggertak Malaysia, negeri itu seakan tiarap. Pada tahun 1961, Indonesia memberikan konsesi penambangan minyak kepada berbagai perusahaan, termasuk Shell. Malaysia hanya menonton, tak berani berani berbuat apa-apa. Maklumlah Bung Karno terkenal dengan keberaniannya melawan penjajah. Jangankan Malaysia, Inggris dan AS pun ditantangnya. Waktu terus bergulir. Ketika Indonesia diperintah Soeharto, Malaysia bikin uji coba lagi. Kuala Lumpur tahun 1979 membuat peta Malaysia dengan memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan. Tahun 1980, Indonesia protes. Protes itu diikuti Singapura, Filipina, Thailand, Vietnam, Cina, Taiwan, dan Inggris. Malaysia tak berani berbuat lebih jauh dari sekadar membuat peta. Tapi, tiba-tiba tahun 2000, Malaysia membawa masalah dua kepulauan itu ke International Court of Justice (ICJ). Rupanya selama 'sembunyi' itu, Malaysia mempersiapkan segalanya untuk membawa kasus Sipada-Ligitan ke ICJ. Indonesia yang saat itu sedang berada di titik nadir secara ekonomi, politik, dan militer setelah tumbangnya Orde Baru, tak siap menghadapi tuntutan Malaysia. Akhirnya pada tahun 2002, ICJ memutuskan Malaysia sebagai pemilik kedua pulau tersebut. Uji coba Malaysia untuk memperdayai Indonesia berhasil. Keyakinan seperti itu pula yang tampaknya membuat Malaysia kemudian makin rajin 'mengerjai' Indonesia. Cukong-cukong kayu Malaysia membeli kayu dan membiayai pencuri kayu dari Kalimantan dan Papua. Lantas, maraklah illegal logging yang dudukung dengan dana dari para pengusaha kayu Malaysia. Pemerintah Malaysia menutup mata terhadap kasus mafia illegal logging yang merugikan Indonesia. Jangankan Kuala Lumpur menangkap penadah kayu curian asal Indonesia, yang terjadi malahan memutihkan kayu ilegal itu menjadi legal. Kayu-kayu curian asal Indonesia itu diberi label legal oleh Kuala Lumpur dan selanjutnya dijual ke Eropa dan Jepang, baik dalam bentuk log, setengah jadi, maupun produk furnitur. Di Malaysia pun tumbuh industri kayu lapis dengan cepat. Bahan-bahan dari kayu curian tadi. Pemerintah Indonesia yang korup dan lemah, lagi-lagi tak bisa berbuat apa-apa terhadap mafia illegal logging yang berada di Malaysia. Tragisnya lagi, banyak warga Indonesia yang bekerja di perusahaan-perusahaan kayu lapis dan furnitur di Malaysia. Ibaratnya sang pemilik bekerja pada pencuri! Tragis memang. Dan lebih tragis lagi, pemerintah Malaysia selalu melindungi mafia kayu curian tersebut. Pemerinah Indonesia sudah menuntut penahanan mafia kayu itu. Tapi Kuala Lumpur tak mau menghukum warganya. Walhasil, pemerintah Indonesia tak bisa berbuat apa-apa terhadap cukong-cukong kayu Malaysia itu. Indonesia terlalu lemah untuk menangkap para cukong kayu asal Malaysia tadi. Di Indonesia cukong-cukong itu bagaikan raja. Mereka mampu mengendalikan aparat keamanan, pemda, dan birokrasi terkait yang berhubungan dengan perkayuan. Di Malaysia cukong-cukong itu bak pahlawan. Uji coba berikutnya adalah masalah TKI ilegal. Betul, Malaysia menghukum semua tenaga kerja ilegal dari mana pun. Tapi siapa pun tahu, tenaga kerja pendatang paling banyak berasal dari Indonesia (TKI). Jadilah masalah pendatang haram ini adalah masalah TKI ilegal. Yang jadi persoalan, kenapa banyak TKI ilegal di Malaysia? Apakah hal itu terjadi tanpa peran majikan di Malaysia. Ternyata yang terjadi adalah, majikan di Malaysia lebih suka memakai TKI ilegal. Ini karena mereka gampang diatur, proses rekrutmennya tak berbelit, dan mudah diputus tanpa ribut-ribut. Karena majikan di Malaysia senang memakai TKI ilegal, maka banyak TKI yang semula legal menjadi ilegal. Persoalannya: kenapa pemerintah Malaysia hanya keras terhadap TKI ilegal tanpa mau bersikap keras terhadap warganya yang sengaja menjadi penadah TKI ilegal? Belum lagi masalah-masalah penganiayaan, pelecehan seksual, dan tak dibayarnya sejumlah TKI selama bekerja pada perusahaan tertentu. Lobi-lobi tingkat tinggi yang dilakukan Jakarta untuk membela TKI ilegal tampak kurang greget. Jakarta kurang berani menggebrak untuk membela warganya. Bandingkan dengan Filipina. Jika satu orang saja tenaga kerjanya di luar negeri dirugikan, presiden dan seluruh rakyat Filipina akan marah. Ingat kasus Sarah Balabagan di Uni Emirat Arab (UEA) beberapa tahun lalu yang dituduh membunuh majikannya. Presiden Ramos langsung terbang ke Abu Dhabi melobi raja UEA. Jutaan rakyat Filipina tumpah ruah di jalan-jalan Manila untuk menuntut pembebasan Balabagan. Akhirnya, Uni Emirat Arab pun membebaskannya! Tapi Indonesia? Alih-alih membela ketidakberdayaan TKI ilegal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) malah memahami hukum yang berlaku di Malaysia. Hukum apa? Hukum untuk membela kepentingannya sendiri seperti hukum illegal logging? Mengapa Kuala Lumpur tak menghukum perusahaan yang memberi tempat pada TKI ilegal dan menipu mereka? Dalam kasus TKI ilegal, lagi-lagi pemerintah Indonesia menunjukan kelemahannya di mata Kuala Lumpur. Malaysia pun makin di atas angin bila berurusan dengan Indonesia. Bukankah Jakarta hanya macan ompong? Dalam kondisi yang lebih percaya diri itulah, kemudian Kuala Lumpur mencaplok Ambalat. Alasannya, berdasarkan peta tahun 1979, wilayah laut Ambalat masuk dalam teritori Malaysia. Masuknya Sipadan dan Ligitan dalam wilayah Malaysia yang dikukuhkan ICJ, makin menambah keyakinan Malaysia atas kebenaran klaimnya. Padahal, peta tersebut telah diprotes dunia internasional. Sekarang persoalannya kembali ke Indonesia! Apakah Jakarta akan terus mengalah dan memahami hukum Kuala Lumpur? Jika dulu Bung Karno berani menggertak Malaysia. Jangan tunjukkan kelemahan dengan kata-kata diplomasi dan dialog untuk menyelesaikan kasus Ambalat. Tapi berbuatlah sesuatu untuk menekan Malaysia. (icmi)
Mimpi masa kini adalah kenyataan hari esok.
Anda bisa, jika Anda berpikir bisa, selama akal mengatakan bisa. Batasan apakah sesuatu masuk akal atau tidak, kita lihat saja orang lain, jika orang lain telah melakukannya atau telah mencapai impiannya, maka impian tersebut adalah masuk akal.
Menuliskan tujuan akan sangat membantu dalam menjaga alasan melakukan sesuatu.
Senin, 02 Maret 2009
TKI, Illegal Logging, dan Kasus Ambalat
Nunukan Zoners : Hubungan dua bangsa serumpun Indonesia-Malaysia kini tengah mencapai titik paling kritis. Sejak Petronas, perusahaan minyak milik Malaysia, memberikan konsesi pengeboran minyak di lepas pantai Sulawesi yaitu di Blok Ambalat kepada Shell (perusahaan milik Inggris dan Belanda) 15 Februari lalu, hubungan kedua negara tetangga tersebut mengalami ketegangan yang mencemaskan. Dalam pekan pertama Maret 2005, sudah beberapa kali kapal-kapal perang RI dan Malaysia berhadap-hadapan, nyaris baku tembak. Untung keduanya masih menahan diri. Seandainya salah satu pihak menembak, niscaya perang terbuka akan meletus. Jika sudah demikian, hubungan RI-Malaysia pun akan makin tegang dan menyeret konflik yang lebih luas.Yang menjadi pertanyaan kita: kenapa Malaysia punya sikap senekat itu tanpa mengindahkan tatakrama hubungan antarnegara ASEAN? Pertanyaan itu agaknya tak mudah dijawab. Banyak hal yang menyebabkan kenapa negeri jiran itu tiba-tiba berambisi menduduki Ambalat. Salah satunya, karena di Blok Ambalat terkandung minyak dan gas bumi yang nilainya amat besar, mencapai miliaran dolar. Tapi ada alasan lain yang tampaknya menjadi pertimbangan dalam pendudukan Ambalat: Indonesia tengah mengalami krisis kepercayaan, korupsi, dan pengikisan dari dalam sehingga posisi Indonesia jika berkonflik dengan Malaysia niscaya kalah! Malaysia secara geografis dan populasi memang kecil, bukan tandingan Indonesia. Tapi dilihat secara militer khususnya jumlah peralatan militer canggih Malaysia unggul dibanding Indonesia. Malaysia punya uang, tak punya utang, dan sewaktu-waktu bisa membeli peralatan militer secara kontan. Jadi meski secara kuantitas dia kecil, tapi secara kualitas dia besar. Dari sini tampaknya kita bisa mengerti mengapa Malaysia punya keberanian menantang Indonesia. Belum lagi posisi Malaysia sebagai anggota Negeri Persemakmuran di bawah Kerajaan Inggris. Di antara negara-negara anggota persemakmuran (Commenwealth States), termasuk di dalamnya Australia dan Kanada ada traktat kerjasama militer jika terjadi serangan kepada salah satu anggotanya.Uji coba Dari gambaran di atas, barangkali kita bisa mengerti kenapa Malaysia suka ''mempermainkan'' Indonesia untuk uji coba. Uji coba tersebut dilakukan Malaysia dengan menunggu momen yang tepat. Sebagai gambaran, kita bisa melihat uji coba Malaysia dalam penguasaan Pulau Sipadan dan Ligitan. Ketika Bung Karno masih berkuasa dan berani menggertak Malaysia, negeri itu seakan tiarap. Pada tahun 1961, Indonesia memberikan konsesi penambangan minyak kepada berbagai perusahaan, termasuk Shell. Malaysia hanya menonton, tak berani berani berbuat apa-apa. Maklumlah Bung Karno terkenal dengan keberaniannya melawan penjajah. Jangankan Malaysia, Inggris dan AS pun ditantangnya. Waktu terus bergulir. Ketika Indonesia diperintah Soeharto, Malaysia bikin uji coba lagi. Kuala Lumpur tahun 1979 membuat peta Malaysia dengan memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan. Tahun 1980, Indonesia protes. Protes itu diikuti Singapura, Filipina, Thailand, Vietnam, Cina, Taiwan, dan Inggris. Malaysia tak berani berbuat lebih jauh dari sekadar membuat peta. Tapi, tiba-tiba tahun 2000, Malaysia membawa masalah dua kepulauan itu ke International Court of Justice (ICJ). Rupanya selama 'sembunyi' itu, Malaysia mempersiapkan segalanya untuk membawa kasus Sipada-Ligitan ke ICJ. Indonesia yang saat itu sedang berada di titik nadir secara ekonomi, politik, dan militer setelah tumbangnya Orde Baru, tak siap menghadapi tuntutan Malaysia. Akhirnya pada tahun 2002, ICJ memutuskan Malaysia sebagai pemilik kedua pulau tersebut. Uji coba Malaysia untuk memperdayai Indonesia berhasil. Keyakinan seperti itu pula yang tampaknya membuat Malaysia kemudian makin rajin 'mengerjai' Indonesia. Cukong-cukong kayu Malaysia membeli kayu dan membiayai pencuri kayu dari Kalimantan dan Papua. Lantas, maraklah illegal logging yang dudukung dengan dana dari para pengusaha kayu Malaysia. Pemerintah Malaysia menutup mata terhadap kasus mafia illegal logging yang merugikan Indonesia. Jangankan Kuala Lumpur menangkap penadah kayu curian asal Indonesia, yang terjadi malahan memutihkan kayu ilegal itu menjadi legal. Kayu-kayu curian asal Indonesia itu diberi label legal oleh Kuala Lumpur dan selanjutnya dijual ke Eropa dan Jepang, baik dalam bentuk log, setengah jadi, maupun produk furnitur. Di Malaysia pun tumbuh industri kayu lapis dengan cepat. Bahan-bahan dari kayu curian tadi. Pemerintah Indonesia yang korup dan lemah, lagi-lagi tak bisa berbuat apa-apa terhadap mafia illegal logging yang berada di Malaysia. Tragisnya lagi, banyak warga Indonesia yang bekerja di perusahaan-perusahaan kayu lapis dan furnitur di Malaysia. Ibaratnya sang pemilik bekerja pada pencuri! Tragis memang. Dan lebih tragis lagi, pemerintah Malaysia selalu melindungi mafia kayu curian tersebut. Pemerinah Indonesia sudah menuntut penahanan mafia kayu itu. Tapi Kuala Lumpur tak mau menghukum warganya. Walhasil, pemerintah Indonesia tak bisa berbuat apa-apa terhadap cukong-cukong kayu Malaysia itu. Indonesia terlalu lemah untuk menangkap para cukong kayu asal Malaysia tadi. Di Indonesia cukong-cukong itu bagaikan raja. Mereka mampu mengendalikan aparat keamanan, pemda, dan birokrasi terkait yang berhubungan dengan perkayuan. Di Malaysia cukong-cukong itu bak pahlawan. Uji coba berikutnya adalah masalah TKI ilegal. Betul, Malaysia menghukum semua tenaga kerja ilegal dari mana pun. Tapi siapa pun tahu, tenaga kerja pendatang paling banyak berasal dari Indonesia (TKI). Jadilah masalah pendatang haram ini adalah masalah TKI ilegal. Yang jadi persoalan, kenapa banyak TKI ilegal di Malaysia? Apakah hal itu terjadi tanpa peran majikan di Malaysia. Ternyata yang terjadi adalah, majikan di Malaysia lebih suka memakai TKI ilegal. Ini karena mereka gampang diatur, proses rekrutmennya tak berbelit, dan mudah diputus tanpa ribut-ribut. Karena majikan di Malaysia senang memakai TKI ilegal, maka banyak TKI yang semula legal menjadi ilegal. Persoalannya: kenapa pemerintah Malaysia hanya keras terhadap TKI ilegal tanpa mau bersikap keras terhadap warganya yang sengaja menjadi penadah TKI ilegal? Belum lagi masalah-masalah penganiayaan, pelecehan seksual, dan tak dibayarnya sejumlah TKI selama bekerja pada perusahaan tertentu. Lobi-lobi tingkat tinggi yang dilakukan Jakarta untuk membela TKI ilegal tampak kurang greget. Jakarta kurang berani menggebrak untuk membela warganya. Bandingkan dengan Filipina. Jika satu orang saja tenaga kerjanya di luar negeri dirugikan, presiden dan seluruh rakyat Filipina akan marah. Ingat kasus Sarah Balabagan di Uni Emirat Arab (UEA) beberapa tahun lalu yang dituduh membunuh majikannya. Presiden Ramos langsung terbang ke Abu Dhabi melobi raja UEA. Jutaan rakyat Filipina tumpah ruah di jalan-jalan Manila untuk menuntut pembebasan Balabagan. Akhirnya, Uni Emirat Arab pun membebaskannya! Tapi Indonesia? Alih-alih membela ketidakberdayaan TKI ilegal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) malah memahami hukum yang berlaku di Malaysia. Hukum apa? Hukum untuk membela kepentingannya sendiri seperti hukum illegal logging? Mengapa Kuala Lumpur tak menghukum perusahaan yang memberi tempat pada TKI ilegal dan menipu mereka? Dalam kasus TKI ilegal, lagi-lagi pemerintah Indonesia menunjukan kelemahannya di mata Kuala Lumpur. Malaysia pun makin di atas angin bila berurusan dengan Indonesia. Bukankah Jakarta hanya macan ompong? Dalam kondisi yang lebih percaya diri itulah, kemudian Kuala Lumpur mencaplok Ambalat. Alasannya, berdasarkan peta tahun 1979, wilayah laut Ambalat masuk dalam teritori Malaysia. Masuknya Sipadan dan Ligitan dalam wilayah Malaysia yang dikukuhkan ICJ, makin menambah keyakinan Malaysia atas kebenaran klaimnya. Padahal, peta tersebut telah diprotes dunia internasional. Sekarang persoalannya kembali ke Indonesia! Apakah Jakarta akan terus mengalah dan memahami hukum Kuala Lumpur? Jika dulu Bung Karno berani menggertak Malaysia. Jangan tunjukkan kelemahan dengan kata-kata diplomasi dan dialog untuk menyelesaikan kasus Ambalat. Tapi berbuatlah sesuatu untuk menekan Malaysia. (icmi)
Sejarah Terbentuknya Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur
Kabupaten Nunukan merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Bulungan, yang terbentuk berdasarkan pertimbangan luas wilyah, peningkatan pembangunan, dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Pemekaran Kabupaten bulungan ini di pelopori oleh RA Besing yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Bulungan.
Pada tahun 1999, pemerintah pusat memberlakukan otonomi daerah dengan didasari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Nah, dgn dasar inilah dilakukan pemekaran pada Kabupaten Bulungan menjadi 2 kabupaten baru lainnya yaitu Kabupaten Nunukan dan kabupaten Malinau.
Pemekaran Kabupaten ini secara hukum diatur dalam UU Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Barat, dan Kota Bontang pada tanggal 4 Oktober 1999. Dan dengan dasar UU Nomor 47 tahun 1999 tersebut Nunukan Resmi menjadi Kabupaten dengan dibantu 5 wilayah administratif yakni Kecamatan Lumbis, Sembakung, Nunukan, Sebatik dan Krayan.
Nunukan terletak pada 3° 30` 00" sampai 4° 24` 55" Lintang Utara dan 115° 22` 30" sampai 118° 44` 54" Bujur Timur.
Adapun batas Kabupaten Nunukan adalah:- Utara; dengan negara Malaysia Timur, Sabah.
- Timur; dengan Laut Sulawesi.
- Selatan; dengan Kabupaten Bulungan dan Kabupaten Malinau.
- Barat; dengan Negara Malaysia Timur, Serawak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari Bersama Membangun Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur