Nunukan Zoners Tarakan, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menyiapkan pembangunan berbagai fasilitas pendukung sektor perikanan di Sebatik, Kalimantan Timur. Garis batas perairan di dekat Sebatik sempat diributkan pemerintah Indonesia dan Malaysia beberapa waktu silam. "Keinginan DKP itu supaya ikan-ikan hasil tangkapan nelayan kita didaratkan di Sebatik bukan di Tawao," kata Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP), Aji Sularso, pada dialog bersama nelayan dan berbagai instansi pemerintahan terkait pukat hela di Tarakan, Kalimantan Timur, Rabu (18/2) Ia mengatakan DKP akan membantu Pemda setempat untuk memajukan Sebatik mendirikan Tempat Pendaratan Ikan (TPI), Pos Penjagaan bersama DKP, TNI AL, dan Polri, menempatkan kapal pengawas di perbatasan perairan Sebatik dan Tawao, Malaysia. "Kalau perlu saya akan membantu menyampaikan permintaan pembangunan 'coolstorage' ke Dirjen Perikanan Tangkap supaya tidak langsung di bawa ke Tawao," ujar dia. Tidak adanya "coolstorage" di Sebatik membuat nelayan di sekitar Nunukan dan Sebatik menjual hasil tangkapannya ke Tawao tanpa proses pengolahan dan tanpa didaratkan di pelabuhan Indonesia.Karena itu lah DKP tidak pernah memiliki data produksi perikanan di wilayah tersebut, ujar dia. "Sambil menunggu peraturan (pukat hela) selesai, sementara tolong (ikan) didaratkan di pelabuhan yang belum jadi dulu. Jadi ini juga bisa mempercepat permohonan 'coolstorage' dipenuhi," tambah Aji. Sementara itu, Kasubdit Prasarana Pengawasan Direktorat Sarana dan Prasarana Pengawasan P2SDKP, Gatot Rudiyono mengatakan, keinginan DKP sendiri sebenarnya bertahap membangun sektor perikanan di Sebatik untuk mengimbangi Tawao. "Ada pengepul-pengepul ikan yang mengambil dari nelayan kita di Sebatik untuk dikirim ke Tawao langsung. Karena itu Pak Dirjen (Aji Sularso) inginnya ada unit pengolahan ikan di sana," ujar Gatot. Sementara itu, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Nunukan Yusuf mengatakan, kendala terbesar untuk mengembangkan perikanan di Sebatik adalah daya listrik. "Kalau membangun 'coolstorage' saja mungkin Pemda masih mampu, tapi permasalahannya adalah listrik. Tidak cukup daya untuk bisa menyokong 'coolstorage'," tambah dia. (ant)
Mimpi masa kini adalah kenyataan hari esok.
Anda bisa, jika Anda berpikir bisa, selama akal mengatakan bisa. Batasan apakah sesuatu masuk akal atau tidak, kita lihat saja orang lain, jika orang lain telah melakukannya atau telah mencapai impiannya, maka impian tersebut adalah masuk akal.
Menuliskan tujuan akan sangat membantu dalam menjaga alasan melakukan sesuatu.
Kamis, 26 Februari 2009
Pemerintah Bangun Fasilitas Perikanan di Sebatik
Nunukan Zoners Tarakan, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menyiapkan pembangunan berbagai fasilitas pendukung sektor perikanan di Sebatik, Kalimantan Timur. Garis batas perairan di dekat Sebatik sempat diributkan pemerintah Indonesia dan Malaysia beberapa waktu silam. "Keinginan DKP itu supaya ikan-ikan hasil tangkapan nelayan kita didaratkan di Sebatik bukan di Tawao," kata Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP), Aji Sularso, pada dialog bersama nelayan dan berbagai instansi pemerintahan terkait pukat hela di Tarakan, Kalimantan Timur, Rabu (18/2) Ia mengatakan DKP akan membantu Pemda setempat untuk memajukan Sebatik mendirikan Tempat Pendaratan Ikan (TPI), Pos Penjagaan bersama DKP, TNI AL, dan Polri, menempatkan kapal pengawas di perbatasan perairan Sebatik dan Tawao, Malaysia. "Kalau perlu saya akan membantu menyampaikan permintaan pembangunan 'coolstorage' ke Dirjen Perikanan Tangkap supaya tidak langsung di bawa ke Tawao," ujar dia. Tidak adanya "coolstorage" di Sebatik membuat nelayan di sekitar Nunukan dan Sebatik menjual hasil tangkapannya ke Tawao tanpa proses pengolahan dan tanpa didaratkan di pelabuhan Indonesia.Karena itu lah DKP tidak pernah memiliki data produksi perikanan di wilayah tersebut, ujar dia. "Sambil menunggu peraturan (pukat hela) selesai, sementara tolong (ikan) didaratkan di pelabuhan yang belum jadi dulu. Jadi ini juga bisa mempercepat permohonan 'coolstorage' dipenuhi," tambah Aji. Sementara itu, Kasubdit Prasarana Pengawasan Direktorat Sarana dan Prasarana Pengawasan P2SDKP, Gatot Rudiyono mengatakan, keinginan DKP sendiri sebenarnya bertahap membangun sektor perikanan di Sebatik untuk mengimbangi Tawao. "Ada pengepul-pengepul ikan yang mengambil dari nelayan kita di Sebatik untuk dikirim ke Tawao langsung. Karena itu Pak Dirjen (Aji Sularso) inginnya ada unit pengolahan ikan di sana," ujar Gatot. Sementara itu, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Nunukan Yusuf mengatakan, kendala terbesar untuk mengembangkan perikanan di Sebatik adalah daya listrik. "Kalau membangun 'coolstorage' saja mungkin Pemda masih mampu, tapi permasalahannya adalah listrik. Tidak cukup daya untuk bisa menyokong 'coolstorage'," tambah dia. (ant)
Pulau Sebatik Minta Otoritas Khusus
Pulau Sebatik Minta Otoritas Khusus
Nunukan Zoners Sebatik Untunglah, hujan segera berlalu dari Pulau Sebatik. Satu per satu, malam itu, Sabtu (16/8), penduduk kembali memadati kafe terbuka di Desa Sungai Nyamuk. Mereka duduk berbaris, menghadapi layar besar yang tengah menyiarkan pertandingan bulu tangkis dari ajang Olimpiade. Pemain ganda putra Indonesia Markis Kido/Hendra Setiawan tengah berjuang melawan pasangan Cina Cai Yun/ Fu Haifeng di partai final. Sorak-sorai membahana ketika Markis/Hendra mengakhiri pertandingan dengan kemenangan. Menyaksikan kemenangan itu di Pulau Sebatik memunculkan perasaan bangga yang lebih kuat dari biasanya. Itu pula yang dirasakan Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga (Menegpora) Adhyaksa M. Dault. "Begitu menang, saya langsung sujud syukur," ujarnya. Malam tujuh belas Agustus itu, sang Menteri memang tengah menginap di pulau Sebatik. Sebab, keesokan harinya, ia menjadi inspektur upacara peringatan Hari Kemerdekaan di desa itu. Dalam orasinya, kemenangan itu ia kabarkan kepada peserta upacara. "Semangat bela negara harus terus muncul di dalam sanubari kita. Selanjutnya, saya berharap agar jangan ada sejengkal tanah pun hilang dari negeri kita," katanya. Kehadiran menteri di tengah-tengah masyarakat Sebatik bukan tanpa alasan. Deputi I Pemberdayaan Pemuda Kemenegpora Sakhyan Asmara mengatakan, kunjungan tersebut ditujukan untuk menyebarkan semangat cinta tanah air kepada masyarakat setempat, khususnya para pemuda. "Ini pertama dalam sejarah. Seorang menteri menjadi inspektur upacara di perbatasan negara, khususnya Pulau Sebatik." Adhyaksa tiba di Pulau Sebatik, Sabtu (16/8) sore. Ia bersama Wakil Komandan Jenderal Pasukan Khusus TNI AD Brigjen TNI Wisnu Bawa Tenaya, dan rombongan menumpang helikopter Super Puma milik TNI AU. Dari sana, sang menteri meninjau Pos III perbatasan Indonesia-Malaysia di Desa Aji Kuning dan Pos I TNI AL di Desa Sungai Pancang. Malam harinya, ia berdialog dengan masyarakat setempat di Hotel Queen. Pulau Sebatik berada di bagian utara Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negeri Sabah Malaysia. Yang menarik, status kepemilikan pulau itu pun terbagi dua. Wilayah utara pulau itu, seluas 187,23 km2, menjadi milik Malaysia. Sementara, wilayah seluas 246, 61 km2, di selatan, milik Indonesia. Di Desa Aji Kuning, sedikitnya terdapat 300 kepala keluarga yang berada tepat di garis perbatasan Indonesia-Malaysia. "Bahkan, ada rumah warga yang berlokasi tepat di garis perbatasan. Jadi, ruang tamunya masuk wilayah Indonesia sedangkan dapurnya ada di Malaysia," kata Camat Sebatik, Asmar, kepada "PR", Sabtu (16/8) malam. Masyarakat setempat memiliki cerita sendiri soal terbaginya status kepemilikan pulau itu. "Dulu, Sebatik --termasuk sebagian pulau Kalimantan dan Tawau (negeri Sabah)-- adalah milik Kerajaan Bulungan. Nah, ceritanya, Raja Bulungan kalah berjudi sehingga harus menyerahkan setengah Pulau Sebatik kepada lawannya," ujarnya. Sebatik milik Indonesia dibagi menjadi dua kecamatan, Sebatik dan Sebatik Barat, dan secara administratif masuk ke wilayah Kab. Nunukan Kalimantan Timur. Jumlah penduduk mencapai 30.000 jiwa, mayoritas berasal dari suku Bugis. Yang menarik, secara ekonomi, masyarakat Pulau Sebatik sangat bergantung kepada Malaysia, khususnya ke Tawau. Hampir semua komoditas yang dihasilkan masyarakat, seperti ikan, sawit, dan cokelat, dijual ke negeri jiran itu. Masyarakat Sebatik pun membeli aneka kebutuhan sehari-hari dari Tawau. Tak heran jika ada dua mata uang yang beredar di sana, yakni rupiah dan ringgit. "Tetapi, kami lebih suka menggunakan ringgit. Nilainya lebih banyak," ujar Budi Witikno (13), pelajar kelas 1 SMP di Sungai Nyamuk, Minggu (17/8). Secara geografis, Pulau Sebatik memang lebih dekat ke Tawau. Perjalanan ke Tawau hanya membutuhkan waktu 15 menit menggunakan speed boat 60 PK. Ongkosnya 15 ringgit (setara Rp 45.000,00). Sementara, perjalanan ke pulau Nunukan membutuhkan waktu 1,5 jam. Ongkosnya pun lebih dari Rp 100.000,00.
**
PULAU Sebatik adalah pintu gerbang Indonesia di Kalimantan. Tak heran, jika kemudian, isu internasional dari sana sering dimunculkan "Jakarta" yang mengakibatkan hubungan Indonesia-Malaysia memanas. Akan tetapi, uniknya, masyarakat Sebatik dan Tawau tak terpengaruh. Mereka tetap menjalin hubungan yang harmonis. Mengapa demikian? Sebagian penduduk Sebatik dan Tawau ternyata masih bersaudara. Mereka berasal dari Bugis. Sebagai ilustrasi, Minggu (17/8), "PR" berbincang dengan Rufaidah (31), penumpang speed boat dari Tawau. "PR" sempat menduga bahwa dia pulang berbelanja. Tetapi, ia mengatakan, pulang dari pernikahan sepupu. Setidaknya, ada empat kasus yang "memaksa" pemerintah mulai memberikan perhatian lebih buat Pulau Sebatik, yakni sengketa kepemilikan pulau Sipadan-Ligitan (2002), eksodus ratusan ribu tenaga kerja, sengketa blok Ambalat (2005), dan Asykar Wataniah (2007). Sejumlah pejabat negara, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pernah berkunjung ke pulau tersebut. Kendati demikian, hingga kini, masyarakat masih merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah. "Kami mengusulkan agar Sebatik diberikan otoritas khusus, seperti Batam, pada tahun 2010. Hanya dengan itu, kami rasa, Sebatik bisa maju," kata Abdul Latif (40), tokoh masyarakat. Harapan lain yang hingga kini belum dipenuhi pemerintah adalah pembangunan tempat pelelangan ikan (TPI). Buat masyarakat Sebatik, keberadaan TPI sangat mendesak. "Sehingga kami tak perlu lagi menjual ikan ke Tawau. Sekarang, kami terpaksa menjual ikan ke Tawau seharga 7 ringgit per kilogram. Tetapi, yang membeli ikan-ikan itu, ya orang Sebatik juga. Harganya sudah 10 ringgit per kilogram," kata Abdullah Jamal (48), penduduk Desa Sungai Nyamuk. Sejumlah masyarakat mengaku iri dengan pencapaian pembangunan di Tawau. Jika malam tiba, mereka menyaksikan Kota Tawau yang bermandikan cahaya. Gedung-gedung menjulang tinggi. Sedangkan masyarakat Sebatik hanya mendapat jatah penerangan listrik dua hari sekali. Sebatik pun tak memiliki jaringan air bersih. Mereka mengandalkan curahan air hujan. Selain itu, banyak lagi soal yang mendera Sebatik. Ruas-ruas jalan yang rusak, keberadaan rumah sakit, pelabuhan yang representatif, sekolah, dan sebagainya.
**
KETIKA berkunjung ke pulau itu, Adhyaksa merasakan betul derita masyarakat. Tapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali berharap. "Sekarang, kita melihat Tawau bersinar. Nanti, 5 tahun lagi, harapan saya, Tawaulah yang melihat kita. Mereka akan silau melihat Sebatik," ujar sang menteri sambil menikmati kilauan sinar Kota Tawau di seberang, Sabtu (16/8) petang. (Hazmirullah/"PR")***
Kejar Perempuan Sampai Tawau
Dua oknum polisi AKP Muhammad Arief Fanani dan Brigpol Yusuf membantah menerima suap dari pejabat Dinas Pekerjaan Umum (PU) Nunukan maupun kontraktor. Jajaran Polda Kaltim benar-benar merasa terpukul. Disaat semua instansi penegak hukum menyelenggarakan hari antikorupsi sedunia 9 Desember lalu, surat kabar malah menurunkan berita adanya dua oknum polisi Satuan Tipikor Polda Kaltim diduga menerima suap dari pejabat Dinas PU Nunukan. Kedua polisi itu diberitakan menyebrang ke Tawau Malaysia ketika ditugaskan atasannya untuk menyelidiki beberapa kasus proyek di lingkungan Dinas PU Nunukan. Dua penyidik Satuan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Direktorat Reserse dan Kriminal (Reskrim) Polda Kaltim diduga menerima suap dari Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Nunukan Abdul Azis Muhammadiyah. Kasusnya saat ini ditangani Bidang Profesi dan Pengamanan Internal (Propam) Polda Kaltim, yang telah menetapkan dua penyidik Tipikor tersebut sebagai tersangka. "Kedua penyidik itu sudah diperiksa, namun mereka membantah,” kata Kombes Pol Yoyok Subagio, Kabid Propam Polda Kaltim. Tetapi ia mengaku sudah punya bukti yang mengarah ke unsur suap itu. Diceritakan, AKP M Arief Fanani dan Brigpol Yusuf berangkat ke Nunukan pada 2 November 2008, untuk memulai penyelidikan dugaan korupsi pada sejumlah proyek pembangunan jalan di Nunukan. Data awalnya adalah hasil temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan laporan dari Nusantara Corruption Watch (NCW).Dari pemeriksaan petugas Propam, kata Yoyok, kedua penyidik berangkat ke Tawau Malaysia pada tanggal 7 – 10 November. Pada waktu di luar negeri itu diduga kedua oknum polisi menerima suap. ”Kami masih mendalami kasus ini dengan mencari tambahan bukti. Dalam waktu dekat kami ke Nunukan,” kata Yoyok yang dilansir sebuah koran harian di Kaltim. Dalam penanganan kasus ini, Propam juga meminta bantuan Polres Nunukan untuk meminta keterangan tiga pejabat Dinas PU dan rekanannya dalam proyek. Ketiga pejabat Dinas PU tersebut adalah Ketua Dinas PU Abdul Azis Muhammadiyah, Kasubdin Bina Marga Khotaman dan Kasubdin Pengairan Sofyang. Sementara AKP Muhammad Arief Fanani sendiri membantah tudingan yang sempat berkembang di masyarakat bahwa ia menerima suap dari Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Nunukan Abdul Azis Muhammadiyah. ”Itu tidak benar, kami tidak pernah menerima apapun, baik dari Dinas PU ataupun kontraktor," kata Fanani, seperti dilansir sebuah koran harian. Pada tanggal 2 November, cerita Fanani, ia bersama Brigpol Yusuf berangkat untuk menyelidiki dugaan korupsi pada proyek pembangunan jalan, menindaklanjuti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Di samping itu ada juga pengaduan dari Nusantara Corruption Watch (NCW) dan Indonesia Crisis Center (ICC) ke Polda Kaltim. Temuan BPK – seperti sudah dilansir di website www.bpk.go.id menyebutkan ada potensi kerugian negara dalam proyek pembangunan jalan di Nunukan, karena Panitia Lelang menetapkan ekskalasi (perubahan harga) yang tidak sesuai dengan ekskalasi harga yang telah dipatok pemerintah pusat. Menurut Fanani ia sudah mencek dan ternyata para kontraktor yang disebut menerima kelebihan pembayaran akibat adanya eskalasi itu sudah mengembalikan ke kas daerah. Sayangnya Fanani tidak menjelaskan apa soal mencek pengembalian uang oleh kontraktor ke kas daerah itu merupakan tugas penyidik kepolisian. Sedangkan laporan dari LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) menyebutkan adanya temuan dugaan penyuapan dari CV Surya Lestari (kontraktor) ke Dinas PU. Kemudian kedua penyidik itu melakukan cek terhadap aliran dana sejumlah Rp 178 juta itu ada pada rekening PU, hanya saja diketahui dana itu dikirimkan dari DPRD Nunukan sebagai bantuan untuk warga. Dari pengembangan penyelidikan itu diketahui kalau dana tersebut digunakan untuk pelebaran sungai yang sering banjir akibat pengerjaan jalan. Pekerjaannya dilakukan PT Buni Raya milik Hj Kartini. Masih cerita Fanani, keduanya kemudian mulai tanggal 3 – 9 November mulai melakukan pemeriksaan kepada pejabat Dinas PU dan juga kontraktor. Ketika pemeriksaan yang dilakukan giliran kepada Hj Kartini, ternyata perempuan yang termasuk pengusaha sukses ini tidak ada di Nunukan. Dikabarkan Hj Kartini berada di Tawau Malaysia untuk berobat. Karena alasan ingin menuntaskan pekerjaan penyelidikan tersebut, akhirnya AKP M Arief Fanani dan Brigpol Yusuf berangkat ke Tawau Malaysia pada tanggal 10 November. Tapi Fanani mengaku upaya mengejar perempuan sampai Tawau mengalami kegagalan, karena Hj Kartini sudah bertolak ke Makassar. "Kita lalu pulang keesokan harinya dan melakukan pengecekan ke lapangan. Hasilnya tidak ada pelanggaran yang dilakukan Hj Kartini. Proyeknya berjalan sesuai kontrak kerja, dan kewajiban yang dilihat sebagai potensi kerugian itu sudah dibayarkan," bela Fanani. Apa benar alibi yang dikemukakan Fanani? Dan bagaimana ia bisa sampai ke Tawau Malaysia, sementara tidak ada surat izin dari pimpinannya? Yoyok Subagio, Kabid Propam Polda Kaltim, menambahkan, setidaknya sudah ada dua pelanggaran yang dilakukan Fanani dan Yusuf. Pelanggaran itu menyangkut kedisiplinan dan kode etik. Sementara untuk dugaan kasus suap, masih dalam penyelidikan. Dari Nunukan diperoleh kabar kalau kedatangan kedua penyidik Tipikor Polda itu sudah dipantau oleh sejumlah kontraktor rekanan Dinas PU dan juga kalangan aktivis LSM di sana. Bahkan gerak-gerik kedua penyidik tersebut telah menjadi perbincangan warga, karena ada pihak yang berusaha memanfaatkannya. Cerita yang diperoleh BONGKAR! menyebutkan, sejumlah kontraktor yang diduga terlibat masalah dan namanya masuk dalam temuan BPK, didatangi oleh seorang oknum yang mengaku menjadi fasilitator. Para kontraktor ini dimintai uang sekitar Rp100 Juta dengan alasan agar kasusnya ditutup. Ketika dikonfirmasi kepada Fanani, ia juga mengakui kalau mendengar cerita memang ada yang memanfaatkan kedatangan mereka di Nunukan. Fanani menyebut nama initial oknum itu, yakni Sy. "Dia itu mantan pejabat pembuat komitmen di Dinas PU, inisialnya Sy. Bersama temannya, dia memeras para kontraktor. Mereka minta uang dan bilang untuk diberikan kepada penyidik Tipikor," kata Fanani. Toh, apapun alasan yang muncul, polisi terlanjur kehilangan muka dengan kasus ini. Apalagi disebut-sebut keberangkatan kedua oknum polisi itu didampingi oleh tiga pejabat Dinas PU Nunukan dan juga beberapa orang kontraktornya. Secara etika seorang penyidik tidak diperkenankan ’dekat-dekat’ dengan orang yang diperiksanya, apalagi kalau sampai ketahuan keduanya dibayari ongkos, makan dan hotelnya selama di luar negeri. *ch siahaan
Yang Terlupakan di Ujung Indonesia
Pos Imigrasi
Pembangunan wilayah perbatasan memang tidak sepesat di daerah lain. Bila warga Malaysia memandang ke Sebatik, yang tampak hanya gelap yang pekat. Berbeda dengan pandangan dari Sebatik ke ujung Tawau di malam hari. “Kami hanya ingin pemerintah memberikan kami jalan dan dermaga. Itu sarana kami untuk bisa bertahan hidup dan memperbaiki kondisi ekonomi. Kalau jalan pun tidak punya, dermaga tidak ada, wilayah ini akan sangat sulit maju,” ujar Alimin, warga setempat. Ia juga berangan-angan, supaya dibangun pos imigrasi dan bea cukai di Sebatik. Cara ini menurutnya akan lebih ekonomis, dari pada harus ke Nunukan hanya untuk mendapatkan cap pos imigrasi. Tidaklah berlebihan keinginan Bupati Nunukan agar wilayah perbatasan mendapat perhatian khusus. Di Tawau yang hanya berjarak kurang lebih lima mil saja, infrastruktur berupa jalan, listrik, air bersih, pelabuhan, rumah sakit, sekolah, dan fasilitas lain yang lengkap dan memadai. Tidak berlebihan bila masyarakat Kerayan dan Sebatik membutuhkan jalan dan dermaga, tanpa fasilitas ini, harga semen di Kerayan tetap akan Rp 400.000 per sak dan harga gula serta beras yang mencapai Rp 10.000 dan Rp 15.000 per kilonya. Mereka yang terlupakan di ujung Indonesia, dan makin miskin karenanya.tim
Pulau Kecil dengan Dua Negara Berdaulat
Tanggal : 28 Sep 2005
Sumber : Kompas
Prakarsa Rakyat, Oleh: Wisnu Dewabrata
Sepintas orang tentu tidak akan terlalu memerhatikan sebuah batu, berukuran panjang dan lebar sekitar 50 x 50 sentimeter, yang tergeletak di salah satu sudut jalan tanah di Desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. Boleh jadi masyarakat sekitar berpikir batu itu batu biasa. Hanya karena kehadiran sejumlah orang dari Departemen Pertahanan sajalah yang membuat batu tersebut menjadi sedikit istimewa, Selasa (20/9) siang itu. Menurut Kepala Subdinas Batas Wilayah Direktorat Strategi Pertahanan Dephan Kolonel CTP Juni Suburi, batu itu adalah salah satu dari 18 patok penanda wilayah perbatasan dua negara, Indonesia dan Malaysia, yang berada pada posisi 4º10' Lintang Utara (LU). Menurut Suburi, patok batu itu ditanam sebagai penanda batas wilayah kedua negara, yang ditentukan berdasarkan konvensi di antara pemerintah penjajah kedua negara, Inggris dan Belanda, yang dilakukan tiga kali, yaitu tahun 1891, tahun 1915, dan terakhir tahun 1928. Garis batas wilayah kedua negara di pulau itu adalah 4º10' LU. Di sekitar patok batu di Desa Aji Kuning itu berdiri rumah kayu semipermanen milik penduduk. Beberapa bangunan malah didirikan di atas tanah wilayah kedua negara sesuai dengan posisi patok batu tadi. Desa Aji Kuning memang salah satu desa di Kecamatan Sebatik yang berlokasi tepat di titik perbatasan. Salah seorang warga desa berseloroh, setiap hari ia sanggup pergi pulang ke luar negeri secara gratis. Caranya, cukup berjalan melangkahi patok batu tadi. Tidak cuma itu, seseorang juga bisa dalam waktu bersamaan berada di dua negara berbeda. Sebelah kaki memijak wilayah Malaysia, sementara sebelah kaki lagi di Indonesia.Suburi memaparkan, saat dilakukan pengukuran ulang oleh tim survei kedua negara pada tahun 1982-1983, tim menemukan ada ketidakakuratan sebesar 4" pada patok-patok yang ditanam. Selisih itu mungkin muncul karena teknologi yang kita pakai sekarang jauh lebih canggih dan presisinya lebih akurat. Jika dikonversikan, selisih 4" itu setara dengan 103 hektar. Sayangnya, Malaysia belum sepakat soal itu, ujar Suburi. Dephan, kata Suburi, setidaknya mencatat 10 titik persoalan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia yang terjadi di Kalimantan. Sebatik salah satunya. Sembilan titik masalah perbatasan lainnya ada di Tanjung Datuk, titik B 2.700-B 3.100, Sungai Senapad, Sungai Simantipal, dan titik C 500-C 600 (kelimanya di Kalimantan Timur), juga di Gunung Raya, Batu Aum, titik D 400, dan Gunung Jagoi di wilayah Kalimantan Barat. Menurut Suburi, selama ini kendala utama penanganan wilayah perbatasan terkait persoalan infrastruktur jalan dan akses komunikasi untuk mempermudah pengawasan wilayah perbatasan yang ada secara lebih intens. Selain itu, kendala juga muncul karena keterbatasan fasilitas pos pengamanan perbatasan. Kebanyakan bangunan pos-pos pamtas (keamanan perbatasan.Red) itu masih berupa bangunan semipermanen, sementara untuk satu pos berisi 20-30 personel, ujar Suburi. Persoalan masalah perbatasan menjadi sedikit lebih seru ketika Camat Sebatik Slamet Riady mempertanyakan satu isu yang berkembang saat itu ke rombongan peninjau dari Dephan. Menurut Slamet, otoritas Malaysia berencana membangun pagar sepanjang wilayah perbatasan, termasuk di Desa Aji Kuning. Hal itu cukup meresahkan karena selama ini penduduk ada yang membangun rumahnya tepat atau berdekatan dengan titik perbatasan. Bahkan, walau hanya berseberangan dan dipisahkan ruas jalan tanah selebar satu kendaraan roda empat, sejumlah rumah warga bisa jadi berdiri di dua negara berbeda. Namun, mereka tetap berstatus warga negara Indonesia. Slamet meminta pemerintah turun tangan mengantisipasi masalah itu. Pemerintah perlu merelokasi penduduk yang rumahnya terancam terkena dampak pembangunan pagar pembatas oleh Malaysia itu. Banyak warga kami yang tinggal di sini bekerja di Malaysia. Malah anak-anak mereka pun disekolahkan di sana walau dibatasi tidak boleh lebih tinggi dari tingkat sekolah menengah pertama, ujar Slamet. Lebih lanjut persoalan lain terkait masalah perbatasan juga diungkap Wakil Ketua DPRD Kabupaten Nunukan Abdul Wahab dari PDI Perjuangan. Ungkapan itu disampaikan saat tatap muka rombongan Dephan dengan unsur musyawarah pimpinan daerah Kabupaten Nunukan, Selasa malam. Persoalan klise yang terjadi di sana, menurut Wahab, terkait praktik pembalakan liar dan penyelundupan kayu ke Malaysia yang sudah berlangsung sejak lama. Menurut Wahab, dalam sehari ada sekitar lima kapal tongkang (jongkong) berkapasitas muat 50 meter kubik kayu gelondongan pergi pulang Sebatik-Malaysia membawa kayu-kayu ilegal. Jika diasumsikan dalam sebulan ada 20 hari efektif kegiatan mondar-mandir seperti itu, diperkirakan dalam sebulan 5.000 meter kubik kayu dibawa ke negeri jiran itu secara ilegal. Komandan Pos TNI Angkatan Laut Satuan Tugas Marinir Sungai Pancang Letda (P) Welly Udianto menolak anggapan bahwa kawasan Pulau Sebatik rawan praktik penyelundupan. Menurut dia, kalaupun ada, para penyelundup biasanya lebih memilih masuk dari kawasan Pulau Sipadan-Ligitan karena lebih tidak berisiko. Menurut Welly, untuk Pulau Sebatik, pos TNI AL terbagi dalam dua unit gugus keamanan laut, yaitu di Sungai Nyamuk dan Sungai Taiwan. Pengamanan mereka diperkuat dengan satu unit kapal patroli keamanan laut Sembakung, satu unit speedboat berkekuatan 75-PK dengan lima personel. Selain itu, di pulau ini juga ditempatkan 409 personel TNI AD Batalyon-613 yang diperbantukan ke Komando Distrik Militer 09-11 dan Komando Rayon Militer 019-02 Sebatik. Dengan pengamanan ketat, apakah masih ada praktik penyelundupan? Bisa ya, bisa juga tidak. Akan tetapi, kenyataannya, tidaklah sulit menemukan barang kebutuhan sehari-hari produksi Malaysia di Sebatik. Barang itu dijual di warung kecil dengan rupiah dan ringgit Malaysia.tim
Perhatikanlah Kami di Perbatasan!
Asurandi - Surabaya
Sepadan, Ligitan, Ambalat, Atambua, Sebatik dan berbagai daerah diperbatasan negara ini sangat butuh perhatian, bukan hanya slogan saat kampanye tapi juga ditunggu tindakan nyata.
Seorang remaja laki-laki mengenakan pakaian putih dan celana panjang abu-abu berjalan santai diantara perbatasan dua Negara, Indonesia-Malaysia sambil mengernyitkan dahi memandang jauh kemudian matanya berbinar-binar, rasanya sesak dada membandingkan kedua Negara serumpun ini diperbatasanya, mudah sekali membedakannya. Pengalaman pribadi ini masih kuingat walaupun sudah hampir lima tahun berlalu. Perjalanan ke pos lintas batas (PLB) Entikong, saat itu adalah tour sekolahku SMA Negeri 1 Ngabang. Jarak dari kotaku ke Ibu kota Propinsi Kalimantan Barat yaitu Pontianak sejauh 177 km sedangkan jarak kotaku ke perbatasan Entikong Indonesia – Tebedu Sarawak Malaysia cuma sejauh 140 km. Sungguh ini perjalanan yang mengesankan karena dari hal ini aku belajar kedua Negara dari cara mereka mengelola perbatasannya. Indonesia negaraku dan Malaysia Negeri jiran kita.Sesak dadaku waktu itu karena perih akan realita yang kulihat diperbatasan kedua negara, Indonesia yang kubanggakan rasanya hancur berkeping-keping saat itu.Realita apakah yang kulihat ? akan saya paparkan. Melihat areal perbatasan di wilayah Indonesia, berjejalan pedagang kaki lima yang tidak teratur dipasar yang dekat sekali dengan kantor imigrasi Indonesia, tidak jauh dari itu terdapat tempat prostitusi bahkan dipinggir-pinggir jalan raya utama banyak terdapat warung makan kaki lima yang tidak layak, sampah berserakan dipinggir-pinggir jalan, para calo valas (valuta asing) yang berkeliaran menawarkan penukaran uang dari Rupiah ke Ringgit Malaysia ataupun sebaliknya, parkir kendaraan yang sangat tidak mengindahkan estetika, begitu kompleks sekali rasanya apa yang kulihat saat itu. Ketika saya melangkah masuk ke wilayah Malaysia, yaitu Tebedu setelah melewati kantor imigresyen Malaysia (logat melayu untuk pengucapan kata immigration). Masuk tanpa paspor ketika itu dibolehkan bagi pelajar Indonesia yang berseragam, waktu itu kami cuma ijin masuk melihat wilayah Malaysia, pemandangannya sangat jauh berbeda. Jalan raya yang bersih dan mulus, banyak pepohonan disekitar jalan raya, tidak ada sampah yang berserakan dijalanan, tidak ada pedagang kaki lima yang semrawut, parkir yang tampak rapi bahkan para calo valas tidak kelihatan di Wilayah Malaysia. Sungguh inilah yang membuat mataku berbinar, perbedaan pemandangan ini sungguh tragis. Akhirnya saat itu kusempatkan berfoto di wilayah Malaysia dengan rekan-rekanku di plang besar bertuliskan TEBEDU karena aku yakin suatu saat nanti kita mampu mengelola perbatasan Negara kita jauh lebih baik dari Malaysia. Lebaran 2008 kemaren ketika pulang kampung ada hal yang membuatku terkejut, biasanya snack dan minuman kaleng berkarbonat saja yang kutemukan dirumah adalah produk SDN BHD (perusahaan-perusahaan Malaysia) tetapi ketika itu aku temukan tabung gas dirumah adalah punya PETRONAS. Lha, apa yang sebenarnya terjadi ??? 17 tahun hidup di pedalaman Kalimantan Barat aku merasakan sepertinya kami yang hidup jauh dari pulau Jawa ini, bukan bangsa Indonesia. Kenapa ??? karena seperti di anak tirikan, pembangunan di pulau Jawa begitu pesat, tingkat kualitas pendidikan di Jawa jauh lebih baik dibandingkan ditempatku begitu yang kulihat di televisi waktu itu, untuk menonton channel televisi Indonesia saja kami harus membeli perangkat parabola lengkap dengan receivernya itupun kadang gambarnya belum tentu bagus sedangkan untuk menonton televisi Malaysia cuma butuh antenna setinggi 4-5 meter sudah bisa ditonton dengan kualitas gambar yang bagus tanpa perlu membeli perangkat parabola dan receiver yang waktu itu cukup mahal harganya. Produk-produk makanan dan minuman Malaysia lebih mudah didapatkan dan harganya lebih murah dibandingkan dengan produk Indonesia. Begitu juga kasusnya kenapa dirumahku menggunakan gas dari PETRONAS karena gas dari PERTAMINA stock di kotaku habis dan yang adapun harganya mahal sekali, salahkah kami yang membeli produk Negara lain dan banyak diantara kami yang rasa Nasionalisme nya mulai meluntur ??? Walau sekarang sudah masa otonomi daerah tapi kondisi berubah maju dengan lambat, bahkan sudah jadi rahasia umum di Kalimantan Barat bahwa PLB Entikong adalah salah satu gerbang human trafficking atau perdagangan manusia. Penyelundupan-penyelundupan barang pun banyak sekali yang dilakukan oleh “preman” yang berseragam dan mereka juga sering melakukan pungutan liar (pungli) pada TKI illegal yang melintas atau orang-orang Malaysia yang masuk bahkan dari pungli itu mereka bisa mendapatkan 3 juta rupiah setiap orang dalam satu hari ketika lagi ramai, informasi ini kuketahui langsung dari temanku yang sering melakukan penyelundupan peralatan elektronik dari Malaysia yang harganya jauh lebih murah di bandingkan dengan harga pasar di Indonesia dan aparat yang bertugas dilapangan, chaos sekali kondisinya. Inilah kebiasaan yang mulai membudaya dan sudah jadi rahasia umum, tentunya praktek illegal seperti ini harus dihapuskan ! Kita memang masih payah mengelola wilayah perbatasan. Dari berita yang kubaca, kondisi pulau Sebatik, propinsi Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan Sabah Malaysia tidak jauh berbeda. Kondisi jalan di pulau ini berupa jalan yang tidak beraspal, jika hujan mengguyur maka akan susah melintasi jalanan daerah ini karena becek dan licin. di Kotanya, kondisinya relatif lebih ramai, ada berbagai jenis kendaraan dan listrik, namun listrik yang ada di pulau ini sangat minim, sehingga sangat sulit memperoleh fasilitas listrik yang bisa digunakan untuk mendukung industri menengah apalagi untuk industri besar, tentunya ini salah satu penghambat kemajuan. Dari pulau Sebatik, jika kita memandang ke arah utara, maka akan terlihat dengan jelas kota Tawau Malaysia, jika melihat pemandangan kota Tawau dan kemudian membandingkan dengan kondisi Sebatik saat ini sungguh bagaikan bumi dan langit. kota Tawau begitu maju dan berkembang pesat secara ekonomi, sementara Sebatik, masih saja diam di tempat dan tidak beranjak. Inilah gambaran nyata dari kondisi daerah perbatasan di Negara kita, mungkin kondisi ini tidak jauh berbeda di daerah perbatasan dengan Papua Nugini maupun Timor Leste. Banyak hal tentunya yang masih bisa kita lakukan untuk memperbaiki kondisi ini, karena wilayah perbatasan sangat rentan. Menurut saya, pembangunan infrastruktur yang berkesinambungan dan peningkatan kualitas pendidikan harus jadi prioritas sehingga rasa nasionalisme yang luntur itu dapat terobati dengan kepedulian Negara yang tidak mendiskriminasikan daerah tertentu dalam pembangunan. Pemerintah daerah, pemerintah pusat, pihak swasta dan masyarakat setempat harus bekerja sama untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di perbatasan sehingga tidak terulang lagi kasus lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan maupun Timor-timur, tentunya ini menjadi tugas rumah kita semua dan butuh kerja keras semua pihak untuk mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan berdaulat.(tim)
Hidup di Tapal Batas Sebatik
Editor : Lucky Marbun
Reporter : Albert Bembot
Nunukan Zoners Kaltim - Bagaimana rasanya hidup di perbatasan dua negara ?. Tim Teropong belum lama ini mengunjungi Pulau Sebatik di Kalimantan Timur terbelah dua, satu milik Malasia dan satu lagi, kita – Indonesia. Penduduk di sini harus menggunakan dua mata uang yang berbeda. Atau rumah yang juga terbagi dua. Begitulah hidup di tapal batas. Hari masih pukul sembilan pagi, saatnya kami bergegas dari Kota Tarakan dengan menumpang helikopter TNI Angkatan Darat. Perjalanan ke Sebatik tidaklah mudah, karena letaknya sangat jauh dan sulit dicapai dengan jalan darat. Kalimantan Timur masih diliputi hutan lebat, meskipun disana – sani terlihat titik – titik tandus karena pohonnya yang sudah ditebang. Pulau ini letaknya disebelah timur laut Kalimantan. Luasnya sekitar dua ratus sembilan puluh sembilan kilo meter persegi. Secara administratif dibagi dua antara Indonesia dan Malaysia. Bagian utara dikelola negara bagian Sabah - Malaysia. Sedangkan bagian selatan masuk Kabupaten Nunukan Propinsi Kalimantan Timur. Kami mampir lebih dahulu ke Pulau Nunukan yang berbatasan dengan Malaysia. Dari sini kami akan menggunakan perahu, untuk menyebrang ke Pulau Sebatik. Dari dermaga Sedadap di Pulau Nunukan, perjalanan ke dermaga Manstika di Pulau Sebatik, kurang lebih limabelas menit dengan perahu motor. Biayanya pun tergantung cuaca dan jumlah penumpang. Kalau cuaca lagi bersahabat biaya penyebrangan hanya limabelas ribu rupiah. Tetapi jika lagi ombak besar biaya tiket yang harus dibeli melonjak mencapai lima puluh ribu perorang. Kadang penumpang harus menanti cukup lama, bila cuaca buruk. Sebagian besar mereka, mereka hendak pergi ke Tawao, wilayah Malaysia yang letaknya di sebrang Pulau Sebatik. Pulau Sebatik pernah ramai dibicarakan orang ketika ketika terjadi eksodus besar – besaran TKI dari Malaysia. Dan inilah Pulau Sebatik. Barangkali pulau ini satu – satunya di dunia yang terpaksa harus dibelah dua, antara kita dan Malaysia. Kesan pertama tandus dan gersang. Kondisinya hampir tidak ada bedanya dengan Pulau Nunukan. 46 tahun lalu, pulau ini menjadi saksi pertempuran hebat antara Indonesia dan Malaysia, mempersoalkan status Kalimantan. Dari dermaga, selama satu jam kami melewati jalan darat, yang tidak nyaman menuju Kota Sei Nyamuk, Ibu Kota Kecamatan Sebatik. Bercengkrama di Tapal Batas Penduduk asli di Pulau Sebatik adalah Suku Tidung. Mereka menempati wilayah bagian barat. Selain Tidung, banyak pendatang yang mendiami pulau ini, seperti Bugis – Makassar atau Timor. Sekitar tiga puluh ribu kepala keluarga di sini bermata pencaharian sebagai petani coklat dan kelapa sawit. Ada juga yang memilih profesi sebagai nelayan dan pemecah batu. Menarik melihat dari dekat kehidupan mereka di Desa Aji Kuning, desa unik yang terbelah, satu Indonesia, satu lagi wilayah Malaysia. Dari delapan desa di Kecamatan Sebatik, memang ada tiga desa, termasuk Desa Aji Kuning yang berbatasan langsung dengan negara bagian Sabah. Dengan mudah kita melihat terbelahnya desa ini dari rumah milik Mappangarah. Sepintas tidak ada yang istimewa dari rumah ini. Ternyata jika kita perhatikan, rumah milik Mapanggarah ini berdiri diatas wilayah dua negara. Bagian depan rumah ini berada di wilayah Indonesia, sedangkan bagian belakang atau dapurnya berada di wilayah Malaysia. Garis batas memang tidak memisahkan dengan jelas, penduduk di perbatasan dua negara ini. Bahkan ada warga negara kita yang tinggal di Malaysia, sebagian justru masih keluarga atau kerabat Mapanggarah. Ketidakjelasan ini sudah lama terjadi. Sebenarnya Desa Aji Kuning secara De Jure masuk Malaysia, namun penduduk Indonesia sudah tinggal sejak tahun 1975 tidak pernah mempermasalahkannya. Lihat saja, salah satu pos perbatasan ini. Sepintas, sulit membedakan warga negara Indonesia dan Malaysia. Kedua warga negara, sering melintas keluar masuk perbatasan untuk berdagang, mengunjungi keluarga di kedua wilayahnya. Biasanya pedagang Malaysia membeli berbagai hasil pertanian, lalu membawanya ke Tawao – Malaysia yang hanya ditempuh sepuluh menit dengan perahu motor. Yang menarik, kehidupan di Sebatik ini tidak bisa lepas dari kehadiran TNI Angkatan Darat. Maklum wilayah perbatasan. Kehadiran anggota TNI di kampung Aji Kuning sudah menjadi bagian dari masyarakat disini. Dua kali seminggu prajurit – prajurit ini mengajar dan melatih agar siswa – siswi di SDN 010 Aji Kuning ini memiliki wawasan kebangsaan yang tinggi dan semakin cinta akan negerinya.
Mengais Ringgit di Pasar Malam
Mencari ikan, adalah salah satu mata pencarian masyarakat yang tinggal di kamping Aji Kuning Pulau Sebatik. Mereka mengandalkan Tawao – Malaysia untuk pemasaran hasil laut dan komoditi pertanian. Dan ini adalah salah satu tempat penampungan ikan di Pulau Sebatik. Biasanya nelayan di pulau ini menjualnya para bandar. Lalu dibawa ke Tawao Malaysia dengan harga tiga hingga empat ringgit perkilogramnya. Untuk menambah penghasilan, kaum wanita di pulau ini juga memiliki kesibukannya sendiri. Herlina yang tinggal di kampung sungai Bajao - Sebatik Timur ini, setiap hari sibuk mencari tudai, sejenis kerang yang biasanya berada dibalik pasir. Mencari tudai biasa dilakukan sejak pagi hingga siang, saat air masih surut. Dalam sehari ia bisa mengumpulkan dua kilogram tudai. Tudai ini kemudian di jual kepada pengepul dari Tawao seharga dua ringgit atau sebelas ribu rupiah perkilogramnnya. Tanpa Tawao, barangkali kehidupan di pulau ini berhenti. Semisal beribu – ribu tandan pisang ini, akan membusuk, bila tidak dipasarkan ke Tawao Malaysia.Penduduk menggunakan sungai senyamuk ini, sebagai sarana transportasi ke sana. Seluruh transaksi dilakukan dengan mata uang Ringgit - Malaysia. Sejak lama, penduduk di sini mengandalkan Tawao. Namun belakangan transaksi mulai berkurang. Pasar ini Barangkaloi menjadi salah satu penyebab. Pasar Aji Kuning kini cukup membantu masyarakat di pulau Sebatik. Pasar ini setiap hari buka, bahkan pada malam minggu dibuka hingga pagi hari. Tapi anda heran, melihat barang yang dijual. Sebagian besar berasal dari Malaysia. Kasna, salah satu pedagang, sengaja membeli roti dari Malaysia. Bukan rasanya yang enak, melainkan jaraknya lebih dekat, sehingga kualitasnya tidak cepat rusak. Ringgit memang berkuasa di sini. Ini pertanda Malaysia telah menggerakan perekonomian di pulau ini dan akhirnya penduduk tergantung dengan Ringgit. Pemerintah harus memberikan perhatian lebih di daerah ini, untuk mengikis ketergantungan mereka dengan Ringgit, atau keinginan mereka mewariskan mata uang rupiah kepada anak cucu hanya tinggal mimpi. (Sup)
Sejarah Terbentuknya Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur
Kabupaten Nunukan merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Bulungan, yang terbentuk berdasarkan pertimbangan luas wilyah, peningkatan pembangunan, dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Pemekaran Kabupaten bulungan ini di pelopori oleh RA Besing yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Bulungan.
Pada tahun 1999, pemerintah pusat memberlakukan otonomi daerah dengan didasari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Nah, dgn dasar inilah dilakukan pemekaran pada Kabupaten Bulungan menjadi 2 kabupaten baru lainnya yaitu Kabupaten Nunukan dan kabupaten Malinau.
Pemekaran Kabupaten ini secara hukum diatur dalam UU Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Barat, dan Kota Bontang pada tanggal 4 Oktober 1999. Dan dengan dasar UU Nomor 47 tahun 1999 tersebut Nunukan Resmi menjadi Kabupaten dengan dibantu 5 wilayah administratif yakni Kecamatan Lumbis, Sembakung, Nunukan, Sebatik dan Krayan.
Nunukan terletak pada 3° 30` 00" sampai 4° 24` 55" Lintang Utara dan 115° 22` 30" sampai 118° 44` 54" Bujur Timur.
Adapun batas Kabupaten Nunukan adalah:- Utara; dengan negara Malaysia Timur, Sabah.
- Timur; dengan Laut Sulawesi.
- Selatan; dengan Kabupaten Bulungan dan Kabupaten Malinau.
- Barat; dengan Negara Malaysia Timur, Serawak