Mimpi masa kini adalah kenyataan hari esok.
Anda bisa, jika Anda berpikir bisa, selama akal mengatakan bisa. Batasan apakah sesuatu masuk akal atau tidak, kita lihat saja orang lain, jika orang lain telah melakukannya atau telah mencapai impiannya, maka impian tersebut adalah masuk akal.
Menuliskan tujuan akan sangat membantu dalam menjaga alasan melakukan sesuatu.
Mengharukan juga melihat dan mendengar anak-anak kelas 3 SD Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) menyanyikan lagu
"Indonesia Raya" dan
"Garuda Pancasila" sebelum mereka memulai belajar. "Inilah cara kami mengenalkan Indonesia dan menumbuhkan rasa cinta pada diri anak-anak TKI di Sabah terhadap negara tercinta, Indonesia," kata Dadang Hermawan, Kepala Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK), Sabah, Borneo. Sekitar 80 persen, anak-anak TKI yang sekolah di SIKK lahir di Sabah. Mereka kurang mengenal Indonesia. Lahir karena orang tua mereka adalah buruh perkebunan kelapa sawit. Anak-anak TKI itu tumbuh dan besar di negeri orang tanpa bisa mengecap pendidikan formal seperti umumnya anak-anak Indonesia di tanah air dan anak-anak warga Malaysia.
"Tidak betul juga jika dikatakan anak-anak TKI tidak bisa belajar di sekolah Malaysia. Yang dilarang adalah sekolah kebangsaan karena itu ada subsidinya. Anak warga asing seharusnya sekolah di swasta atau sekolah internasional," kata atase pendidikan KBRI Kuala Lumpur, Imran Hanafi. "Di sinilah persoalannya, orang tuanya berprofesi sebagai TKI tidak mampu membayar sekolah swasta apalagi sekolah internasional sehingga ribuan anak-anak TKI bisa mengecap pendidikan formal," tambah dia. Ditambah lagi, peraturan imigrasi Malaysia melarang pekerja asing membawa anggota keluarganya, baik anak dan istri, termasuk dilarang kawin.
Namun kenyataannya, TKI yang bekerja di Sabah, apakah itu menjadi buruh perkebunan kelapa sawit atau menjadi pembantu, membawa keluarganya. Para majikannya tampaknya mengijinkan hal itu demi kenyamanan dan loyalitas kerja para buruhnya. Menurut data KJRI Kota Kinabalu tahun 2006, ada sekitar 24.199 anak-anak TKI di Sabah tidak bisa mendapatkan pendidikan. Karena saat itu yang dicatat hanya anak-anak usia sekolah maka pada tahun 2008, diperkirakan 30.000 anak-anak TKI yang tidak mengecap pendidikan formal.
Hambatan Sekolah
Masalah buruh di perkebunan kelapa sawit untuk tidak boleh kawin dan membawa keluarga menjadi suatu dilema. Aturan imigrasi Malaysia memang buruh asing dilarang kawin dan membawa keluarganya, kecuali ekspatriat. Hal itu diakui Manajer SDM Sabah Land Development Board (SDLB) Syaheddrul Joddari. "Kami punya buruh laki-laki dan wanita. Walaupun kami selalu melarang mereka kawin, tapi yang namanya cinta sulit dicegah. Perkawinan baik resmi atau tidak terjadi di perkebunan hingga mereka punya anak," katanya. Melihat ada buruh yang kawin, punya istri dan anak sudah tentu mendorong buruh yang punya istri di kampung untuk membawa keluarganya ke Sabah. Hal ini berlangsung sekian lama sehingga ribuan anak-anak buruh perkebunan kelapa sawit kini tidak bisa mengecap pendidikan formal. Apalagi setelah ada revisi UU Pendidikan di Malaysia yang mendiskriminasi anak buruh asing bersekolah di sekolah milik pemerintah karena ada unsur subsidinya. "Bagi majikan dan perusahaan perkebunan, ada keluarga buruh menciptakan kenyamanan kerja bagi si buruh. Jika nyaman maka loyalitas kerja juga bagus. Selain itu, anak-anak dan istri buruh juga bisa sekaligus bekerja untuk menambah penghasilan keluarga. Apalagi anak-anak buruh tidak bersekolah maka bekerja di perkebunan kelapa sawit selain menambah penghasilan juga kegiatan yang baik untuk membunuh waktu," kata konsuler bidang ketenagakerjaan KJRI Kota Kinabalu, Umbara Setiawan. Anak tidak bisa sekolah sudah tentu akan menambah panjang kemiskinan keluarga buruh. Pemerintah Indonesia dan Malaysia dibantu LSM Humana berbasis di Eropa mencoba mengadakan sekolah informal. Anak-anak TKI dan buruh Filipina diajarkan membaca, menulis, dan berhitung. Tidak ada jenjang kelas. Yang penting bisa membaca, menulis dan berhitung. Pemerintah Malaysia juga sudah meminta perusahaan perkebunan secara sukarela menyediakan gedung sekolah informal. Kini ada sekitar 90 gedung sekolah informal yang dikelola Humana dengan jumlah murid sekitar 7.000 orang. Sejak tahun 2007, Indonesia telah mengirimkan 109 guru. Tapi upaya pemerintah Indonesia tidak cukup sampai di situ saja. Atas dasar hubungan baik kedua negara, kedua kepala pemerintahan sepakat untuk mengijinkan adanya sekolah Indonesia di Kota Kinabalu bagi anak-anak TKI.Sudah Operasi
Sekolah Indonesia Kota Kinabalu beroperasi sejak 1 Desember 2008 dengan jumlah 274 murid sekolah dasar (SD). SIKK memiliki enam ruang kelas di kompleks pertokoan Alam Mesra, Kota Kinabalu. Dengan enam kelas, SIKK ini dapat menampung 326 anak TKI, tapi kini baru menampung 274 anak karena baru empat guru termasuk kepala sekolah ikut mengajar. "Dalam waktu dekat akan ada empat guru tambahan lagi datang dari Indonesia," kata Dadang Hermawan. "Agar dapat memberikan pendidikan yang lebih luas kepada anak-anak TKI, SIKK akan mengadakan pendidikan non formal melalui paket A, paket B dan paket C, " tambah dia. Untuk tahun pertama, seluruh anak-anak SIKK diberikan seragam baru "Merah Putih" dan buku-buku pelajaran. "Mereka sangat antusias dalam belajar. Masuk pukul tujuh tapi pukul 6 banyak yang sudah tiba di sekolah. Itu artinya mereka sudah meninggalkan rumah ke sekolah jam 05 pagi," ungkap Dadang. Orang tua murid, Edijatmiko, asal Malang mengaku sangat senang ada sekolah Indonesia di Kota Kinabalu karena kini anaknya bisa mendapatkan pendidikan informal. "Selama ini, anak-anak kami hanya sekolah seperti madrasah di kampung. Tidak bisa masuk ke sekolah formal," katanya. Menurut data KJRI, ada 576 anak TKI yang ingin sekolah di SIKK. Tapi setelah diadakan seleksi dan evaluasi hanya 274 yang bisa masuk sekolah formal. "Banyak anak-anak TKI di usia 11 tahun tapi belum bisa baca. Terpaksa kami tidak bisa terima," kata Kepsek SIKK Dadang. Nabila, murid kelas I SIKK, mengaku senang bisa sekolah di SIKK. "Teman-teman juga senang bisa memakai seragam merah putih, seragam sekolah Indonesia. Saya kini sudah hafal lagu Indonesia Raya dan Garuda Pancasila," katanya sambil tersenyum. Sumber : Ant
Baca Lebih Lengkap Artikelnya....
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Nunukan meminta kepada pemerintah Kabupaten Nunukan untuk menetapkan satu daerah sebagai pusat perdagangan lintas batas. “Pemerintah selayaknya sudah menetapkan salah satu di daerah ini sebagai kawasan perdagangan lintas batas,” tegas anggota
DPRD Nunukan Saharuddin usai mendengarkan paparan kepala Bappeda Nunukan H Hanafiah SE, MSi terkait program kerja Bappeda Nunukan tahun 2009 belum lama ini di ruang pertemuan kantor DPRD Nunukan. Menurut anggota DPRD dari Komisi III ini, dengan ditetapkannya kawasan perdagangan lintas batas di Kabupaten Nunukan maka secara tidak langsung pemerintah akan menetapkan sebuah kebijakan khusus yang bisa memudahkan masyarakat untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari dari negera tetangga Malaysia. Pada sebuah kesempatan anggota DPRD dari
Partai Bulan Bintang daerah pemilihan Kecamatan Sebatik ini menjelaskan bahwa hampir 90 persen kebutuhan sembako yang di pergunakan masyarakat sebatik itu berasal dari negera tetangga. Mencermati hal tersebut, ini menandakan bahwa untuk sembako masyarakat kecamatan Sebatik sangat memiliki ketergantungan dari negeri jiran, khususnya di Tawau.
Hubungan dagang secara tradisional yang dilakukan masyarakat Sebatik menurut Saharuddin sudah berjalan sejak lama namun dalam kondisi yang seperti itu, masyarakat sering mengalami kendala, karena proses mendapatkan barang-barang kebutuhan sembilan bahan pokok tidak berdasarkan dokumen resmi seperti layaknya perdagangan lintas batas. Menjelaskan harapan dari anggota DPRD Nunukan, Kepala Bappeda Nunukan H Hanafiah menyebutkan bahwa di Kabupaten Nunukan ada dua daerah yang dicanangkan sebagai kawasan perdagangan lintas batas. “Kita di Bappeda sudah mencanangkan dua daerah yang akan kita jadikan kawasan pergadangan, yakni Nunukan dan Sebatik,” terangnya.(ogy)
Baca Lebih Lengkap Artikelnya....
26 Kabupaten Perbatasan Masih Tertinggal
Senin, 16 Februari 2009 | 19:34 WIB JAKARTA, SENIN- Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal RI Lukman Edi mengatakan, dari 460 lebih kabupaten di Indonesia, 199 kabupaten di antaranya daerah tertinggal. Dari 199, 26 kabupaten posisinya di daerah perbatasan, semuanya daerah tertinggal dan masyarakatnya miskin. Di Kalimantan, yang berbatasan dengan Malaysia, misalnya, masyarakat Indonesia jauh tertinggal dan memprihatinkan. Intervensi pemerintah ke daerah perbatasan setiap tahun sangat terbatas. Tahun 2008 lalu, anggaran yang diarahkan untuk membangun daerah tertinggal hanya Rp 1,6 triliun. "Tahun 2009, anggaran untuk membangun daerah tertinggal bukannya naik, tapi turun dibanding tahun lalu, yaitu Rp1,2 triliun," katanya pada seminar Masalah Pembangunan di Perbatasan: Upaya Mengentaskan Kemiskinan dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, Senin (16/2) di Widya Graha LIPI, Jakarta. Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Umar Anggara Jenie mengatakan, fakta yang terjadi di wilayah perbatasan saat ini justru kebablasan dengan segala potensi yang dimiliki. Alih-alih jadi daerah yang makmur dan sejahtera, perbatasan justru menjadi daerah miskin dan terbelakang.
Salah satu masalah klasik di wilayah perbatasan yang hingga kini belum juga tuntas tertangani adalah masalah kemiskinan. Pada masa sebelum reformasi, hal ini terkait dengan paradigma pemerintah yang melihat daerah perbatasan sebagai sebuah wilayah rawan yang harus didekati dengan pendekatan keamanan nir kesejahteraan.Sebagai dampaknya tidak mengherankan wilayah tersebut menjadi tertinggal dan terbelakang, serta masyarakatnya miskin. "Fenomena layaknya ayam mati di lumbung padi," katanya. Menurut Umar, di era reformasi paradigma pemerintah terhadap daerah perbatasan telah berubah. Tidak lagi melihatnya sebagai kebun belakang, tetapi sebagai pintu depan dan gerbang bangsa. Pendekatan kesejahteraan mendapat tempat di samping pendekatan keamanan. Masalah nasionalisme, nilai-nilai kebangsaan perlu mendapat perhatian lebih. Keterbatasan sarana dan prasaranan seperti telekomunikasi, transportasi, dan minimnya daya tampung pekerja, telah menyebabkan beralihnya identitas keindonesiaan ke negara lain, yang interaksinya lebih dirasakan dan menjanjikan. LIPI sudah lama mempunyai aktivitas di daerah perbatasan. Di Belu, Nusa Tenggara Timur, yang berbatas dengan Timor Leste, misalnya, LIPI membuat pemancar televisi, telepon pedesaan, pengusaha kecil-menengah diberi sentuhan teknologi, aktivitas mencari sumber-sumber air ber sih, dan lain sebagainya. Memajukan daerah tertinggal memerlukan penanganan mutidisiplin dan kerjasama berbagai pemangku kepentingan.Kompas : NAL
Baca Lebih Lengkap Artikelnya....
Trans-Kalimantan, Jalan Harapan
Dari Simanggaris, kami memulainya. Dari desa terujung di
Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, yang berbatasan dengan Negara Bagian Sabah, Malaysia, ini perjalanan darat menjelajah Kalimantan dilaksanakan hari Kamis (5/2) ini. Perjalanan darat sepanjang 3.109 kilometer, atau tiga kali jarak Anyer-Panarukan di Pulau Jawa, ini dijadwalkan berakhir di Desa Sajingan, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, yang berbatasan dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia pada Rabu (18/2). Perjalanan menembus lintas Kalimantan dari timur ke barat telah menjadi obsesi penjelajah Eropa sejak tahun 1800-an. Mayor Georg Muller dan belasan serdadu Belanda memulai upaya perjalanan itu dengan menyusuri Sungai Mahakam ke arah hulu pada tahun 1825. Dari sana, ia mencoba menembus perbukitan di jantung pulau, dan berencana mencapai pesisir barat Kalimantan dengan melalui Sungai Kapuas. Namun, Muller tak pernah sampai ke tujuan. Muller dan pasukannya hilang tak berbekas di rimba raya Borneo—nama lama Pulau Kalimantan. Anton W Niewenhuis tercatat sebagai penjelajah Belanda pertama yang berhasil menembus pedalaman pulau ini dari Pontianak ke Samarinda dengan menyusuri Sungai Kapuas ke arah hulu, melintas gigir tebing Pegunungan Muller—diabadikan dari nama Georg Muller—dan menghilir Sungai Mahakam. Perjalanan dokter Belanda pada tahun 1894 itu digambarkan sangat berat seperti tertulis dalam buku Di Pedalaman Borneo (PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), edisi terjemahan dari catatan perjalanan Niewenhuis yang legendaris, In Central Borneo.
Perjalanan berat itu ironisnya masih harus dialami oleh warga Kalimantan hingga saat ini. Lebih dari seratus tahun berlalu. Belum ada jalan darat yang bisa menyatukan Kaltim hingga Kalbar. Sekitar 20 tahun lalu, yakni pada 6 Juni 1989, empat gubernur di Kalimantan (Kaltim, Kalsel, Kalteng, dan Kalbar) telah mendesak percepatan pembangunan jalan lintas (trans-Kalimantan) yang menyatukan keempat provinsi ini. Namun, Departemen Pekerjaan Umum baru bisa menjanjikan, jalan itu akan terhubung pada akhir 2009. ”Pada akhir 2009, lintas selatan Kalimantan diharapkan sudah terhubung meski di beberapa titik masih harus menyeberang dengan kapal feri, sedangkan lintas utara dan tengah masih harus menunggu anggaran,” kata Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto saat berkunjung ke Redaksi Kompas, 30 Januari lalu. Jalan trans-Kalimantan saat ini sebagian masih berupa tanah merah, sebagian berupa aspal berlubang yang sering terendam air, dan masih harus melalui sungai yang belum ada jembatannya. Menyusuri jalan yang sebagian ruas pada awalnya merupakan jalur logging yang dibuat perusahaan-perusahaan kayu ini selalu dibayangi ketidakpastian, dan harus siap-siap bermalam di jalan.
Ironis
Ketertinggalan infrastruktur jalan di Kalimantan menjadi sisi gelap pulau yang selama puluhan tahun dijadikan daerah ”modal” bagi negara ini untuk menyuplai kayu, permata, emas, batu bara, minyak dan gas bumi, bijih besi, hingga kelapa sawit. Puluhan tahun kekayaan alam pulau ini dikeruk melalui jalur darat dan yang terutama melalui jalur sungai. Selain jalur darat yang masih belum terhubung, jalur penerbangan udara pun tak bisa merangkai empat provinsi di satu pulau ini dalam satu rute penerbangan. Dari Pontianak (Kalbar) ke Banjarmasin (Kalsel) atau Palangkaraya (Kalteng) dan Samarinda (Kaltim), kita harus transit dulu ke Jakarta. ”Sebuah penerbangan yang mahal dan tidak efisien,” kata Agustin Teras Narang, Gubernur Kalteng yang juga Koordinator Forum Kerja Sama Revitalisasi dan Percepatan Pembangunan Regional Kalimantan. Teras Narang juga mengeluhkan tentang kota-kota di Kalimantan yang mengalami krisis listrik. ”Tiap malam, kota-kota besar di Kalimantan gelap karena kekurangan pasokan listrik,” katanya. Gambaran itu kami temukan di Palangkaraya baru-baru ini. Ibu kota Provinsi Kalteng yang didesain oleh Presiden Soekarno sebagai calon ibu kota Indonesia itu menjelma menjadi kota yang kehilangan gairah begitu malam tiba. Jalanan, pasar, dan lapangan kota pun jadi wilayah ”gagap” karena gelap gulita tiada aliran listrik. ”Di pedalaman kondisinya lebih parah. Masih banyak desa yang belum dialiri listrik,” kata Teras.
Palangkaraya hanya salah satu potret saja. Kekurangan listrik ini hampir merata dialami kota-kota pada empat provinsi di Kalimantan. Inilah ironi nyata tentang ketimpangan pembangunan pusat dan daerah. Padahal, 94 persen produksi batu bara nasional diambil dari tanah Kalimantan. Batu bara Borneo telah menerangi kota-kota di Pulau Jawa hingga Korea, Jepang, dan China. ”Jelajah Kalimantan”, atau perjalanan menyusuri jalan darat Nunukan-Sambas, dilakukan Kompas untuk mengingatkan bangsa ini tentang tanah terlupa, yang diperas sumber daya alamnya, tetapi sangat minim infrastrukturnya. Penjelajahan ini didukung oleh Departemen Pekerjaan Umum yang menurunkan tim dan kendaraan-kendaraan gardan ganda mereka. (FUL/BRO/CAS/WHY)
Baca Lebih Lengkap Artikelnya....
Sejarah Terbentuknya Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur
Kabupaten Nunukan adalah salah satu
Kabupaten di
provinsi Kalimantan Timur,
Indonesia.
Ibu kota kabupaten ini terletak di
kota Nunukan. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 14.493 km² dan berpenduduk sebanyak 109.527 jiwa (
2004). Motto Kabupaten Nunukan adalah "Penekindidebaya" yang artinya "Membangun Daerah" yang berasal dari bahasa
suku Tidung.
Nunukan juga adalah nama sebuah
kecamatan di
Kabupaten Nunukan,
Provinsi Kalimantan Timur,
Indonesia.
Kabupaten Nunukan merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Bulungan, yang terbentuk berdasarkan pertimbangan luas wilyah, peningkatan pembangunan, dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Pemekaran Kabupaten bulungan ini di pelopori oleh RA Besing yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Bulungan.
Pada tahun 1999, pemerintah pusat memberlakukan otonomi daerah dengan didasari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Nah, dgn dasar inilah dilakukan pemekaran pada Kabupaten Bulungan menjadi 2 kabupaten baru lainnya yaitu Kabupaten Nunukan dan kabupaten Malinau.
Pemekaran Kabupaten ini secara hukum diatur dalam UU Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Barat, dan Kota Bontang pada tanggal 4 Oktober 1999. Dan dengan dasar UU Nomor 47 tahun 1999 tersebut Nunukan Resmi menjadi Kabupaten dengan dibantu 5 wilayah administratif yakni Kecamatan Lumbis, Sembakung, Nunukan, Sebatik dan Krayan.
Nunukan terletak pada 3° 30` 00" sampai 4° 24` 55" Lintang Utara dan 115° 22` 30" sampai 118° 44` 54" Bujur Timur.
Adapun batas Kabupaten Nunukan adalah:
- Utara; dengan negara Malaysia Timur, Sabah.
- Timur; dengan Laut Sulawesi.
- Selatan; dengan Kabupaten Bulungan dan Kabupaten Malinau.
- Barat; dengan Negara Malaysia Timur, Serawak
Kata Mutiara Hari Ini
Hidup bukan hidup, mati bukan juga mati, hidup adalah mati, mati adalah hidup, hidup bukan sekedar kematian, hidup adalah sensasi dari kematian, mati bukan sekedar kematian, mati adalah sensasi dari kehidupan, kematian dan kehidupan hanyalah sebuah sensasi dalam suasana ketidaknyataan....