NUNUKAN - Tanggal 16 Mei 1895, para penanda tangan The Hague Treaty membagi-bagi pulau terbesar kedua di dunia, Papua, layaknya mengiris kue tart. Satu garis maya, garis 141° Bujur Timur, dijadikan batas wilayah jajahan Belanda dan wilayah jajahan Inggris. Inggris mendapatkan seluruh wilayah di sebelah timur garis maya itu, sedangkan Belanda mendapatkan seluruh wilayah di sebelah barat garis 141° Bujur Timur. Namun, garis maya yang menjadi batas wilayah jajahan itu membelah puluhan kampung, tanah ulayat, wilayah perburuan, dan kebun ratusan suku pribumi di sepanjang perbatasan. Ratusan tanah ulayat itu memiliki banyak perlintasan atau jalan setapak untuk menjalankan aktivitas sehari-hari seperti mengunjungi kerabat, berziarah ke makam leluhur, hingga berburu. Demikian pula tanah ulayat di sepanjang 770 kilometer (km) garis perbatasan yang membentang di kawasan pegunungan, hutan, savana, dan rawa-rawa yang terpencil dan sulit dipantau. Topografi yang berat menyebabkan Indonesia sulit menjalankan kewajibannya merawat 24 tapal penanda garis demarkasi (Mediteranian Monument). Biayanya mahal dan letaknya di kawasan yang sangat terpencil. Sebanyak 11 pos lintas batas juga sulit memantau pelintas batas tradisional karena sulitnya memobilisasi petugas ke pos tersebut. Hanya Pos Pelayanan Lintas Batas Skow di Kota Jayapura dan Pos Lintas Batas di Merauke yang efektif memantau pelintas batas," kata Kepala Badan Perbatasan dan Kerja Sama Daerah Papua Berti Fernandez. Jangankan memantau pelintas batas, penyelundup, atau mengawasi perbatasan kedua negara, mengurus prajurit TNI yang mengamankan perbatasan pun sulit. Puluhan pos TNI di wilayah perbatasan terletak di lokasi yang hanya terjangkau helikopter, sehingga pengiriman logistik sulit dilakukan. Padahal helikopter TNI di Papua hanya ada dua unit, sementara pengiriman logistik harus berpacu dengan cuaca yang berubah-ubah. Jika salah satu helikopter mengalami gangguan, sebagaimana kecelakaan helikopter Pangkalan TNI AU di Jayapura pada 16 November, pengiriman logistik bagi pasukan di perbatasan terancam. Banyak prajurit TNI dari luar Papua yang di bawah komando operasi untuk mengamankan perbatasan RI-Papua Niugini justru terserang malaria.Panglima Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih Mayor Jenderal TNI Haryadi Soetanto mengakui beratnya kondisi prajurit di perbatasan. "Prajurit di perbatasan berada di tempat yang sangat terpencil, dingin, rawan malaria. Banyak pos yang hanya efektif dijangkau dengan helikopter. Dari Merauke ke pos perbatasan di Kabupaten Boven Digul, misalnya, jika ditempuh lewat darat memakan waktu delapan hari," kata Haryadi di Jayapura,. Mengurus dan mengamankan wilayah hanyalah sebagian dari keruwetan mengurus serambi timur Indonesia. Mengurus persoalan sosial dan kemanusiaan di perbatasan Indonesia-Papua Niugini sama rumitnya. Untuk menyesuaikan diri dengan kondisi alam, masyarakat pribumi yang secara alamiah sering berpindah kampung sering berpindah dari wilayah Indonesia ke Papua Niugini. Begitu pula sebaliknya.
Perbedaan mencolok
Berbeda dengan kondisi di perbatasan Indonesia-Papua Niugini yang hampir sama, perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan Timur memamerkan ketimpangan yang mencolok. Itu tampak di Pulau Sebatik, Di Desa Sungai Nyamuk, Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan, misalnya, sudah lazim lampu lima watt yang remang-remang berpendar dari deretan rumah, toko, dan warung di Jalan Pelabuhan. Jalan yang dibangun darikayu ulin dan selebar 2 meter itu menjorok ke laut menuju Dermaga Pos Sebatik. Daratan lain di seberang dapat ditempuh 15 menit berperah menyeberangi selat, deretan gedung tinggi menjulang dengan gemerlap warna-warni lampu. Kota Tawau di Sabah, Malaysia, sedang mandi cahaya. Sungai Nyamuk adalah satu dari delapan desa di Pulau Sebatik. Tujuh desa lain ialah Tanjung Aru, Tanjung Karang, dan Pancang di Kecamatan Sebatik serta Aji Kuning, Setabu, Binalawan, dan Liang Bunyu di Kecamatan Sebatik Barat. Pulau seluas 20.975 hektar ini dibagi dua, untuk Indonesia dan Malaysia. Bagian pulau di wilayah Indonesia yang berpenduduk sekitar 30.000 jiwa itu dapat dikelilingi dengan jalan sepanjang 95,5 kilometer (km). Namun, hanya 5 kilometer yang mulus. Melintasi jalan rusak itu membuat mobil cepat rusak, padahal suku cadang hanya bisa dibeli di Tawau. Kota terdekat di Indonesia ialah Tarakan di selatan, yang perlu ditempuh tiga jam dengan perahu cepat bermesin. Jangankan punya bandara udara seperti Tawau, di Pulau Sebatik hanya ada satu toko swalayan. Rumah sakit pun tidak ada. Di Pulau Kalimantan membentang garis perbatasan Indonesia dengan Malaysia sepanjang 2.004 km. Sepanjang 1.038 km di Kaltim dan 966 km di Kalbar. Di sepanjang garis itu dipasang 19.328 patok. Panglima Komando Daerah Militer VI/Tanjungpura Mayor Jenderal George Robert Situmeang mengatakan, sebagian patok bergeser masuk ke Indonesia. Caranya seperti sengaja dipindah atau ditabrak kendaraanpengangkut kayu. Di Kaltim terdapat 319 desa di dekat perbatasan dengan Malaysia. Desa-desa itu berada di 11 kecamatan di tiga kabupaten. Penduduk di perbatasan sekitar 120.000 jiwa atau 4 persen dari 3,029 juta jiwa penduduk Kaltim. Mereka bagian dari 29 persen penduduk miskin di provinsi kaya minyak dan gas bumi serta batu bara ini. Penduduk perbatasan pun hidup terisolasi. Desa satu dengan lainnya rata-rata tidak terhubung jalan. Untuk mengatasi berbagai masalah di perbatasan, pemerintah merancang solusi. Salah satunya membangun jalan di garis perbatasan sepanjang 1.038 km.
Baca Lebih Lengkap Artikelnya....