Sebagai negara kepulauan hingga saat ini Indonesia senantiasa dihadapkan pada kompleksitas permasalahan di wilayah laut. Pada bidang hukum, misalnya, Indonesia masih dihadapkan pada beberapa permasalahan seperti tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang berujung pada konflik kewenangan antarlembaga. Selain itu, Indonesia dihadapkan pada masalah adanya kekosongan hukum dalam menciptakan bangunan hukum yang utuh dan terintegrasi. Sementara itu, sebagaimana kita ketahui, pada bulan Oktober yang lalu DPR telah mengesahkan Undang-undang Wilayah Negara dalam mengatasi permasalahan kekosongan hukum terkait dengan permasalahan kewilayahan, baik yang bersifat politik maupun ekonomi. Hal ini sebagaimana tujuan yang termaktub dalam wilayah negara, yaitu menjamin keutuhan wilayah dan kedaulatan negara serta mengatur pengelolaan dan pemanfaatan wilayah negara dan kawasan perbatasan. Keberhasilan pengesahan UU Wilayah Negara adalah salah satu bentuk political will Pemerintah dalam membangun Indonesia sebagai negara kepulauan. Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah kehadiran UU Wilayah Negara sudah dianggap mampu menuntaskan kompleksitas permasalahan bangsa di wilayah laut? Kompleksitas permasalahan dalam membangun kelautan Indonesia dimulai dari ego-sektoral. Beberapa lembaga negara merasa berhak mengelola laut, sehingga mereka merancang suatu undang-undang untuk dijadikan dasar hukum untuk menjalankan wewenangnya. Akibatnya, terjadi tumpang tindih peraturan perundang-undangan dan menciptakan inefisiensi serta konflik kewenangan antarlembaga. Koordinasi Hanya di Atas Kertas Konflik kewenangan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu Pertama, konflik kewenangan dalam pengelolaan sumber daya di wilayah laut, termasuk pemberian izin pemanfaatan. Contohnya antara Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Departemen Kehutanan (Dephut) yang mempunyai mandat dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan. Dephut mendapatkan pengakuan hukum dari UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sementara itu, DKP mendapatkan pengakuan hukum dari UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Selain itu, konflik tata ruang di wilayah pesisir antara UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan UU No 27 Tahun 2007. Belum lagi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang memberi Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) yang ditolak beberapa kelompok masyarakat, khususnya kalangan pemerhati lingkungan hidup. Kedua, setidaknya terdapat delapan lembaga penegak hukum yang berwenang di wilayah laut, yaitu TNI AL, Polri, PPNS DKP, PPNS Departemen Perhubungan, PPNS Bea Cukai, PPNS Imigrasi, PPNS Lingkungan Hidup, dan PPNS Dephut. Bila dikelompokkan pada batasan wilayah kewenangannya, terdapat tiga kelompok, yaitu (1) lembaga yang memiliki kewenangan hanya terbatas pada wilayah perairan Indonesia atau pada wilayah yang dikelompokkan statusnya kedaulatan negara, seperti Polri, PPNS Dephub, PPNS Dephut; (2) lembaga yang memiliki kewenangan pada wilayah perairan Indonesia yang statusnya kedaulatan negara dan Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, serta Landas Kontinen yang statusnya hak berdaulat (sovereign rights) yang tentu saja bersifat spesifk, seperti PPNS DKP, PPNS Bea Cukai, PPNS Imigrasi, dan PPNS Lingkungan Hidup, (3) lembaga yang memiliki kewenangan pada wilayah perairan Indonesia yang statusnya kedaulatan negara dan hak berdaulat, seperti TNI AL. Banyaknya lembaga penegak hukum di wilayah laut, bukan berarti masalah pelanggaran semakin sedikit dan wilayah laut bebas dari segala tindakan ilegal. Masih maraknya tindakan pelanggaran hukum tersebut bukan hanya disebabkan oleh minimnya sarana dan prasarana di antara lembaga penegak hukum, tetapi lebih dari itu. Masing-masing lembaga tersebut dihadapkan pada masalah “koordinasi”. Meskipun beberapa undang-undang telah mengamanatkan dilakukannya koordinasi dalam penegakan hukum, pada praktiknya kata “koordinasi” hanya berlaku di atas kertas.
Pembangunan Hukum
Prof Hasjim Djalal mengatakan ketidakjelasan koordinasi dan pembagian wewenang serta tanggung jawab di antara pejabat yang berwenang di berbagai bidang tersebut akan menimbulkan kerancuan, overlapping jurisdiction dan memungkinkan terjadinya conflicting jurisdiction. Sudah semestinya Pemerintah merancang bangunan hukum di bidang kelautan secara komprehensif dan integralistik. Ketiadaan konsep ini hanya akan menyebabkan wilayah laut menjadi ajang pertarungan kepentingan, yang hanya akan mengorbankan sumber daya laut. Oleh karena itu, pada tahun 2009 Pemerintah harus mampu membuat undang-undang yang selama ini tersimpan dalam laci. Strategi dalam menciptakan bangunan hukum di bidang kelautan, di antaranya pertama, harmonisasi hukum. Strategi ini didasarkan pada terjadinya tumpang tindih peraturan perundang-undangan, baik antarundang-undang maupun antara undang-undang dengan peraturan pelaksana atau peraturan di bawahnya. Tentu saja, harmonisasi tersebut harus mengedepankan asas kedaulatan demi terjaganya NKRI serta asas kenusantaraan dalam menjaga kepentingan seluruh Indonesia. Dengan harmonisasi, diharapkan konflik kewenangan antarlembaga negara, khususnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya dapat menjamin pembangunan berkelanjutan dan menciptakan kesejahteraan.
Kedua, restrukturisasi lembaga penegak hukum. Meskipun sudah dibentuk Badan Koordinasi Keamanan Laut (BAKORKAMLA), benturan di antara lembaga penegak hukum masih kerap terjadi. Oleh karena itu, gagasan beberapa pakar mengenai pembentukan Coast Guard atau Penjaga Laut dan Pantai harus segera mendapatkan perhatian pemerintah.
Ketiga, percepatan penyusunan perundang-undangan. Terkait dengan masih adanya kekosongan hukum, percepatan penyusunan peraturan perundang-undangan harus dilakukan. Tentu saja dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang sudah ada. Dengan kata lain, perlu adanya undang-undang baru yang melengkapi dari undang-undang yang sudah ada, seperti perlunya penyusunan UU Perairan Pedalaman dan UU Zona Tambahan. Selain itu, UU No 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen perlu segera direvisi karena UU ini masih mengacu pada ketentuan Konvensi Jenewa 1958 yang hanya mendasarkan pada kedalaman laut.
Penulis adalah dosen Departemen Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan FPIK-IPB dan Staf Peneliti Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari Bersama Membangun Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur