Nunukan Zoners Tarakan : Salah satu potensi alam terselip di hutan kota Pantai Amal Tarakan; jamur. Ditemukan belum lama ini, jamur berwarna putih ini menurut Arizono, pengajar di Universitas Borneo (UB) Tarakan, bisa dimakan. Ia sendiri pernah mencoba memasaknya seperti jamur tiram (oyster mushroom). “Seperti jamur tiram tapi sedikit berbeda. Ini masih kita teliti,” ujarnya. Jamur kini jadi bahan penelitian yang diyakini bisa dikembangkan di Tarakan. Selain enak dikonsumsi juga mengandung berbagai macam asam amino essensial, lemak, mineral, dan vitamin. Juga mengandung zat penting yang berpengaruh terhadap aspek medis. Di Jerman jamur seperti itu pernah ditemukan. Dinas Kehutanan, Pertambangan dan Energi akan menggandeng UB. Baik untuk penelitian rendemen yang terkandung dalam pohon kayu putih yang tumbuh di berbagai tanah di Tarakan, mau pun untuk penelitian lainnya. “Jadi nanti akan kita ambil beberapa daun kayu putih yang tersebar di Tarakan untuk melihat kadar minyak kayu putihnya,” kata Zaini staf rehabilitasi hutan dan lahan Dinas Kehutanan, Pertambangan dan Energi Tarakan. Penelitian lain yang dilakukan Arizono terkait kekayaan hutan di Tarakan adalah pohon agathis. Agathis di tanam di kawasan Pasir Putih yang kondisi tanahnya berbeda dengan tanah hutan. “Kalau oke kita coba di Bunyu yang kondisi tanahnya berbeda lagi,” kata Arizono. (*/rt-4)
Mimpi masa kini adalah kenyataan hari esok.
Anda bisa, jika Anda berpikir bisa, selama akal mengatakan bisa. Batasan apakah sesuatu masuk akal atau tidak, kita lihat saja orang lain, jika orang lain telah melakukannya atau telah mencapai impiannya, maka impian tersebut adalah masuk akal.
Menuliskan tujuan akan sangat membantu dalam menjaga alasan melakukan sesuatu.
Selasa, 03 Maret 2009
Potensi Jamur di Tarakan
Nunukan Zoners Tarakan : Salah satu potensi alam terselip di hutan kota Pantai Amal Tarakan; jamur. Ditemukan belum lama ini, jamur berwarna putih ini menurut Arizono, pengajar di Universitas Borneo (UB) Tarakan, bisa dimakan. Ia sendiri pernah mencoba memasaknya seperti jamur tiram (oyster mushroom). “Seperti jamur tiram tapi sedikit berbeda. Ini masih kita teliti,” ujarnya. Jamur kini jadi bahan penelitian yang diyakini bisa dikembangkan di Tarakan. Selain enak dikonsumsi juga mengandung berbagai macam asam amino essensial, lemak, mineral, dan vitamin. Juga mengandung zat penting yang berpengaruh terhadap aspek medis. Di Jerman jamur seperti itu pernah ditemukan. Dinas Kehutanan, Pertambangan dan Energi akan menggandeng UB. Baik untuk penelitian rendemen yang terkandung dalam pohon kayu putih yang tumbuh di berbagai tanah di Tarakan, mau pun untuk penelitian lainnya. “Jadi nanti akan kita ambil beberapa daun kayu putih yang tersebar di Tarakan untuk melihat kadar minyak kayu putihnya,” kata Zaini staf rehabilitasi hutan dan lahan Dinas Kehutanan, Pertambangan dan Energi Tarakan. Penelitian lain yang dilakukan Arizono terkait kekayaan hutan di Tarakan adalah pohon agathis. Agathis di tanam di kawasan Pasir Putih yang kondisi tanahnya berbeda dengan tanah hutan. “Kalau oke kita coba di Bunyu yang kondisi tanahnya berbeda lagi,” kata Arizono. (*/rt-4)
Pesan untuk Mahasiswa
Kalau mahasiwa berdemo itu biasa. Memang sudah sepantasnya mahasiswa menjadi pembawa aspirasi masyarakat. Karena mahasiswa adalah kaum muda, kaum terdidik, generasi masa depan yang akan menentukan nasib bangsa ini. Karena mereka masih murni, penuh idealisme, tentang rakyat, tentang bangsa, tentang negara. Demo pun adalah biasa. Bunga-bunga demokrasi. Karena demokrasi menjamin kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat. Karena demokrasi menjunjung tinggi partisipasi rakyat dalam bernegara. Karena pemerintah harus terus diingatkan agar setia mengemban amanah rakyat. Tapi demo juga harus tetap dalam kerangka aturan hukum. Karena demokrasi bukan anarki. Karena tak ada demokrasi tanpa tegaknya the rule of law. Karena demokrasi adalah daulat rakyat sekaligus daulat hukum. Dan setiap orang harus tunduk pada hukum. Baik itu yang didemo, maupun yang mendemo. Tapi demo harus tertib dan damai. Karena demo tujuannya ingin memperbaiki negeri. Bukan merusaknya, bukan membakarnya. Karena demo ingin menyampaikan aspirasi, tentu bukan dengan kekerasan, bukan pula dengan bom molotov.Demokrasi sudah menyediakan berbagai mekanisme agar kekuasaan betul-betul mengabdi untuk kepentingan rakyat. Ada parlemen dan peradilan yang mandiri, ada berbagai komisi negara independen yang mengawasi, ada pengawas keuangan yang profesional, ada partai politik yang merdeka, dan ada pers yang bebas. Lalu ada pula pemilu jujur dan adil secara berkala bagi semua rakyat untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat. Itu keniscayaan demokrasi. Dan kekuasaan pemimpin tidak tak terbatas. Hanya lima tahun. Setelah itu rakyat bisa memilih yang lain, atau memilih kembali pemimpin yang amanah. Itu pun hanya boleh lima tahun lagi. Setelah itu, harus ada pemimpin baru. Termasuk dari generasi yang lebih muda. Tapi hati-hati! Ini tahun politik, tahun depan tahun pemilu. Banyak kepentingan politik yang bermain. Sudah ada yang kepingin sekali berkuasa, kepingin sekali jadi presiden. Walau itu sah saja. Karena siapa pun boleh berkuasa, boleh jadi presiden, kalau dipilih rakyat. Dan itulah yang jadi persoalan bagi orang-orang seperti itu. Karena sejauh ini polling Presiden SBY masih tinggi dan terus tertinggi. Padahal mereka tidak bisa terpilih kalau situasinya begini terus. Bagi mereka, pemerintah harus gagal, SBY harus dibenci rakyat. Dan itu harus dikondisikan.
Hati-hati para mahasiswa! Hati-hati dengan penyusupan dalam berdemo. Jangan biarkan anasir-anasir jahat menyusup dalam barisan mahasiswa. Jangan biarkan mereka menunggangi aksi mahasiswa. Jangan biarkan mereka memancing di air keruh. Ada yang ingin melihat mahasiswa bentrok dengan aparat, sementara mereka ketawa sambil bersulang. Ada yang ingin lempar batu, bahkan lempar molotov, lalu sembunyi tangan. Yang ingin dipakai tangan mahasiswa, dan tangan sendiri disembunyikan. Semuanya untuk kepentingan Pemilu 2009. Jangan mau mahasiswa... jangan mau! Tetaplah di jalurmu yang murni, idealis, dan intelektual. Karena negara ini adalah negara kita sendiri. Ingat kata Bung Hatta: "Hanya ada satu negara yang pantas menjadi negaraku, dan negara itu dibangun dengan tanganku." Mari mahasiswa, kita bangun negeri ini! Bukan merusaknya. Katakan kepada mereka yang ingin berkuasa agar berkompetisi secara fair, sesuai aturan hukum. Maju sendiri dan tidak bersembunyi di belakang mahasiswa. Tidak pula seperti kucing dalam karung. Biarlah rakyat melihatnya dan menilainya. Karena di negeri ini, di Indonesia tercinta ini, memang rakyatlah yang menentukan siapa yang pantas menjadi pemimpin.
Andi A Mallarangeng, Juru Bicara Presiden RI
Tablig Akbar Bersama KH Zainuddin MZ
KH Zainuddin MZ
Nunukan Zoners : Untuk memberi kesegaran dan penyiraman rohani kepada masyarakat Nunukan, Panitia Hari Besar Indonesia (PHBI) Kabupaten Nunukan mendatangkan KH Zainuddin MZ pada 7 Maret mendatang. Ketua PHBI Nunukan H Ady Kamaris Ishak mengatakan, dai sejuta umat ini akan mengajak seluruh masyarakat Nunukan untuk tablig akbar dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW 1430 H. ”Acaranya di Stadion Sepak bola Sei Bilal Nunukan. Pada 7 Maret sekitar pukul 14.30 Wita. Diharapkan seluruh masyarakat menghadirinya, karena tidak dipungut biaya,” tambah pria yang juga Asisten Ekonomi dan Pembangunan Pemkab Nunukan. Dipilihnya Stadion Sei Bilal ini, karena PHBI menargetkan masyarakat yang datang sekitar 3 ribu sampai 5 ribu orang. ”Kalau di gedung, pasti tidak cukup. Karena berdasarkan pengalaman, kalau beliau (KH Zainuddin MZ, Red.) ceramah, yang datang pasti banyak,” ujarnya. Mendatangkan seorang dai KH Zainuddin MZ ini pun tidak gampang. Ketua PHBI ini bercerita, pihaknya telah beberapa kali menghubungi pihak dai Zainuddin MZ ini. Namun karena terbentur jadwal beliau yang padat akhirnya kegiatan pun tertunda.”Terakhir, kami mendatangi langsung beliau di kediamannya dan akhirnya beliau menyetujui kedatangannya kemari,” jelasnya. Tablig akbar ini, rencananya langsung dibuka oleh Bupati Nunukan H Abd Hafid Achmad, dan dihadiri oleh seluruh pejabat Pemkab Nunukan, pimpinan unsur muspida dan vertikal di Nunukan dan seluruh masyarakat Nunukan. Seusai tablig akbar, malamnya, KH Zainuddin MZ akan bertandang ke rumah dinas jabatan Bupati Nunukan untuk bersilaturahmi.(dew)
PNS Dan Pelajar Akan Di Razia
‘keluyuran’ di Jam Kerja dan Jam Sekolah
Muriani Wahab Kiak Jabat Ketua F-PAUD
Forum Pengembangan Anak Usia Dini
Kopertis Wilayah VII Umumkan PTS Unggulan
Umumkan PTS Unggulan
Indonesia Belum Negara Maritim
Diskusi di Sinar Harapan beberapa waktu lalu mengemuka pernyataan Prof Dr Hasyim Djalal bahwa Indonesia belum menjadi negara maritim, melainkan masih dalam proses menuju ke sana. Mengapa pernyataan itu mengemuka? Jawabnya, sederhana saja. Indonesia belum mampu memanfaatkan dan mengelola sumber daya kelautan, yakni sumber daya alam (ikan, tambang), transportasi, pariwisata bahari, industri bioteknologi dan jasa kelautan. Dus, mengapa kita sekarang sudah berupaya menggerakkan ekonomi kelautan, tapi justru jalan di tempat? Apakah ada yang keliru dengan kebijakan pembangunan ekonomi kelautan kita? Jawabnya adalah bagaimana menganalisisnya dalam kacamata antropologis, historis dan sosiologis. Secara antropologis, ekonomi kelautan Indonesia berakar pada kebudayaan masyarakat Indonesia yang sejak dahulu sebagai bangsa pelaut. Berbagai literatur dan hasil kajian antropologis membuktikan bahwa manusia Indonesia sudah menjelajahi perairan Nusantara sampai ke Madagaskar di Afrika pada abad ke-7, masa kolonialisme abad 17-19 sampai menjelang Indonesia merdeka (baca: Antony Reid). Penggalian situs Delta Sungai Batanghari di Jambi membuktikan bahwa masyarakat pesisir di wilayah itu sudah menggerakkan aktivitas ekonomi pesisirnya dengan temuan alat tangkap ikan jenis bubu. Bahkan, di pelbagai pesisir pantai di Jawa dan Sumatera ditemukan situs perahu kuno, dan kerajaan maritim Sriwijaya di Sumatera Selatan dan Kerajaan Banten. Sebuah hasil riset juga membuktikan aktivitas bisnis teripang sudah berlangsung sejak abad 14 yang dilakukan orang-orang Sulawesi Selatan. Bahkan, mereka menangkap teripang sampai ke Australia dan seluruh perairan Nusantara. Salah satu situs lukisan Gua di Pulau Muna Sulawesi Tenggara menggambarkan manusia melakukan aktivitas menangkap ikan dengan menggunakan perahu. Maknanya secara antropologi, manusia Indonesia memiliki ikatan yang kuat dengan sumber daya kelautan untuk mempertahankan kehidupannya.
“Dual Economic”
Secara historis-sosiologis membuktikan, perdagangan dan pelayaran yang berlangsung di Nusantara pada abad 15-19 menjadi penggerak utama perekonomian kerajaan-kerajaan Nusantara. Bangsa-bangsa Eropa berupaya keras mencapai Nusantara demi menguasai perdagangan rempah-rempah yang dihasilkan pulau-pulau kecil di Maluku. Tidak berbeda dengan pulau lain di Nusantara. Produk unggulan lokal diperdagangkan secara global dengan basis kekuatannya ekonomi kelautan. Komoditas dari pantai barat dan pantai timur Sumatera adalah kapur barus, lada, kopi, dan karet. Dari Kalimantan diperdagangkan kayu dan hasil hutan lainnya. Komoditas Sulawesi berupa kayu hitam, kelapa, kapas dan ikan. Dari Nusa Tenggara kayu cendana. Pilar ekonomi kelautan adalah komoditas unggulan lokal, perdagangan antarpulau, internasional serta kepelabuhan dengan basisnya kota pantai. Mencermati dinamika ekonomi Nusantara masa itu, sejatinya adalah sebuah model Dual Economic. Di level makro, komoditas perdagangan internasionalnya bersumber pada pertanian dan tanaman perkebunan di satu sisi. Tapi, di sisi lain sektor jasanya transportasi laut. Pada level mikro aktivitas subsistem masyarakatnya berbasiskan pertanian tanaman pangan dan perikanan. Buktinya, masyarakat pulau-pulau kecil di Maluku pada masa lalu selain berprofesi sebagai petani pala dan cengkih, juga beraktivitas menangkap ikan dengan komoditas andalannya adalah teripang, jenis ikan pelagis segar maupun yang diolah (ikan kayu). Ini sudah membudaya dalam komunitas masyarakat pesisir di Indonesia baik yang bermukim di pulau-pulau kecil maupun pesisir. Tengoklah masyarakat Kepulauan Raja Ampat, selain berprofesi sebagai nelayan juga sebagai petani sagu maupun peramu yang diperoleh dari hutan. Makanya, di daerah ini ada tanah adat dan hutan adat. Tapi, ada juga wilayah laut yang dimiliki secara adat dengan model pengelolaan berbasiskan kearifan tradisional. Sayangnya, sekarang pemerintah justru akan memprivatisasi wilayah laut dengan konsep Hak Pengelolaan Perairan Pesisir (HP3) yang amat a-historis. Tidak pernah ada, dalam pengelolaan perairan laut di Nusantara, termasuk di masa kolonial pun, penguasaan laut Nusantara oleh pihak pemilik modal apalagi boleh dialihkan (transferability) dan diperjualbelikan. Sesuatu tanpa akar sejarah adalah “kesesatan”, dan melembagakannya bisa mengundang konflik.
Mengembalikan ”Khitah”
Secara sosio-antropologis, menggambarkan dinamika interaksi antara masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir lebih progresif dibandingkan pedalaman. Dinamika oseanografi perairan laut (gelombang laut, arus, upwilling, dan angin) cenderung mempengaruhi perilaku dan sistem nilai dalam konstelasi budaya politik masyarakat Indonesia. Perilaku yang tegas, jujur, berani, egaliter, terbuka dan menerima pluralisme lebih dominan berkembang dalam masyarakat pesisir. Mereka memosisikan dinamika oseanografi sebagai bentuk tantangan yang membutuhkan keberanian, kejujuran, dan kerja sama antara sesama komunitas. Masyarakat pesisir memiliki interaksi yang tinggi - melalui pelayaran dan perdagangan - dengan komunitas internasional yang beragam entitas budaya, etnik, agama, dan ras. Akibatnya, mereka lebih berpandangan pluralistik ketimbang masyarakat pedalaman. Sebagai masyarakat pelaut, nelayan, dan pedagang, masyarakat pesisir dalam berlayar, berdagang dan menangkap ikan mengutamakan sikap dan budaya keterbukaan, kerja sama, dan egalitarian. Berkembangnya sikap dan budaya ini karena selalu berhadapan dengan bahaya sewaktu-waktu yang bersumber dari alam maupun manusia (bajak laut). Perilaku yang berkembang dalam masyarakat pesisir mirip sistem nilai masyarakat demokrasi dalam negara modern. Dekonstruksi antropologis, historis dan sosiologis tersebut di atas menggambarkan betapa pentingnya ekonomi kelautan yang dibangun secara dual economic. Pola ini tak hanya mempengaruhi dinamika ekonomi masyarakat, tapi juga kebudayaan dan sistem nilainya yang berkembang bahkan sampai kini. Sayangnya, ketika Indonesia merdeka dan di era Orde Baru sampai reformasi kini, pola dual economic yang menopang ekonomi kelautan justru tergerus dari akarnya. Padahal, ia sudah menjadi bagian kebudayaan, dan sistem ekonomi (way of life) yang berkembang secara turun-temurun di bumi Nusantara ini. Diperlukan rekonstruksi bangunan puing-puing dual economic berbasis kelautan sebagai alternatif membangun kekuatan ekonomi bangsa demi mewujudkan ”negara maritim”. Upaya ini membutuhkan dukungan politik yang kuat secara institusional dan struktural. Rekonstruksi ini sekaligus memetakan kekuatan dual economic Indonesia secara geografi dan geo-ekonomi dari wilayah barat sampai timur. Sudah pasti pula mengintegrasikan kekuatan ekonomi terestrial dalam bentuk basis komoditas perdagangan. Inilah kekuatan baru yang secara progresif mengembalikan ”khitah” Indonesia sebagai negara maritim.
Penulis adalah Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.
Nasionalisme Kaum Intelektual
Di tengah kehidupan negara-bangsa, peranan kaum intelektual sangat dibutuhkan dan kontribusinya begitu besar bagi pertumbuhan perubahan. Revolusi sosial yang diteriakan dan diaktualisasi massa, semula digagas dan ditentukan oleh peranan kaum intelektual. Di bidang sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, teknologi, dan semua dimensi yang dibutuhkan dalam masyarakat, keterlibatan intensif kaum intelektual didalamnya menjadi semacam kemestian. Kaum intelektual bukanlah sebuah mitos sosial, melainkan realita yang hegemonik. Harry J Benda dalam karyanya Continuity and Change in Southeast Asia (1972) pernah membedakan posisi intelektual didalam masyarakat yang sudah maju dan yang masih berkembang. Menurutnya dalam masyarakat Barat, kaum intelektual tidak membentuk kelas sosial tersendiri. Mereka hidup hanya sebatas pelengkap diantara kelas-kelas lainnya. Sedangkan di masyarakat berkembang, kaum intelektual memperoleh kedudukan dan pengaruh. Mereka membentuk kelas sosial tersendiri dan memegang kekuasaan politik. Menjadi intelektual dalam masyarakat berkembang, berarti melakukan suatu pekerjaan mulia, memenuhi panggilan hidup dengan nilai dan aturan, disiplin serta kode etiknya tersendiri. Meskipun tesis itu dikemukakan Harry J Benda dalam konteks munculnya kaum intelektual di Asia Tenggara pada masa kolonial. Namun untuk membedakan peranan kaum intelektual di masyarakat maju dan berkembang, perlu ada semacam tinjauan ulang, karena pada intinya peranan kaum intelektual hampir tidak ada bedanya baik itu di masyarakat maju atau masyarakat berkembang. Ia tetap menjadi agen perubahan. Justru kemajuan dan budaya tinggi masyarakat Barat pada masa kini, semula karena disemangati dan digagas oleh peranan kaum intelektual, yang bangunannya dapat dirujuk mulai dari jaman Yunani Kuna, masa pertengahan dan masa pencerahan.
Bung Hatta, Bung Sjahrir
Selain itu, secara sosiologis pun kaum intelektual tidak bisa disejajarkan dengan kelas sosial lainnya. Ia tetap menentukan kebijakan strategis, mengarahkan gagasan dan pemikiran. Bahkan dalam konteks negara-bangsa modern, peranan mereka tetap sangat hegemonik. Justru yang harus dipertanyakan adalah, ada semangat, niatan dan obsesi yang dimiliki kaum intelektual.
Tak semua kaum intelektual mengabdikan diri sebagai agen perubahan, yang mendedikasikan kemampuan dan kapabilitasnya demi untuk pengabdian sosial. Di sisi lain, bahkan banyak kaum intelektual yang hanya mementingkan individu serta berkorporasi dengan kekuasaan. Kemajuan atau kemunduran, merdeka atau terbelenggu, dan baik atau rusaknya sebuah negara-bangsa, ditentukan oleh semangat, obsesi serta niatan kaum intelektual. Nampaknya kemudian, harus ada integrasi dan tidak ada kesenjangan antara intelektualisme di satu sisi, dan etika-moral serta idealisme di sisi lainnya. Seharusnya keduanya harus berjalan berkelindan. Pada masa perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia, begitu banyak kaum intelektual namun hanya sedikit yang mengabdikan diri untuk perjuangan. Umumnya, kaum intelektual pada masa kolonial hanya untuk mengabdi kepada kekuasaan, menjadi pejabat, gubernur, bupati, hingga kepala media massa untuk kepentingan kekuasaan kolonial. Mereka menjadi priyayi-priyayi baru dan mengisi kelas-kelas sosial menengah baru. Sedangkan tujuan mengabdikan diri untuk perjuangan kemerdekaan, mereka cenderung menutup mata. Di situ, proses langgengnya kolonialisme juga ditentukan secara intensif oleh kaum intelektual yang sudah berkorporasi dengan kekuasaan kolonial. Untungnya ketika itu masih ada orang seperti Bung Hatta, Sjahrir, dan sekelasnya, yang tidak menutup mata atas penderitaan dan belenggu yang dialami bangsa Indonesia. Kaum intelektual seperti Sjahrir dan Hatta merupakan intelektual milik publik, yang dedikasi pengetahuan, kapabilitas dan perjuangannya ditujukan bagi terciptanya kemerdekaan Indonesia. Mereka lebih memilih untuk menjadi intelektual “yang bermasalah” daripada menjadi intelektual yang hidup damai, tenang dan berkecukupan namun di atas penderitaan orang lain. Kaum intelektual seperti Sjahrir dan Hatta, lebih senang hidup di penjara, dibuang dan diasingkan, oleh karena perjuangannya yang tidak disukai kekuasaan kolonial.
Kader
Dari dua tipologi kaum intelektual, antara yang pro terhadap kepentingan nasional dan yang pro terhadap kekuasaan kolonial, sesungguhnya mereka sama-sama berangkat dari masyarakat kelas menengah dalam struktur sosial masyarakat Indonesia. Jika menggunakan struktur sosial masyarakat Jawa ala Geertz, kedua tipologi kaum intelektual itu sama-sama lahir dari kelompok masyarakat priyayi. Mereka mendapatkan pendidikan Barat yang semula sengaja diciptakan Belanda lewat politik etisnya (Ethische Politiek, mulai tahun 1900). Pendidikan Barat yang diberikan pemerintah Hindia-Belanda kepada generasi priyayi itu semula untuk menciptakan kader yang akan mengisi kekosongan jabatan-jabatan menengah. Banyak dari kader terdidik itu mengabdi pemerintahan kolonial, namun ada sedikit generasi priyayi itu yang membelot dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. (J.D. Legge, Intellectuals and Nationalism in Indonesia, 1993) Spirit dari kaum intelektual yang pro terhadap kepentingan nasional itu semestinya memberi impresi pada generasi kaum intelektual zaman sekarang. Sekarang ini banyak kaum intelektual di Indonesia yang justru menghianati kode etiknya, yang berbuat kontraproduktif dengan kenyataan masyarakat Indonesia yang masih mengalami kemiskinan, kebodohan, dan penderitaan. Begitu banyak kaum intelektual yang kini hanya memikirkan kepentingan ekonomi individu, mementingkan kepentingan politik kelompok semata dan sebagainya. Kini, kaum intelektual tak hanya lahir dari kelompok priyayi, namun banyak yang lahir dari masyarakat biasa. R William Liddle (1997) mengistilahkannya sebagai “kaum menengah baru” yang termobilisasikan karena peranan intelektualitasnya dalam kehidupan modern dan arus globalisasi. Masyarakat juga banyak yang mengharapkan apakah kaum intelektual semacam itu akan memperjuangkan aspirasi masyarakat kecil, karena bagaimanapun intelektual jenis itu pernah lahir dan tumbuh dalam masyarakat kecil. Atau justru karena euforianya dalam menikmati kelas masyarakat menengah baru, lantas melupakan masa lalunya, dan bahkan menjadi penindas baru bagi masyarakat karena berselingkuh dengan kekuasaan. Di masa kini, Indonesia membutuhkan kaum intelektual seperti Hatta, Sjahrir, Bung Karno, Tan Malaka, HOS Cokroaminoto, dan sekelasnya. Intelektual yang tak hanya mementingkan diri sendiri, yang tidak mengebiri masyarakatnya sendiri. Intelektual yang visioner sekaligus revolusioner. Intelektual yang tidak memecahbelah masyarakat seperti keping-keping reruntuhan, tapi mengintegrasikan masyarakat dalam kesatuan. Intelektual yang berkemauan untuk bersama-sama membangun Indonesia dari keterpurukan.
Penulis adalah peminat historiografi Indonesia modern.
Hutan Bakau, Lingkungan Akuatik yang Mulai Rusak
Jika Anda penggila wisata kota pesisir, jangan lupakan Langsa. Sejarah Langsa sebagai kota pesisir dikenal lama di semenanjung Lamuri (Aceh), selain Bandar Aceh dan Meulaboh. Secara historis kota ini menjadi batu loncatan islamisasi Sumatera Timur, dengan tokoh utamanya Sultan Muhammad Kampai atau dijuluki Teungku Keramat Panjang. Secara antropologis Langsa terkenal sebagai kota multikultur, karena pembauran pelbagai etnis: Jawa, Batak, Melayu, Tapanuli, China, Tamil, dll, sehingga menjadi satu-satunya “kota yang terberkati” di masa konflik. Satu yang pasti menyenangkan dari Langsa adalah pelabuhannya. Jalan menuju Kuala Langsa dilindungi hutan bakau yang rimbun. Matra iklim pun membalur kenyamanan, karena cuaca yang sering berawan dan hujan. Hidrografi kota pelabuhan yang memiliki dua pintu masuk ini pun cukup tenang. Salah satunya karena hempasan angin darat dan laut di Selat Malaka teredam oleh padatnya hutan. Namun, kini sejarah hutan akuatik itu mulai nelangsa. Bakau yang lebat, tempat bergantungnya ratusan fauna seperti kera, bangau, dan tupai mulai raib. Statusnya sebagai hutan lindung tidak menyurutkan pembabatan massal. Pelakunya masyarakat sekitar. Setahun terakhir hutan bakau Kuala Langsa telah hilang separuhnya. Bandul waktu mengumpulkan satu lagi obituari hutan bakau nusantara, dan satu-satunya rimba bakau potensial di Nanggroe Aceh Darussalam.
Lamurnya Hukum
Jika diteliti lebih jauh, kerusakan hutan bakau di Indonesia bukan hanya disebabkan bergeraknya tangan-tangan globalisasi dalam mengembangkan proyek eksploitasi, seperti hutan darat, la-han gambut, atau terumbu karang, tapi juga problem riil masyarakat pesisir. Menurut lembaga pangan PBB, FAO, pemanfaatan hutan bakau Indonesia memberikan tambahan devisa hingga 2 miliar dolar AS pertahun, tapi tidak berimbas pada kesejahteraan masyarakat pesisir. Hasil riset Asian Development Bank (ADB), angka kemiskinan absolut di Indonesia sebagian besar diderita ma-syarakat pesisir (80 persen). Hal ini memberikan gambaran bahwa pemanfaatan potensi hutan akuatik di Indonesia tidak menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama ekonomi. Pengalihfungsian hutan bakau menjadi areal pertambakan telah memupuk proses ketergantungan baru. Hampir seluruh pekerjanya adalah masyarakat lokal yang telah menjadi buruh upah murah dari tanah-tanah yang dahulunya mereka miliki. Krisis ekonomi tahun 1997 telah menyebabkan masyarakat menjual tanah-tanah miliknya, dan memanfaatkan hutan adat atau lindung sebagai tempat bergantung. Belum lagi pengalihfung-sian hutan untuk proyek infrastruktur. Kasus korupsi yang sedang merebak saat ini tentang pengalih-fungsian 600 hektar hutan bakau untuk pembangunan pelabuhan di Tanjung Siapi-api, Su-matera Selatan, menunjukkan fenomena kerusakan permanen bagi akuatik hijau yang seharusnya mampu menghadang abrasi dan produsen oksigen murni bagi daerah pesisir. Akibatnya mudah ditebak. Hutan bakau Indonesia yang sebenarnya terluas di dunia mengalami proses deforestasi ekstrem. Dari 8,6 juta hektare hutan bakau di tahun 1986, kini hanya tersisa kurang 2 juta hektar. Peraturan menteri kehutan yang melarang ekspor kayu bakau tidak menyurutkan praktik pedagangan ilegal. Arang bakau meninggalkan efek harum panggangan dan disenangi konsumen Jepang, Hong Kong, dan Amerika. Bukan rahasia, sebagian besar berasal dari black market Indonesia. Kontradiksi antarperaturan yang pro-konservasi versus pro-eksploitasi semakin berkibas-libas. Ini jelas terlihat dari penerapan Perpu No. 1/2004 yang kemudian berubah menjadi UU No. 19/2004 tentang (eksploitasi) hutan. Pemantik bom waktu yang ditinggalkan Megawati di akhir masa pemerintahannya dipercepat ledakannya oleh Yudhoyono melalui peraturan organik (PP No. 2/2008 tentang pendapatan negara bukan pajak dari eksploitasi hutan lindung). Bahkan kini, Menteri ESDM Pur-nomo Yusgiantoro tengah bergiat me-ngeluarkan Keppres yang memperluas kesempatan eksploitasi hutan bagi pemain baru. Apa gunanya peraturan menteri yang melarang ekspor jika secara internal pemerintah tidak mengurangi ego eksploitasinya atas hutan-hutan nusantara?
Mencabut Kemanusiaan
Secara nasional pemerintah seperti tidak memiliki pilihan maknyus, di te-ngah krisis minyak global yang entah kapan usai. Namun efek kerusakan lingkungan dan kebangkrutan ekonomi jangka panjang juga perlu dipertimbangkan. Makanya, alih-fungsi hutan seperti tidak bersanksi tegas, karena pemerintah juga tidak memiliki program berkelanjutan dalam menangani problem kemiskinan masyarakat pesisir.. Sima-la-kama ini hanya akan terpecahkan jika pemerintah kembali memfungsikan hukum adat, menertibkan logika hukum dan mencabut peraturan-peraturan yang melegalkan praktik komersialisasi hutan, serta mengadvokasi problem kemiskinan masyarakat pesisir dengan program berkesinambungan dan pro lingkungan. Prinsip keseimbangan ekologis sebenarnya dimiliki semua komunitas hutan, baik pesisir atau pedalaman. Di Aceh dikenal hukum adat yang dikelola oleh pang laot. Ia tidak hanya mengatur lalu-lintas pelayaran tapi juga pemanfaatan hutan dan biosfer bakau. Prinsip produksi-konsumsi hutan bakau oleh masyarakat pesisir tempo doeloe sebenarnya tidak sampai menganggu ekosistem utama. Sanksi adat yang kuat dan religio-magis dipercaya mencegah tindakan berlebihan atas hutan. Saat ini kebaikan adat tergerus rasionalitas kapital yang menawarkan mimpi perubahan dan hedonisme. Pembangunan fasilitas komersial seperti hotel dan restoran di wilayah hutan bukan hanya mengubah kultur tapi juga perbudakan ekonomi masyarakat lokal. Masyarakat pesisir paling menjadi babu, office boy, dan satpam di tanah nenek moyang mereka. Mereka tuan tanpa tanah dan harga diri. Moralitas adat perlu kembali dihidupkan. Mencabut sebuah pohon bakau tanpa alasan yang jelas sama de-ngan mencabut satu nilai kemanusiaan masyarakat lokal. Sejuta pohon tercabut sama dengan sejuta resiko yang bakal mereka terima. Pelan atau cepat sejarah kerusakan akan terulang, dan pasti meninggalkan tragedi kemanusiaan.
Penulis adalah dosen Antropologi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe.
HPH Harus Sisihkan Kayu untuk Kebutuhan Lokal
Selasa, 3 Maret 2009 | 17:30 WIB
Nunukan Zoners Palangkaraya — Pemerintah Kabupaten Katingan di Kalimantan Tengah mengharuskan perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan atau HPH di wilayah itu menyisihkan 5 persen produksi tiap tahunnya untuk kebutuhan lokal. Atas kewajiban itu, pihak pengusaha juga sudah sepakat untuk melakukannya. "Tinggal ditindaklanjuti antara BUMD (badan usaha milik daerah) dan perusahaan HPH bersangkutan," kata Bupati Katingan, Duwel Rawing, di Palangkaraya, Selasa (3/3). BUMD Katingan Jaya Mandiri rencananya akan menampung 5 persen kayu dari HPH tersebut dan mengolahnya menjadi kayu setengah jadi, termasuk menyalurkan kepada masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari. Meski menyerahkan kayu kepada BUMD, pihak perusahaan, kata Duwel, masih dibebani kewajiban membayar biaya PSDH-DR, sementara biaya angkut dari lokasi penebangan sampai lokasi penumpukan ditanggung oleh BUMD."Perusahaan HPH diminta tidak mengambil keuntungan dari kayu sisihan 5 persen itu agar harga kayu terjangkau oleh masyarakat," katanya. Kesepakatan adanya penyisihan 5 persen kayu tersebut dibuat pada Februari, dan selanjutnya perusahaan HPH akan membuat kontrak dengan BUMD. Diharapkan penyisihan 5 persen kayu dari HPH untuk memenuhi kebutuhan lokal tersebut dapat dimulai Maret ini.
Kaltim Perlu Kerja Keras untuk Ketahanan Pangan
Selasa, 3 Maret 2009 | 17:55 WIB
Laporan wartawan Ambrosius Harto
Nunukan Zoners Samarinda -Kepala Badan Ketahanan Pangan Kaltim Purwanto mengatakan swasembada pangan bisa tercapai dengan syarat semua pihak bekerja keras. "Khusus untuk kecukupan sumber karbohidrat, Kaltim jangan terpaku pada produksi beras. Ketahanan pangan bi sa dicapai lewat diversifikasi atau memanfaatkan sumber daya setempat misalnya orang Kaltim juga banyak mengonsumsi ubi jalar dan ubi kayu," kata Purwanto, mantan Kepala Dinas Pertanian Kaltim, di Samarind, Selasa (3/3). Purwanto mengatakan, Kaltim sulit untuk memenuhi kebutuhan akan sayur-sayuran. Dengan karakter iklim dan tanahnya, Kaltim belum mampu memproduksi benih seperti lobak dan wortel sehingga perlu dipasok dari daerah lain. Untuk kebutuhan protein hewani, lanjut Purwanto, dia mendukung program Dinas Peternakan Kaltim yang mendesak adanya peternakan di setiap kabupaten dan kota. Peternakan bertujuan untuk mencukupi kebutuhan warga akan daging, susu, dan telur.Guru besar pertanian pada Universitas Mulawarman, Samarinda, Rianto mengemukakan bahwa kecukupan konsumsi pangan Kalimantan Timur masih rawan. Provinsi ini cuma mampu memenuhi empat dari 14 komoditas yang diperlukan untuk ketahanan pangan. Kecukupan pangan terpenuhi bila daerah mampu menyediakan sumber pangan berkarbohidrat , berprotein nabati, berprotein hewani, dan bervitamin serta mineral. Rianto menghitung bahwa Kaltim cuma mampu menyediakan sumber pangan dari komoditas ubi kayu, ubi jalar, ikan, dan buah-buahan. Yang tidak bisa menyediakan sama sekali ialah susu. Yang ketersediaannya separuh dari kebutuhan ialah kedelai, kacang tanah, kacang hijau, dan telur. Menurut Rianto, daerah-daerah yang patut menjadi perhatian yakni perkotaan, Balikpapan, Samarinda Bontang, dan Tarakan. Perkotaan tidak mampu menyediakan lahan untuk pertanian tanaman pangan sehingga kecukupannya nyaris selalu dipasok daerah lain.
Patok Batas di Kapuas Hulu Berubah Tempat
Nunukan Zoners Pontianak- Panglima Kodam (Pangdam) VI/Tanjungpura, Mayjen Tono (TNI) Suratman mengatakan, di perbatasan Indonesia-Malaysia, tepatnya di Kecamatan Banua Martinus, Kabupaten Kapuas Hulu, patok-patok batas telah berubah tempat dari posisi semula. Penyebabnya, pembukaan areal perkebunan kelapa sawit oleh pengusaha Malaysia. "Ditemukan perubahan-perubahan patok, bergeser. Tempatnya di Kecamatan Banua Martinus, di Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK)," ungkap Mayjen Tono Suratman, Senin (2/3), di Pendopo Gubernur Kalimantan Barat. Pangdam Tono Suratman menambahkan, pihak Malaysia mengatakan tidak ada kerusakan dan hilangnya beberapa patok perbatasan di wilayah Indonesia. Karena, ujar alumnus AKABRI 1975 ini, kawasan tersebut lebih mudah di jangkau di Malaysia. "Mereka (Malaysia) mudah katakan tidak ada kerusakan. Tapi kita lihat ada kerusakan patok patok batas di wilayah Indonesia," jelasnya.Penyebab patok-patok yang rusak dan hilang itu, kata Tono Suratman, adanya pembukaan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Banua Martinus. Tanda-tanda itu ada, dengan ditemukannya pembukaan jalan-jalan baru yang bisa dilewati oleh alat-alat berat milik perusahaan kelapa sawit itu. "Jalan yang dibuka (dengan menghilang patok batas negara) sebatas untuk alat-alat berat. Lebarnya sekitar 5-6 meter," katanya di sela-sela serah terima jabatan Ketua Koordinator Forum Kerjasama Revitalisasi dan Percepatan Pembangunan Regional Kalimantan (FKRP2RK) dari Gubernur Kalimantan Tengah, A Teras Narang ke Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis. Sementara itu, Ketua Staf 1 Divisyen Infanteri Malaysia di Sarawak (setingkat Kodam di Indonesia), Kol Zolkifli Hashim, mengatakan kehilangan patok di perbatasan karena tidak ada yang jaga sama sekali oleh tentara. Namun, ujar Ketua Staf 1 Divisyen ini, patok-patok yang hilang atau rusak tersebut, tidak akan bisa menghilangkan garis batas yang telah disepakati kedua negara. Tidak mungkin, lanjutnya, pihak tentera dan Malaysia memindah-mindahkan patok batas dari kedudukan semula. "Kita dapat informasi tentang itu, TDM dan TNI AD, pergi bersama-sama untuk memperbaikinya. Tidak berlaku saling dipindahkan," tegasnya saat menjawab pertanyaan Tribun di Markas 1 Divisyen Malaysia. Sejumlah wartawan cetak dan elektronik dari Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur diundang oleh divisi tentara yang berpusat di Kuching itu, guna melihat hari ulang tahun Tentera Diraja Malaysia ke-76. "Tidaklah mungkin pula pemerintah membuat batas negara seperti Tembok Berlin yang memisahkan Jerman Barat dengan Timur. Tidak akan dilakukan," ujarnya. Zulkifli juga membantah adanya polemik antara TNI AD dan TDM tentang garis dan patok batas negara. Jika ditemukan persoalan seperti itu, jelasnya dengan suara agak meninggi, segera diselesaikan saat itu juga. "Tidak dibawa hingga ke Mabes masing-masing, tapi diselesaikan langsung diperbatasan oleh perwira-perwira di sana," ujar perwira menengah keturunan Miangkabau ini. "Sudah jelas sistem dan mekanisme penyelesaiannya. Jangan diapi-apikan masalah ini, sehingga bawa kesan negatif terhadap hubungan kedua negara serumpun ini," pintanya. Namun, untuk patroli bersama menjaga daerah perbatasan di Provinsi Kalimantan Tengah mengalami hambatan. Pasalnya, kondisi topografis di sana terkenal berat dengan tingkat kecuraman yang tajam dan berbukit-bukit. "Di daerah Sarawak-Kalimantan Tengah, kita tidak bisa ronda bersama. Daerahnya sulit sekali. Rencananya kita juga akan melakukan ronda bersama,"kata Zulkifli sambil menutup konferensi pers dengan wartawan Indonesia dan Malaysia. (Tribun Pontianak/Fakhrurrodzi)
Sejarah Terbentuknya Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur
Kabupaten Nunukan merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Bulungan, yang terbentuk berdasarkan pertimbangan luas wilyah, peningkatan pembangunan, dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Pemekaran Kabupaten bulungan ini di pelopori oleh RA Besing yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Bulungan.
Pada tahun 1999, pemerintah pusat memberlakukan otonomi daerah dengan didasari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Nah, dgn dasar inilah dilakukan pemekaran pada Kabupaten Bulungan menjadi 2 kabupaten baru lainnya yaitu Kabupaten Nunukan dan kabupaten Malinau.
Pemekaran Kabupaten ini secara hukum diatur dalam UU Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Barat, dan Kota Bontang pada tanggal 4 Oktober 1999. Dan dengan dasar UU Nomor 47 tahun 1999 tersebut Nunukan Resmi menjadi Kabupaten dengan dibantu 5 wilayah administratif yakni Kecamatan Lumbis, Sembakung, Nunukan, Sebatik dan Krayan.
Nunukan terletak pada 3° 30` 00" sampai 4° 24` 55" Lintang Utara dan 115° 22` 30" sampai 118° 44` 54" Bujur Timur.
Adapun batas Kabupaten Nunukan adalah:- Utara; dengan negara Malaysia Timur, Sabah.
- Timur; dengan Laut Sulawesi.
- Selatan; dengan Kabupaten Bulungan dan Kabupaten Malinau.
- Barat; dengan Negara Malaysia Timur, Serawak