Cha-am, Indonesia — Greenpeace mengkritik para pemimpin ASEAN yang bertemu di Thailand karena tidak segera mengambil tindakan untuk melindungi 283 juta hektar hutan di wilayah ASEAN dan masyarakat yang bergantung padanya serta kekayaan keanekaragaman hayati yang saat ini terancam keberadaannya. Deforestasi pesat dan kebablasan mengakibatkan tingginya emisi gas rumahkaca yang menjadi salah satu penyebab perubahaan iklim. Aktivis Greenpeace melakukan aksi teatrikal di lokasi pertemuan para pemimpin ASEAN, dengan mengenakan topeng berwajah para pemimpin ASEAN dan kostum orangutan. Para aktivis menirukan para pemimpin ASEAN yang berjabat tangan, menyetujui untuk penyelamatkan hutan dan mecegah perubahan iklim – yang lalu di sambut sukacita oleh para orangutan. Kawasan ASEAN melingkupi 16% dari total tutupan hutan tropis dunia. Tetapi laju deforestasi di wilayah ini merupakan salah satu yang tertinggi pada tingkat sekitar 3,1 juta hektar per tahun. Indonesia, negara terbesar di ASEAN, tercatat di buku rekor dunia Guinness sebagai negara dengan laju deforestasi tertinggi di dunia. Greenpeace menuntut para pemimpin ASEAN untuk segera menyatakan moratorium deforestasi dan menyetujui “zero deforestation” atau laju deforestasi nol di ASEAN pada tahun 2020. “Deforestasi global bertanggung jawab atas sekitar 20% emisi gas rumahkaca. Untuk menghentikan bencana perubahan iklim, menghentikan deforestasi adalah hal yang mendesak. Kami berharap karena kepentingan bersama negara-negara Asia Tenggara dalam hal perlindungan hutan dan perubahan iklim, ASEAN dapat mendukung seruan kami agar negara-negara industri memberikan sekitar €30 milyar tiap tahunnya untuk menghentikan deforestasi,” tegas Bustar Maitar, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara. Mekanisme Pengurangan Emisi dari Deforestasi di Negara-negara Berkembang (REDD) harus disepakati pada pertemuan UNFCCC di Kopenhagen, yang memastikan perlindungan keanekaragaman hayati dan memasukkan pengakuan hak masyarakat adat; tidak memberi kesempatan bagi emisi industri dan pembiayaan nasional untuk mencapai “zero deforesatation” di negara-negara berkembang di tahun 2020. Pada saat Pertemuan Iklim PBB COP13 di Bali, Greenpeace mengajukan proposal mekanisme pengurangan emisi deforestasi untuk hutan tropis (forest for climate). Pada dasarnya mekanisme ini menawarkan pembiayaan yang berkaitan dengan pasar, yang cara kerjanya akan mempertemukan tujuan iklim dan keanekaragaman hayati dan memberi kesempatan bagi semua negara-negara berkembang yang mengalami deforestasi untuk berpartisipasi, apapun tingkat kemampuan mereka. Hutan tropis sangan penting untuk kehidupan, menjaga keseimbangan iklim, mengatur tersedianya pasokan air dan memelihara ekosistem termasuk manusia. Hutan tempat tinggal untuk separuh dari kehidupan bumi: orangutan, gajah dan macan hanya sebagian dari hewan hutan tropis. Sekitar 150 juta masyarakat adat tinggal dan bergantung pada hutan, mereka harus mendapatkan masa depan yang terjamin, sehingga mereka dapat tetap menjaga hutan. Jika negara-negara tersebut menyetujui dan menyatakan moratorium deforestasi, keuntungan bersama akan didapatkan bagi masyarakat setempat, masyarakat yang tinggal dalam hutan, iklim dan keanekaragaman hayati dapat terlindungi. “Selama bertahun-tahun negara-negara ASEAN telah mengalami dampak dari perubahan iklim. Karena itu sangat penting untuk para pemimpin negara-negara ASEAN untuk bersama membantu melindungi pereknomian masyarakat dan iklim dari bencana. Proposal yang tetap memelihata perilaku bisnis seperti saat ini hanya akan memberikan peluang bagi negara-negara industri untuk tetap memanggang planet ini – padahal mereka adalah diantara yang paling bertanggung jawab bagi emisi gas rumahkaca,” kata Tara Buakamsri, Manager Kampanye Greenpeace Asia Tenggara.
Untuk informasi lebih lanjut :
Tara Buakamsri, Manager Kampanye, Greenpeace Asia Tenggara, +66894769977
Wiriya Kingwatcharapong, Juru kampanye Media , Greenpeace Asia Tenggara - Thailand,
+66894870678
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari Bersama Membangun Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur