NUNUKAN – Dari bibir tanpa gincu Suhera, hanya dialek Malaysia yang terdengar. Ia bertutur tentang pengalaman kerjanya di Malaysia. Hampir sepuluh tahun, ia jalani hidup di negeri jiran bersama suami dan anaknya. Tapi peraturan keras dari Malaysia, membuat ia harus berpisah dengan dua anaknya yang kini diurus saudaranya di Malaysia. Sementara Suhera bersama suami dan anak terakhirnya sudah dua bulan ini berdesakan tidur di penampungan Asfira Perdana Jaya di Jalan Pesantren, Nunukan, Kalimantan Timur.
”Saye nak lame tinggal di sini. Lame nak nunggu urus paspor di Indon. Toke Malaysie nak bayarin makan saye,” ujar Suhera, perempuan berusia 35 tahun tersebut.
Dengan gaji 700 ringgit, perkebunan di Malaysia menjadi tumpuan hidup keluarganya. Hampir semua keluarganya tinggal di rumah-rumah petak di Malaysia. Ibunya pun meninggal di sana.
Bukan hanya Suhera yang cakap berbincang dengan dialek Melayu itu. Hampir sebagian besar penduduk Nunukan mampu melakukannya. Terlebih di Sebatik, pulau yang berbatasan langsung dengan Indonesia di wilayah darat.
Tengok saja, toko-toko kelontong di sepanjang jalan menuju ke Pelabuhan Tunon Taka, Nunukan. Berderet makanan dari negeri tetangga itu lebih mudah didapati. Mereka juga tidak mempersoalkan dengan mata uang apa pembayaran akan dilakukan. Untuk menukar rupiah ke ringgit, cukup tengok kanan atau kiri dari tempat Anda berdiri maka penukar mata uang akan mudah ditemui. Mulai dari makanan ringan sampai susu formula anak-anak lebih banyak dibuat oleh pabrik Malaysia. Termasuk minuman bersoda.
Di Sebatik, warung-warung yang berjajar di antara rumah penduduk tidak membedakan mata uang yang dipakai sebagai alat bayar. ”Mau ringgit atau rupiah tetap kita terima. Biasa kita bayar begitu. Takde masalah,” ujar Atik, yang sudah lama membuka warung di Sungai Nyamuk Sebatik.
Untuk berbelanja pun, Tawau menjadi pilihan yang lebih masuk akal. Cukup dengan 15 menit dengan speedboat dan membayar 12 ringgit atau setara dengan Rp 35. 000, barang belanjaan lebih bervariasi dan ongkos operasional lebih murah dibandingkan kalau harus berbelanja ke Tarakan. Masyarakat di Nunukan pun melakukan hal yang sama.
Ketika beberapa orang teman wartawan harus berpindah dari Dermaga Sebatik ke Komando Pos TNI AL di Sungai Pancang, Pulau Sebatik yang hanya berjarak sekedip mata, mereka harus membayar 2 ringgit atau setara dengan Rp 5.000. ”Meskipun kita bayar pakai rupiah tetapi mereka tetap menyebut 2 ringgit untuk ongkosnya,” ujar Jimmy, wartawan Suara Karya.
Lumpuh di Perbatasan
Dalam perjalanan melintas dari Karang Unarang ke Sebatik pun, Malaysia sudah menyergap diam-diam. Dengan teknologi informasi, Malaysia berusaha meyakinkan dunia bahwa mereka menguasai wilayah sengketa.
”Digi Welcomes you to Malaysia. We wish you a pleasant stay! To make alls dial, + (country code) ( area code) (phone number),” pesan ini otomatis akan muncul di layar telepon selular ketika memasuki wilayah Karang Unarang. Pesan itu datang dan pergi silih berganti dengan operator selular Indonesia.
Ketika kita melihat tontonan televisi masyarakat di Nunukan atau Sebatik, yang lebih mereka akrabi adalah siaran televisi Malaysia. Ini tidak bisa disalahkan. Hampir sebulan ini pemancar UHF di sana tidak lagi dihidupkan. Pasalnya, TVRI tidak memiliki dana untuk membeli kebutuhan solar sebanyak 17 drum. Masri, penduduk Sebatik, mengatakan untuk dapat menikmati TVRI harus menggunakan parabola seharga Rp 2 juta atau berlangganan televisi kabel.
”Siapa tahu mereka lebih mengenal Perdana Menteri Malaysia daripada kepala daerahnya,” seloroh Wakil Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Effendy Choirie usai mengunjungi Nunukan dan Sebatik, minggu lalu. Terlebih ketika Effendy mendapatkan fakta bahwa kondisi TVRI di Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur memprihatinkan.
Djamil, kameramen televisi yang sudah bekerja selama 18 tahun, mengatakan di Nunukan terdapat dua pemancar TVRI dan tidak ada satu pun pemancar televisi swasta. Pemancar di Nunukan berkekuatan 300 Watt VHF sedangkan di Sebatik 1.000 Watt UHF. Sedangkan Radio dan Televisyen Malaysia (RTM) kini berkekuatan 10.000 Watt. Siaran mereka sangat jelas diterima di Nunukan bahkan Tarakan hingga Tanjung Selor, Kalimantan Timur. Jarak yang bila ditarik garis lebih dari 100 kilometer dari Sebatik. Dengan hanya 300 Watt, TVRI hanya mampu dinikmati dengan coverage area 10 kilometer. Rendahnya kekuatan pemancar ini menyebabkan banyak daerah tidak bisa menangkap siaran TVRI.
”Secara informasi, kami sudah lama hilang. Jarang orang yang menonton TVRI lagi. selain acaranya lebih banyak relay dari Jakarta, tontonannya juga tidak variatif, lain dengan televisi Malaysia,” ujar Bambang Sugito, reporter TVRI yang sudah 23 tahun mengabdi di lembaga penyiaran pemerintah tersebut.
Padahal, tidak hanya pada saat ini keberadaan televisi milik pemerintah itu dibutuhkan. Sebagai televisi publik, stasiun televisi tersebut wajib memberikan imbangan informasi pada masyarakat yang selama ini banyak dibanjiri siaran stasiun televisi Malaysia.
Opini Publik
Bagaimana pun, media mempunyai peranan untuk membentuk opini publik, bukan saja saat ketegangan terjadi di perbatasan Indonesia-Malaysia ini. Tapi apa daya, akibat rendahnya kekuatan pemancar, banyak daerah di perbatasan tidak bisa menangkap siaran TVRI.
”Alutsista TVRI sama pentingnya dengan alutsista TNI. TVRI dan RRI di daerah perbatasan harus mendapat perhatian serius. Peran TVRI maupun RRI sangat penting dalam memerangi informasi. Kasus Ambalat ini juga harus menjadi momentum bagi pembenahan TVRI, RRI, dan televisi publik di daerah-daerah perbatasan,” lanjut Effendy.
Oleh sebab itu ke depan, TVRI maupun RRI di daerah-daerah perbatasan harus mendapatkan perhatian lebih mengingat peran mereka sangat penting dalam memerangi informasi. Dalam kondisi perang, fungsi radio maupun televisi sangat dibutuhkan untuk pembentukan opini masyarakat. ”Alutsista (alat utama sistem persenjataan-red) TVRI itu tidak kalah penting dengan alutsista TNI.
Padahal 20 tahun lalu yang terjadi adalah sebaliknya. Malaysia banyak belajar dari Indonesia. Pelajar-pelajar Malaysia yang datang mencari ilmu di Indonesia akrab dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang sempat dilarang di Indonesia sebagai bacaan wajib. Mereka hafal sajak-sajak Hamzah Fansyuri, Ali Haji, hingga Chairil Anwar yang menggelora, kelembutan puisi Amir Hamzah, protes-protes Rendra dan Taufiq Ismail. Mereka paham betul pesan-pesan yang disampaikan roman-roman Hamka dan Sutan Takdir Alisyahbana.
Tapi 20 tahun lebih sudah berlalu. Malaysia tidak perlu lagi berguru pada Indonesia. Wilayah perbatasan Malaysia sudah lebih dahulu dibangun. Kinabalu dan Tawau, misalnya, sudah menjadi etalase negeri tersebut di batas ujung negaranya. Sementara wajah Indonesia di perbatasan belum banyak berubah.
”Pemerintah mendengung-dengungkan wilayah perbatasan akan dijadikan teras bangsa. Tapi kenyatannya nol. Justru Malaysia yang sudah lebih dahulu membangun. Kalau malam, kita melihat Malaysia penuh dengan cahaya gemerlapan, sementara ketika mereka memandang perbatasan kita yang tampak hanya kegelapan,” kata Bambang.
Benarlah teguran dari Effendy Choirie bahwa alutsista TVRI dan RRI tidak kalah penting dari alutsista TNI. Bila pemerintah tidak cepat menyadari, masyarakat di Sebatik dan Nunukan barangkali akan semakin akrab dengan semua yang berbau Malaysia. Akankah kita kehilangan lebih banyak lagi dari masyarakat di perbatasan?
Baca Lebih Lengkap Artikelnya....