Nunukan Zoners Tarakan - Semakin hari semakin terungkap betapa lihainya politik luar negeri Malaysia, menyusul penyelesaian sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Mahkamah Internasional (MI) tanggal 17 Desember 2002 yang memutuskan Sipadan dan Ligitan hak Malaysia. Dari 17 orang juri MI, hanya satu orang yang berpihak kepada Indonesia. Vonis MI ini memberi petanda selama ini politik luar negeri Indonesia ”payah”. Kini muncul sengketa baru, blok minyak Ambalat dan East Ambalat, sekitar 40 mil dari Sebatik Indonesia, atau 30 mil utara Pulau Bunyu dan Karang Unarang di seputar selatan Ligitan di Laut Sulawesi. Klaim Malaysia atas Ambalat menumbuhkan pertanyaan yang harus membuka kembali semua file mengapa Sipadan jatuh, sekaligus ambisi Malaysia menarik Ligitan ke wilayahnya. Ternyata permainan domino Malaysia bukan sekadar hingga penguasaan Sipadan – Ligitan, tapi jauh dari itu, sampai 200 mil ke arah selatan Laut Sulawesi. Permaianan kartu domino Malaysia yang mempertaruhkan persahabatan, persaudaraan negara serumpun. Akibatnya, TNI Angkatan Laut mengerahkan sejumlah kapal perang, kabarnya sekitar 25% dari armada TNI-AL sudah mendekati zona sengketa. Isu Ambalat yang menegangkan hubungan baik kedua negara, persiapannya mengarah pada konfrontasi, perang, keadaan inipun pernah terjadi pada dekade 1980-an hingga 1990-an, tatkala Sipadan dan Ligitan jadi isu. Sementara kedua negara serumpun tidak pernah melupakan konfrontasi tahun 1960-an. Masyarakat secara awam melihat ada keserakahan penguasaan wilayah dari Malaysia, yang ingin memperluas teritori maritimnya hingga jauh ke dalam zona Laut Sulawesi, bahkan mendekati perairan gugusan Kepulauan Derawan, melampaui perairan gugusan Pulau Bunyu, Indonesia. Permainan domino memang digelar Malaysia, sejak Sipadan – Ligitan direbutnya. Tetapi kini di Karang Unarang, titik luar terjauh dari negara kepulauan Indonesia, telah dibangun mercu suar, yang permainan domino ini didahului Indonesia. Yang harus dijadikan pelajaran adalah bagaimana Malaysia sangat meyakinkan data-data de jure, ditambah dengan fakta de facto ”rekayasa” dengan membangun beberapa prasarana pariwisata di pulau tersebut. Pengalaman ini dijadikan guru oleh Indonesia. Dengan membangun mercu suar dan pos pengamat baseline di Unarang, maka Indonesia lebih awal selangkah untuk membuat Malaysia kehilangan langkah seperti dalam peta baru 21 Desember 1979 yang mencakup landas laut dan perairannya hingga Laut Sulawesi sejauh 200 mil dari perbatasan maritim Malaysia. Konsep menyatukan fakta de jure dan de facto, serta historis terlihat saat SH mendarat di Pulau Sipadan tahun 1978, tidak terdapat satu bangunan pun di pulau itu, kecuali pondok milik Bakrie, seorang tenaga upahan keturunan Panglima Abu Sari dan Maharaja Muhammad yang bertugas menjaga pulau dan pengumpul telur penyu, orang Bajau, tinggal di Samporna, Malaysia. Menara suar yang dibangun Belanda 1898 di pojok timur pulau itu masih berdiri, papan pembuatan dan kepemilikan mencu suar terpampang. Tapi ketika kembali lagi mengunjungi Sipadan tahun 2001, ternyata papan itu sudah tidak ada dan mercu suar kurang terawat. Dari sejumlah literatur yang terbit di Kuala Lumpur, Pulau Sipadan menjadi bagian dari wilayah Hindia Belanda yang disepakati antara Sultan Sulu, hanya dalam Confirmation of Cession of Certain Islands off North Borneo. Semua pulau di luar lingkungan tiga pulau, tidak termasuk Pulau Sipadan dan Ligitan, masuk wilayah Borneo Utara, karena kedua pulau dinilai tidak begitu penting. Tetapi kemudian, Sipadan – Ligitan dimasukkan dalam North Borneo karena menurut Nik Anuar Nik Mahmud, seorang pakar sejarah Universitas Kebangsaan Malaysia dalam bukunya ”Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, isu sempadan dan kedaulatan”, pemerintah Borneo Utara tahun 1930 memasukkan kedua pulau ke dalam Ordonansi Tanah Borneo Utara. Oleh pemerintah British North Borneo kedua pulau pada kekuasaan Residensi Lahad Datu.
Pulau Wisata
Kegiatan wisata yang dibangun sejak tahun 1980-an semakin ramai dengan banyaknya bangunan, cottage dan mini bar yang dikelola oleh Borneo Sabah Diver, rata-rata wisatawan yang mencapai 80 sampai 200 orang. Tahun 1990, Malaysia menempatkan satu regu polisi hutan untuk menjaga kepentingan warga Sipadan dari gangguan ”mundu” bajak laut dari Filipina Selatan. Tidak sampai dua tahun setelah Sipadan dan Ligitan dimiliki, 1 Februari 2005, pemerintah Malaysia melalui pemerintah negara bagian Sabah meminta agar warga mengosongkan Pulau Sipadan. Setia usaha Kerajaan Negeri (Sekretaris Negara Bagian) Datuk KY Mustafa menetapkan tidak ada kegiatan di Sipadan kecuali Pulau Mabul. Indonesia sendiri kehilangan data historis karena dibakarnya istana Kesultanan Bulongan yang menghanguskan banyak fakta sejarah tahun 1964. Ada beberapa alasan mengapa pengosongan Sipadan dilakukan, padahal pulau itu sangat potensial. Pertama, karena Malaysia ingin mewujudkan peta 6.2 perbatasan maritim Malaysia. Kedua, untuk menjaga keamanan. Ketiga, minyak yang terkandung di balik Laut Sulawesi dan potensi laut di sekitarnya sangat besar. Keempat, karena secara yuridis Sipadan telah menjadi milik Malaysia. Sipadan dan Ligitan mulai menjadi kasus teritorial tahun1969 ketika Tim Teknis Landas Kontinen Indonesia – Malaysia membicarakan batas dasar laut antar kedua negara. Ketika itu Pulau Sipadan dan Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari wilayah negara RI. Sementara tidak masuk dalam peta Indonesia yang jadi lampiran Perpu No. 4/1960 yang dipakai sebagai ”buku pintar” Tim Teknis Indonesia.
Saat Indonesia mempertanyakan hal tersebut, Malaysia mengklaim dua pulau yang berada di bawah 04 derajat 10 menit, tepatnya Pulau Sipadan yang terletak digaris 04 derajat 06’ dan 39” lintang Utara, 118 derajat 37’ 56” bujur Timur tersebut sebagai milik Malaysia. Karang Ligitan yang kerap disebut sebuah pulau, menurut pengamatan SH, hanyalah pulau karang yang dihuni ular berbagai species. Luas pulau yang terletak di garis lintang 04 derajat 09’ 48” utara, 118 derajat 53’ 04” bujur timur itu tidak sampai 100 m2 saat air pasang. Pulau yang menonjol itu berada di bagian ujung timur dari gugusan Ligitan, dimana ada sebuah mercu suar yang juga dibangun Belanda. Titik inilah yang dijadikan patokan bagi garis perbatasan sebelum Sipadan–Ligitan masuk Malaysia, 04 derajat 10 menit itu membentang dari ujung batas pemisah Pulau Sebatik Malaysia di utara dan Sebatik Indonesia di selatan. Setelah saling klaim terhadap pulau yang luasnya sekitar 6 hektare itu, Indonesia – Malaysia sepakat menyatakannya sebagai status quo. Kedua negara dilarang mengelola kedua pulau. Diam-diam Malaysia yang tertarik atas wilayah kontinen dan potensi di bawah laut sekitar Sipadan, terus membuka kedua pulau, terutama Sipadan dan menyatakan sebagai pulau wisata. Latihan perang Tentera Diraja Malaysia dilaksanakan di Sipadan, dan terakhir membangun berbagai sarana wisata, di bagian utara dan barat pulau yang luasnya hanya sekitar 4 kali luas lapangan bola itu.
Sejak Soeharto
Protes Indonesia tidak digubris, baru tahun 1989 masalah Sipadan dan Ligitan dibicarakan secara khusus antara Presiden Soeharto dan PM Mahathir Muhamad. Tahun 1992 kedua negara sepakat membentuk komisi bersama joint commission dalam kelompok kerja bersama (joint working groups). Berkali-kali pertemuan berlangsung di Jakarta dan Kuala Lumpur. Presiden Soeharto bahkan bertemu Datu Husein Onn di Kuantan, sepakat untuk terus berunding. Indonesia dipimpin Mensesneg Moerdiono dan dari Malaysia Wakil PM Datok Anwar Ibrahim, tetapi pertemuan mengalami jalan buntu. Hingga kunjungan Soeharto ke Kuala Lumpur 6-7 Oktober 1996 dan 31 Mei 1997 kedua negera sepakat Sipadan – Ligitan dibawa ke Mahkamah International, 2 November 1998 resmi penyelesaiannya lewat MI, dan 17 Desember 2002 Sipadan dan Ligitan masuk Malaysia. Melihat fakta tersebut, semakin terungkap kelihaian Malaysia dalam upaya menguasai wilayah kelautan yang lebih luas. Usai perang dunia kedua, tahun 1954 Kerajaan Inggris menetapkan wilayah Borneo Utara pada bagian selatan yang berhadapan dengan Indonesia di Laut Sulawesi berdasarkan baseline garis lurus ujung timur Pulau Sebatik ke arah ujung Ligitan. Baseline yang kemudian Sipadan dan Ligitan masuk wilayah Malaysia ini dibuat berdasarkan dasar Perikanan Norway-Britain yang diputuskan oleh PBB tahun 1951, yang kemudian diakui oleh sejumlah negara tetangga Malaysia termasuk Indonesia. Ketika Sabah masuk Malaysia, Malaysia secara sepihak menetapkan latar luar wilayah Malaysia berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1958. Pulau Sipadan dan Ligitan masuk dalam peta Malaysia itu. Seperti diakui oleh beberapa sumber SH di Kuala Lumpur maupun di Kota Kinabalu, peta tersebut belum memasukkan latar laut seperti yang dihendaki Malaysia dalam mengklaim Ambalat. Melihat pengalaman Malaysia saat merebut Sipadan dan Ligitan maka sangat wajar bila Indonesia secepatnya menyelesaikan mercu suar di Karang Unarang, bila perlu dilengkapi rumah penjaga dan pos keamanan. Lebih baik lagi bila membangun pulau buatan dan menjadikannya pangkalan nelayan. Maka bila kelak sengketa harus dibawa ke MI, pengalaman Malaysia dalam merebut Sipadan-Ligitan bisa menjadi ”senjata makan tuan”. Apalagi bila Indonesia berpegang pada Unted Nation Convention Law of the Sea, Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 yang diratifikasi pemerintah Indonesia tahun 1995. Inilah barangkali yang bisa memupuskan ambisi teritorial Malayasia yang mencoba mengesampingkan kodrat negara sebagai negara kontinental, yang mencoba menarik landas benua jauh beratus mil ke jantung Laut Sulawesi. Yang membuat permainan domino Malaysia terhenti setidaknya di Laut Sulawesi. Apalagi Indonesia jadi membangun 20 mercu suar di Unarang dan Ambalat, seperti ditegaskan Menteri Perhubungan Hatta Rajasa. ***
Pemerintah RI, waspadai politik malaysia ini. Kalau tidak, suatu saat pulau Jawa pun akan diklaim bangsa itu lho !!!
BalasHapusInilah alasan sepihak yang dijual Indonesia untuk menaikkan semangat warganya. Cuba berikan pandangan di pihak Malaysia pula. Tentunya Malaysia juga punya alasan kokoh yang membuat mereka berasa berhak ke atas perairan Ambalat.
BalasHapusJika Indonesia memberi alasan dan Malaysia juga memberi alasan, dan kedua negara mengaku kalau alasan merekalah yang paling akurat, bagaimana caranya agar pertikaian ini dapat berakhir?
ya gak bakalan selesai kalo malingsia bikin peta 1979 yang memasukkan wilayah ambalat masuk wilayahnya. padahal pada peta sebelumnya wilayah ambalat tidak masuk.
BalasHapus