Senin, 27 Oktober 2008 | 03:00 WIB
Teringat kembali pernyataan Gat Khaleb Ayung, warga Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. ”Kami, warga pedalaman, ibarat anak tiri,” katanya di Kabupaten Malinau pada awal Agustus lalu. Ayung mungkin benar. Warga di dataran tinggi yang berbatasan dengan Sarawak, Malaysia, itu hidup terpencil. Warga masih sabar meski harus mengeluarkan Rp 25.000 demi seliter bensin, solar, atau minyak tanah. ”Transportasi yang bisa menjangkau kehidupan 12.000 jiwa warga kami cuma pesawat,” kata Camat Krayan Serfianus. Sekitar 60 persen kebutuhan warga didatangkan dari negeri jiran lewat jalan ”tikus”. Yang 40 persen dipasok dari Malinau, Nunukan, atau Tarakan dengan pesawat. Nah, masalah muncul. Warga tidak bisa bepergian dan pasokan barang dari Indonesia terhenti Januari-Juli 2008. Tiada pesawat ke Krayan. Warga yang telanjur bepergian tak bisa pulang. Kesabaran warga habis. Warga menahan satu pesawat Britten Norman 2A milik maskapai PT Dirgantara Air Service (DAS) di Bandara Yuvai Semaring, Long Bawan, Krayan, 7 September. Bersamaan, warga yang tak bisa pulang di ibu kota Nunukan di Pulau Nunukan membakar dua gerobak barang, merusak satu timbangan, dan memecah kaca bangunan Bandara Nunukan.Pemerintah Kabupaten Nunukan tanggap. Kontrak penerbangan bersubsidi dengan DAS diputus sehari kemudian. ”Kami mencarter satu pesawat Susi Air,” kata Sudarmin, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan Subsidi Angkutan Penumpang Daerah Pedalaman dan Perbatasan Nunukan. Ternyata, DAS legawa dan menerima. ”DAS memang banyak lalainya,” kata Direktur Utama DAS Ramly Effendy Siregar.
Keselamatan
Berbisnis di jalur perintis atau bersubsidi ternyata sulit. Aspek pelayanan atau sosial amat penting. Namun, yang terutama tetap masalah keselamatan. Maskapai pun harus mengikuti pelbagai aturan keselamatan penerbangan. Beberapa kasus kecelakaan pesawat kita ketahui. Satu Casa-212 200 milik DAS jatuh di Long Ampung, Kecamatan Kayan Selatan, Kabupaten Malinau, 26 Januari. Tiga kru DAS tewas saat menjalani misi membawa material panel surya guna pembangkit listrik warga pedalaman. Peristiwa naas itu mungkin berkaitan dengan olengnya perusahaan akibat terkena kebijakan pembekuan sementara (grounded), Maret 2007. Sejumlah Casa-212 bergantian masuk untuk diperiksa dan dirawat di Merpati Maintenance Facility di kompleks Bandara Juanda, Surabaya, Jawa Timur. Menurut Ramly, teknisi DAS tidak punya kualifikasi merawat dan memeriksa pesawat yang sudah 3.600 jam terbang atau empat tahun pemakaian. Teknisinya cuma bisa untuk pesawat dengan 100, 300, 600, dan 1.800 jam terbang. Akibat pesawat diperiksa, pilot menganggur. Padahal, pilot harus tes kelayakan lagi bila tiga bulan tidak terbang. Perawatan satu Casa-212, kata Ramly, memerlukan enam bulan dan biaya Rp 1 miliar. Izin operasi DAS bahkan sempat ”mati” meski sudah diurus lagi. ”Penerbangan mengutamakan keselamatan sehingga pilot tidak bisa sembarangan menerbangkan pesawat,” kata Direktur Utama Perusahaan Daerah Melati Bhakti Satya Sabri Ramdhany. Menurut Sabri, pilot cuma memiliki izin menerbangkan satu jenis pesawat. Bila menerbangkan jenis lainnya, pilot harus mengikuti tes kelaikan di Departemen Perhubungan. ”Bisnis penerbangan bukan untuk main-main,” katanya. Ada aturan lain bahwa tiap dua pesawat maskapai harus memiliki tiga pilot dan tiga mekanik. Itulah sebabnya MBS cuma bisa menyerahkan dua dari empat Airvan GA8 untuk dikelola Kura-Kura Aviation sebagai pesawat carter.
Bersubsidi
Penerbangan bersubsidi tidak cuma harus mengikuti ketatnya aturan demi keselamatan penumpang, tetapi juga mengedepankan pelayanan atau aspek sosial. Untuk itu, pemerintah memberi subsidi pada tiket pesawat biaya guna meringankan beban warga pedalaman. Pemerintah Nunukan mengalokasikan Rp 4 miliar untuk subsidi angkutan penumpang dan barang tahun 2008. Pemerintah Provinsi Kaltim ikut membantu Rp 2,5 miliar untuk subsidi penumpang. Nunukan menganggarkan Rp 1,2 miliar untuk subsidi penumpang rute Nunukan-Krayan dengan 98 kali penerbangan. Kaltim membantu Rp 1,3 miliar untuk 110 penerbangan. Tarif sebesar Rp 175.000 per orang dan bila tanpa subsidi Rp 1 juta per orang. Akibat DAS mandek, Nunukan mencarter pesawat Cessna Grand Caravan berbiaya Rp 40 juta. Pesawat berkapasitas 12 penumpang atau mampu mengangkut maksimal 1.300 kilogram. Biaya itu setara minimal Rp 3 juta per orang. Nunukan juga menjalin kontrak dengan maskapai Mission Aviation Fellowship untuk subsidi angkutan barang tiap Selasa dan Kamis. Nilai kontrak kurun 2008 untuk rute Nunukan-Long Layuh Rp 360 juta. Rute lain ialah Nunukan-Binuang dengan nilai kontrak Rp 300 juta. Pemerintah Kabupaten Malinau juga melakukan hal serupa. Senilai Rp 9 miliar dialokasikan untuk subsidi penumpang selama setahun. Rutenya ialah Tarakan-Malinau (seminggu tujuh kali), Malinau-Long Ampung (seminggu empat kali), dan Malinau-Long Lebusan (seminggu tiga kali). Rute Tarakan-Malinau awalnya kontrak dengan DAS. Namun, DAS tidak bisa memenuhi kontak. Malinau berpaling ke Susi Air. Tarif rute tersebut Rp 500.000 per orang. Rute Malinau-Long Ampung dan Malinau-Long Lebusan dilaksanakan oleh MAF. Maskapai misionaris Kristen ini mengandalkan pesawat Cessna berkapasitas maksimal 5 orang. Pesawat bisa mendarat meski di landas pacu rumput atau tanah dengan panjang kurang dari 500 meter.
Andalan
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kaltim Sulaiman Gafur mengatakan, penerbangan perintis atau bersubsidi merupakan solusi terbaik dan paling andal untuk menjangkau warga pedalaman. Penerbangan perintis dengan pesawat berkapasitas 5-10 penumpang telah ada puluhan tahun lalu. Ada 59 lapangan terbang atau mungkin lebih layak disebut lintasan mendarat yang tidak sampai 1.000 meter tersebar di Kaltim. Pesawat-pesawat jenis Cessna dan Airvan cocok untuk menjangkau pedalaman. Permukiman terpencil di pedalaman tidak terhubung jalan yang memang belum dibangun. Sungai-sungai pun tidak saling berhubungan. Penerbangan memakai jasa maskapai komersial mungkin juga menjadi andalan. Bandara Sepinggan, Balikpapan, dan Bandara Juwata, Tarakan, mampu didarati pesawat jenis Boeing 737. Waktu tempuh kedua kota itu 50 menit. Bila lewat darat bisa dua hari sebab jalan 1.000 kilometer tidak sepenuhnya mulus. Itu pun masih harus menyeberang dengan perahu cepat sekitar 3 jam dari Kabupaten Bulungan sebab Tarakan berada di Pulau Tarakan. Kondisi yang sama juga terjadi untuk rute penerbangan domestik antarkabupaten dan kota. Kaltim memiliki sembilan bandara domestik. Tujuh bandara di antaranya bisa didarati avions de transport regional (ATR) berkapasitas 45 orang. Ketujuh bandara itu antara lain Temindung di Samarinda, Kalimarau di Berau, Tanjung Harapan di Bulungan, RA Bessing di Malinau, Nunukan di Nunukan, dan Melalan di Kutai Barat. Bandara domestik lainnya, yaitu Datah Dawai di Kutai Barat dan Long Ampung di Malinau, baru bisa didarati Cassa-212. ”Landasan di Datah Dawai tidak bisa diperpanjang sebab dikelilingi jurang sehingga akan dibangunkan bandara baru di dekatnya,” kata Sulaiman. Kaltim juga memiliki sejumlah bandara khusus di kompleks perusahaan. Dua di Kabupaten Kutai Timur. Satu di Tanjung Santan yang dibangun PT Pertamina. Perusahaan tambang batu bara PT Kaltim Prima Coal membangun satu bandara di Tanjung Bara. Dua lainnya di Bontang. Satu di kompleks PT Badak NGL dan satu lagi di PT Pupuk Kalimantan Timur. Satu bandara ada di Senipah, Kabupaten Kutai Kartanegara.(Ambrosius Harto Manumoyoso)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari Bersama Membangun Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur