Diskusi bulanan Harian Sinar Harapan pada 26 Juni 2008 dengan tema “Penggelaran Essential Force dalam Tinjauan Situasi Terkini”, menjadi ajang bagi para peserta dari berbagai latar belakang untuk membahas tentang bagaimana membangun pertahanan Indonesia ke depan. Terdapat kesamaan persepsi di antara para peserta diskusi bahwa sifat alamiah dan status Indonesia sebagai negara kepulauan harus menjadi pertimbangan utama untuk membangun pertahanan Nusantara kini dan ke depan. Terlebih lagi setelah melihat kecenderungan negara-negara maju untuk turut campur dalam pengamanan perairan yurisdiksi negara berkembang dengan dalih tidak terjaminnya keselamatan dan keamanan maritim. Contohnya adalah Resolusi DK PBB No 1816 yang memberikan mandat kepada negara-negara yang terlibat kerja sama dengan Pemerintahan Transisi Federal Somalia untuk memasuki perairan teritorial Somalia guna menindas pembajakan dan perompakan di laut. Dikaitkan dengan Indonesia, pengakuan status sebagai negara kepulauan oleh hukum internasional memberikan pula tanggungjawab kepada Indonesia untuk mengamankan perairannya. Maka isu responsibility to protect menjadi suatu hal yang kritis. Isu Alur Laut Kepulauan Indonesia juga mengemuka, khususnya tentang ruang udara di atasnya–yang sesuai dengan UNCLOS 1982–dapat menjadi tempat perlintasan pesawat militer tanpa harus mengajukan security clearance kepada Indonesia. Ketentuan ini sebenarnya tidak lepas dari kondisi ketika draf UNCLOS dibahas di PBB, yang mana ada tarik menarik kepentingan antara negara maju dan negara berkembang menyangkut navigasi kapal perang dan pesawat militer. Proses diterbitkannya PP No.37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing Dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan Yang Ditentukan, dinilai tidak melalui pembahasan yang komprehensif. Masih kuat persepsi di lingkungan pemerintahan bahwa ALKI lebih merupakan domain TNI AL, padahal di situ menyangkut pula masalah pertahanan udara karena adanya ruang udara di atas ALKI.
Persepsi terhadap Ancaman
Masalah ALKI menjadi lebih rumit ketika Amerika Serikat dan Australia terus menuntut penetapan alur Timur-Barat yang membentang dari Laut Arafuru-Laut Flores-Laut Jawa. Permintaan terhadap ALKI keempat semakin kuat karena pada sidang International Maritime Organization (IMO) tahun 1996 di London saat mengesahkan tiga ALKI Utara-Selatan, delegasi Indonesia menyatakan bahwa ketiga ALKI itu merupakan partial designation. Pernyataan ini bagi negara-negara maju diartikan sebagai janji bahwa di masa depan akan ada penetapan ALKI lainnya oleh Indonesia. Dalam forum berkembang beberapa pandangan tentang ancaman, yaitu yang berbasis pada primordialisme, terorisme dan ancaman asimetris lainnya, bahkan ada yang menganggap sekarang bukan lagi saatnya berdiskusi tentang ancaman. Meskipun terdapat perbedaan pendapat, namun ada benang merah yang perlu digarisbawahi, yaitu bahwa kini dan ke depan Indonesia tidak menghadapi ancaman invasi dan pendudukan wilayah seperti yang diskenariokan dalam Latgab TNI 2008. Justru “penguasaan” sumber daya alam melalui pintu kebijakan politik dan ekonomi merupakan ancaman dan tantangan terhadap Indonesia, dan hal itu sesungguhnya berada di luar domain pertahanan. Mengacu pada Peraturan Presiden No.7 Tahun 2008 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara, pembangunan pertahanan diamanatkan menggunakan pendekatan capability-based planning. Pendekatan ini menggantikan pendekatan threat-based planning yang dianut oleh Indonesia dan negara-negara lain sejak masa Perang Dingin. Yang disebut pertama menekankan pada “kemampuan apa yang harus dimiliki di masa depan”, sedangkan yang kedua bertumpu pada “senjata apa yang harus diganti”. Dengan mengidentifikasi kemampuan apa saja yang harus dimiliki oleh kekuatan pertahanan, dalam hal ini militer, maka aspek anggaran sebenarnya tidak dapat lagi dikambing-hitamkan. Kekuatan yang hendak dibangun dirancang untuk menghadapi tantangan sampai tingkat tertentu saja. Sebagai contoh, mungkin untuk pembangunan kemampuan TNI AL di bidang militer, tingkatannya “hanya” sampai pada mampu untuk mengamankan wilayah yurisdiksi Indonesia dan belum akan diarahkan untuk mampu operasi ekspedisionari ke luar wilayah kedaulatan. Bisa jadi, kebutuhan akan kapal patroli lebih banyak daripada kapal kombatan atas air, sebab ada tuntutan untuk melaksanakan tugas konstabulari menanggulangi kerugian negara di laut sebesar US$ 30 miliar per tahun.
Reformasi atau Transformasi
Isu reformasi TNI tak ketinggalan dibahas. Ada yang memandangnya belum tuntas karena ada beberapa isu yang masih menggantung, misalnya masalah bisnis TNI dan sistem peradilan militer. Juga belum berubahnya doktrin dan organisasi TNI secara signifikan. Pemikiran ini berpendapat bahwa perubahan doktrin dan organisasi merupakan bagian integral dari reformasi TNI untuk meningkatkan profesionalisme. Pandangan lainnya menyatakan bahwa tidak ada hubungan langsung antara reformasi TNI dengan profesionalisme TNI. Perubahan doktrin dan organisasi TNI, menurut pendapat ini, faktor pendorongnya harus berupa penerapan revolution in military affairs (RMA). Penerapan RMA dalam praktek di negara-negara dikenal sebagai transformasi pertahanan dan bukan reformasi pertahanan. Belum berubahnya doktrin dan organisasi TNI, merupakan bukti kuat bahwa Departemen Pertahanan dan TNI belum mengadopsi RMA di tengah era peperangan generasi keempat saat ini. Untuk menerapkan RMA di TNI, dibutuhkan perubahan paradigma dalam memandang peperangan ke depan yang selain bercirikan eksploitasi teknologi tinggi, juga bersifat tiba-tiba dan cepat (sudden and swift). Menurut pendapat ini, penerapan RMA di tanah air merupakan keniscayaan asalkan disesuaikan dengan kebutuhan Indonesia dan tidak mentah-mentah menjiplak konsep dari Amerika Serikat. Dari jalannya diskusi, tampak nyata bahwa masih banyak pekerjaan rumah bagi Departemen Pertahanan. Terbitnya Perpres No. 7 Tahun 2008 yang disusul oleh Strategi Pertahanan, Doktrin Pertahanan, Postur Pertahanan 2010-2029 dan Buku Putih Pertahanan harus ditindaklanjuti dengan berbagai langkah. Di antaranya memastikan bahwa postur TNI dan Angkatan mengacu pada postur pertahanan, sehingga tidak terjadi lagi pengadaan alutsista (alat utama sistem senjata) yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Sebab pengadaan alutsista mempunyai efek logistik yang panjang. Dengan politik politik luar bebas aktif, Indonesia cukup kesulitan untuk menjamin ketersediaan logistik alutsista secara berkelanjutan dari negara produsen. Sementara industri pertahanan nasional masih harus melakukan pembenahan untuk dapat memenuhi kebutuhan TNI.
Penulis adalah pengamat masalah pertahanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari Bersama Membangun Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur