Jika Anda penggila wisata kota pesisir, jangan lupakan Langsa. Sejarah Langsa sebagai kota pesisir dikenal lama di semenanjung Lamuri (Aceh), selain Bandar Aceh dan Meulaboh. Secara historis kota ini menjadi batu loncatan islamisasi Sumatera Timur, dengan tokoh utamanya Sultan Muhammad Kampai atau dijuluki Teungku Keramat Panjang. Secara antropologis Langsa terkenal sebagai kota multikultur, karena pembauran pelbagai etnis: Jawa, Batak, Melayu, Tapanuli, China, Tamil, dll, sehingga menjadi satu-satunya “kota yang terberkati” di masa konflik. Satu yang pasti menyenangkan dari Langsa adalah pelabuhannya. Jalan menuju Kuala Langsa dilindungi hutan bakau yang rimbun. Matra iklim pun membalur kenyamanan, karena cuaca yang sering berawan dan hujan. Hidrografi kota pelabuhan yang memiliki dua pintu masuk ini pun cukup tenang. Salah satunya karena hempasan angin darat dan laut di Selat Malaka teredam oleh padatnya hutan. Namun, kini sejarah hutan akuatik itu mulai nelangsa. Bakau yang lebat, tempat bergantungnya ratusan fauna seperti kera, bangau, dan tupai mulai raib. Statusnya sebagai hutan lindung tidak menyurutkan pembabatan massal. Pelakunya masyarakat sekitar. Setahun terakhir hutan bakau Kuala Langsa telah hilang separuhnya. Bandul waktu mengumpulkan satu lagi obituari hutan bakau nusantara, dan satu-satunya rimba bakau potensial di Nanggroe Aceh Darussalam.
Lamurnya Hukum
Jika diteliti lebih jauh, kerusakan hutan bakau di Indonesia bukan hanya disebabkan bergeraknya tangan-tangan globalisasi dalam mengembangkan proyek eksploitasi, seperti hutan darat, la-han gambut, atau terumbu karang, tapi juga problem riil masyarakat pesisir. Menurut lembaga pangan PBB, FAO, pemanfaatan hutan bakau Indonesia memberikan tambahan devisa hingga 2 miliar dolar AS pertahun, tapi tidak berimbas pada kesejahteraan masyarakat pesisir. Hasil riset Asian Development Bank (ADB), angka kemiskinan absolut di Indonesia sebagian besar diderita ma-syarakat pesisir (80 persen). Hal ini memberikan gambaran bahwa pemanfaatan potensi hutan akuatik di Indonesia tidak menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama ekonomi. Pengalihfungsian hutan bakau menjadi areal pertambakan telah memupuk proses ketergantungan baru. Hampir seluruh pekerjanya adalah masyarakat lokal yang telah menjadi buruh upah murah dari tanah-tanah yang dahulunya mereka miliki. Krisis ekonomi tahun 1997 telah menyebabkan masyarakat menjual tanah-tanah miliknya, dan memanfaatkan hutan adat atau lindung sebagai tempat bergantung. Belum lagi pengalihfung-sian hutan untuk proyek infrastruktur. Kasus korupsi yang sedang merebak saat ini tentang pengalih-fungsian 600 hektar hutan bakau untuk pembangunan pelabuhan di Tanjung Siapi-api, Su-matera Selatan, menunjukkan fenomena kerusakan permanen bagi akuatik hijau yang seharusnya mampu menghadang abrasi dan produsen oksigen murni bagi daerah pesisir. Akibatnya mudah ditebak. Hutan bakau Indonesia yang sebenarnya terluas di dunia mengalami proses deforestasi ekstrem. Dari 8,6 juta hektare hutan bakau di tahun 1986, kini hanya tersisa kurang 2 juta hektar. Peraturan menteri kehutan yang melarang ekspor kayu bakau tidak menyurutkan praktik pedagangan ilegal. Arang bakau meninggalkan efek harum panggangan dan disenangi konsumen Jepang, Hong Kong, dan Amerika. Bukan rahasia, sebagian besar berasal dari black market Indonesia. Kontradiksi antarperaturan yang pro-konservasi versus pro-eksploitasi semakin berkibas-libas. Ini jelas terlihat dari penerapan Perpu No. 1/2004 yang kemudian berubah menjadi UU No. 19/2004 tentang (eksploitasi) hutan. Pemantik bom waktu yang ditinggalkan Megawati di akhir masa pemerintahannya dipercepat ledakannya oleh Yudhoyono melalui peraturan organik (PP No. 2/2008 tentang pendapatan negara bukan pajak dari eksploitasi hutan lindung). Bahkan kini, Menteri ESDM Pur-nomo Yusgiantoro tengah bergiat me-ngeluarkan Keppres yang memperluas kesempatan eksploitasi hutan bagi pemain baru. Apa gunanya peraturan menteri yang melarang ekspor jika secara internal pemerintah tidak mengurangi ego eksploitasinya atas hutan-hutan nusantara?
Mencabut Kemanusiaan
Secara nasional pemerintah seperti tidak memiliki pilihan maknyus, di te-ngah krisis minyak global yang entah kapan usai. Namun efek kerusakan lingkungan dan kebangkrutan ekonomi jangka panjang juga perlu dipertimbangkan. Makanya, alih-fungsi hutan seperti tidak bersanksi tegas, karena pemerintah juga tidak memiliki program berkelanjutan dalam menangani problem kemiskinan masyarakat pesisir.. Sima-la-kama ini hanya akan terpecahkan jika pemerintah kembali memfungsikan hukum adat, menertibkan logika hukum dan mencabut peraturan-peraturan yang melegalkan praktik komersialisasi hutan, serta mengadvokasi problem kemiskinan masyarakat pesisir dengan program berkesinambungan dan pro lingkungan. Prinsip keseimbangan ekologis sebenarnya dimiliki semua komunitas hutan, baik pesisir atau pedalaman. Di Aceh dikenal hukum adat yang dikelola oleh pang laot. Ia tidak hanya mengatur lalu-lintas pelayaran tapi juga pemanfaatan hutan dan biosfer bakau. Prinsip produksi-konsumsi hutan bakau oleh masyarakat pesisir tempo doeloe sebenarnya tidak sampai menganggu ekosistem utama. Sanksi adat yang kuat dan religio-magis dipercaya mencegah tindakan berlebihan atas hutan. Saat ini kebaikan adat tergerus rasionalitas kapital yang menawarkan mimpi perubahan dan hedonisme. Pembangunan fasilitas komersial seperti hotel dan restoran di wilayah hutan bukan hanya mengubah kultur tapi juga perbudakan ekonomi masyarakat lokal. Masyarakat pesisir paling menjadi babu, office boy, dan satpam di tanah nenek moyang mereka. Mereka tuan tanpa tanah dan harga diri. Moralitas adat perlu kembali dihidupkan. Mencabut sebuah pohon bakau tanpa alasan yang jelas sama de-ngan mencabut satu nilai kemanusiaan masyarakat lokal. Sejuta pohon tercabut sama dengan sejuta resiko yang bakal mereka terima. Pelan atau cepat sejarah kerusakan akan terulang, dan pasti meninggalkan tragedi kemanusiaan.
Penulis adalah dosen Antropologi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari Bersama Membangun Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur