SEBATIK – Kemiskinan masih saja melilit perbatasan Indonesia. Di Kecamatan Krayan, Sebatik, Kalimantan Timur, satu-satunya cara untuk keluar masuk dari wilayah ini hanya bisa dilakukan dengan transportasi udara. Pendapatan mereka bahkan 70 persen dialokasikan untuk transportasi. Hanya 30 persen saja untuk keperluan hidup sehari-hari. Ini yang menyebabkan, hingga kini, masyarakat sangat tergantung dengan subsidi transportasi dari pemerintah, baik pusat atau daerah. “Kondisinya memang tidak mudah. Terlebih sudah setahun ini pemerintah pusat menghapuskan subsidi transportasi. Kami yang kerepotan untuk menangani subdisi bagi mereka sekarang,” kata Bupati Nunukan Abdul Hafid Achmad, akhir pekan lalu di Nunukan. Kebutuhan transportasi bagi Kecamatan Kerayan memang sangat vital. Hanya dengan cara inilah, masyarakat bisa berinteraksi dengan sanak keluarga mereka di kecamatan lain di Sebatik seperti Kecamatan Nunukan, Kecamatan Sebatik, Kecamatan Kerayan Utara dan Selatan (pemekaran baru) dan Kecamatan Sebuku, Kecamatan Lumbis dan Kecamatan Sembakung. Yang lebih utama lagi, transportasi ini pula yang menghantarkan penduduk bisa melakukan aktivitas ekonominya.
Meskipun pemerintah sudah membangun jalan-jalan tembus di perbatasan kedua negara, tetapi itu belum memadai. Kurang lebih Rp 5-10 miliar dana subsidi dikucurkan pemerintah pusat, padahal seharusnya dana tersebut masih diperlukan dua kali lipatnya lagi atau kurang lebih Rp 20 miliar. “Penduduk bertambah, begitu juga dengan kebutuhan sosial lainnya. Tapi pemerintah pusat beranggapan hanya akan memanjakan rakyat kalau terus memberikan subsidi,” paparnya. Sama dengan wilayah lain di Sebatik, untuk kebutuhan sembilan bahan pokok minus beras, lebih banyak didatangkan dari Malaysia. Meskipun begitu, beras yang diproduksi masyarakat lokal seringkali jatuh harganya ketika dijual di perbatasan. Beras per gantang atau 3,8 liter harusnya dihargai 20 ringgit, tetapi seringkali harganya turun menjadi 7-8 ringgit saja. Sarana transportasi memang menjadi masalah besar bagi wilayah yang naik daun ketika kasus Ambalat mencuat, baik di Kerayan atau Sebatik. Banyak pejabat yang silih berganti mengunjungi Ambalat. Nasionalisme seakan diukur dari pernah tidaknya kaki melangkah di tapal batas Desa Aji Kuning, Sebatik. Tapi situasi tidak banyak berubah sepeninggalan pejabat yang silih berganti datang. Jalan-jalan yang sudah dibangun masih berupa agregat. Selaput tipis aspal sudah koyak di sana sini. “Cukup menghibur rakyat bahwa jalan mereka pernah diaspal,” kata Herman Baco, penduduk setempat yang mengantar kami, rombongan dari Departemen Pertahanan (Dephan) yang melihat perbatasan itu beberapa waktu lalu. Sulitnya transportasi ini pula yang menyebabkan warga memilih transaksi dengan Malaysia, tepatnya dengan Tawau yang terletak di Sabah. Kakao, sawit, dan ikan serta kebutuhan lain lebih mudah didapatkan dari Malaysia dari pada di Tarakan. Ongkos transportasi pun jauh lebih murah. Cukup dengan waktu 20 menit ke Tawau dan membayar 10 ringgit atau setara dengan Rp 25.000 daripada harus menempuh dua jam ke Tarakan dengan biaya hampir Rp 100.000. “Kami belanja di Malaysia. Pagi berangkat dengan kapal sendiri, sore kembali ke sini. Dagangan terjual, pulang bisa bawa barang dagangan lain,” ujar Saedah, warga Aji Kuning. Ia biasa membawa pisang, kelapa, dan hasil bumi lain yang laku dijual di Malaysia. Paling tidak dua kali seminggu, ia ke luar negeri. “Tiap hari kita keluar masuk juga bisa. Jadi kami ini paling sering ke luar negeri,” ujarnya. Saedah yang asli Kediri ini sudah sejak 1989 tinggal di perbatasan tersebut. Selain itu, warga Sebatik juga biasa menjual hasil bumi secara overskip, dilakukan dari kapal ke kapal di tengah laut.
Pos Imigrasi
Pembangunan wilayah perbatasan memang tidak sepesat di daerah lain. Bila warga Malaysia memandang ke Sebatik, yang tampak hanya gelap yang pekat. Berbeda dengan pandangan dari Sebatik ke ujung Tawau di malam hari. “Kami hanya ingin pemerintah memberikan kami jalan dan dermaga. Itu sarana kami untuk bisa bertahan hidup dan memperbaiki kondisi ekonomi. Kalau jalan pun tidak punya, dermaga tidak ada, wilayah ini akan sangat sulit maju,” ujar Alimin, warga setempat. Ia juga berangan-angan, supaya dibangun pos imigrasi dan bea cukai di Sebatik. Cara ini menurutnya akan lebih ekonomis, dari pada harus ke Nunukan hanya untuk mendapatkan cap pos imigrasi. Tidaklah berlebihan keinginan Bupati Nunukan agar wilayah perbatasan mendapat perhatian khusus. Di Tawau yang hanya berjarak kurang lebih lima mil saja, infrastruktur berupa jalan, listrik, air bersih, pelabuhan, rumah sakit, sekolah, dan fasilitas lain yang lengkap dan memadai. Tidak berlebihan bila masyarakat Kerayan dan Sebatik membutuhkan jalan dan dermaga, tanpa fasilitas ini, harga semen di Kerayan tetap akan Rp 400.000 per sak dan harga gula serta beras yang mencapai Rp 10.000 dan Rp 15.000 per kilonya. Mereka yang terlupakan di ujung Indonesia, dan makin miskin karenanya.
"...Bagaimana tanggung jawab pemerintah dan pemda dalam mengatasi masalah ini. butuh ketulusan hati untuk membantu saudara kita yang jauh disana. semoga pemerintah pusat maupun daerah bisa membantu saudara kita..."
Baca Lebih Lengkap Artikelnya....