Selamat Datang di Blog Nunukan Zoners Community - Media Komunikasi Informasi Masyarakat Nunukan

Mimpi masa kini adalah kenyataan hari esok.

Anda bisa, jika Anda berpikir bisa, selama akal mengatakan bisa. Batasan apakah sesuatu masuk akal atau tidak, kita lihat saja orang lain, jika orang lain telah melakukannya atau telah mencapai impiannya, maka impian tersebut adalah masuk akal.

Menuliskan tujuan akan sangat membantu dalam menjaga alasan melakukan sesuatu.

Senin, 02 Maret 2009

Menantikan Pembangunan Hukum Kelautan

Menantikan Pembangunan Hukum Kelautan
Oleh
Akhmad Solihin

Sebagai negara kepulauan hingga saat ini Indonesia senantiasa dihadapkan pada kompleksitas permasalahan di wilayah laut. Pada bidang hukum, misalnya, Indonesia masih dihadapkan pada beberapa permasalahan seperti tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang berujung pada konflik kewenangan antarlembaga. Selain itu, Indonesia dihadapkan pada masalah adanya kekosongan hukum dalam menciptakan bangunan hukum yang utuh dan terintegrasi. Sementara itu, sebagaimana kita ketahui, pada bulan Oktober yang lalu DPR telah mengesahkan Undang-undang Wilayah Negara dalam mengatasi permasalahan kekosongan hukum terkait dengan permasalahan kewilayahan, baik yang bersifat politik maupun ekonomi. Hal ini sebagaimana tujuan yang termaktub dalam wilayah negara, yaitu menjamin keutuhan wilayah dan kedaulatan negara serta mengatur pengelolaan dan pemanfaatan wilayah negara dan kawasan perbatasan. Keberhasilan pengesahan UU Wilayah Negara adalah salah satu bentuk political will Pemerintah dalam membangun Indonesia sebagai negara kepulauan. Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah kehadiran UU Wilayah Negara sudah dianggap mampu menuntaskan kompleksitas permasalahan bangsa di wilayah laut? Kompleksitas permasalahan dalam membangun kelautan Indonesia dimulai dari ego-sektoral. Beberapa lembaga negara merasa berhak mengelola laut, sehingga mereka merancang suatu undang-undang untuk dijadikan dasar hukum untuk menjalankan wewenangnya. Akibatnya, terjadi tumpang tindih peraturan perundang-undangan dan menciptakan inefisiensi serta konflik kewenangan antarlembaga. Koordinasi Hanya di Atas Kertas Konflik kewenangan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu Pertama, konflik kewenangan dalam pengelolaan sumber daya di wilayah laut, termasuk pemberian izin pemanfaatan. Contohnya antara Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Departemen Kehutanan (Dephut) yang mempunyai mandat dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan. Dephut mendapatkan pengakuan hukum dari UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sementara itu, DKP mendapatkan pengakuan hukum dari UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Selain itu, konflik tata ruang di wilayah pesisir antara UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan UU No 27 Tahun 2007. Belum lagi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang memberi Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) yang ditolak beberapa kelompok masyarakat, khususnya kalangan pemerhati lingkungan hidup. Kedua, setidaknya terdapat delapan lembaga penegak hukum yang berwenang di wilayah laut, yaitu TNI AL, Polri, PPNS DKP, PPNS Departemen Perhubungan, PPNS Bea Cukai, PPNS Imigrasi, PPNS Lingkungan Hidup, dan PPNS Dephut. Bila dikelompokkan pada batasan wilayah kewenangannya, terdapat tiga kelompok, yaitu (1) lembaga yang memiliki kewenangan hanya terbatas pada wilayah perairan Indonesia atau pada wilayah yang dikelompokkan statusnya kedaulatan negara, seperti Polri, PPNS Dephub, PPNS Dephut; (2) lembaga yang memiliki kewenangan pada wilayah perairan Indonesia yang statusnya kedaulatan negara dan Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, serta Landas Kontinen yang statusnya hak berdaulat (sovereign rights) yang tentu saja bersifat spesifk, seperti PPNS DKP, PPNS Bea Cukai, PPNS Imigrasi, dan PPNS Lingkungan Hidup, (3) lembaga yang memiliki kewenangan pada wilayah perairan Indonesia yang statusnya kedaulatan negara dan hak berdaulat, seperti TNI AL. Banyaknya lembaga penegak hukum di wilayah laut, bukan berarti masalah pelanggaran semakin sedikit dan wilayah laut bebas dari segala tindakan ilegal. Masih maraknya tindakan pelanggaran hukum tersebut bukan hanya disebabkan oleh minimnya sarana dan prasarana di antara lembaga penegak hukum, tetapi lebih dari itu. Masing-masing lembaga tersebut dihadapkan pada masalah “koordinasi”. Meskipun beberapa undang-undang telah mengamanatkan dilakukannya koordinasi dalam penegakan hukum, pada praktiknya kata “koordinasi” hanya berlaku di atas kertas.

Pembangunan Hukum
Prof Hasjim Djalal mengatakan ketidakjelasan koordinasi dan pembagian wewenang serta tanggung jawab di antara pejabat yang berwenang di berbagai bidang tersebut akan menimbulkan kerancuan, overlapping jurisdiction dan memungkinkan terjadinya conflicting jurisdiction. Sudah semestinya Pemerintah merancang bangunan hukum di bidang kelautan secara komprehensif dan integralistik. Ketiadaan konsep ini hanya akan menyebabkan wilayah laut menjadi ajang pertarungan kepentingan, yang hanya akan mengorbankan sumber daya laut. Oleh karena itu, pada tahun 2009 Pemerintah harus mampu membuat undang-undang yang selama ini tersimpan dalam laci.
Strategi dalam menciptakan bangunan hukum di bidang kelautan, di antaranya pertama, harmonisasi hukum. Strategi ini didasarkan pada terjadinya tumpang tindih peraturan perundang-undangan, baik antarundang-undang maupun antara undang-undang dengan peraturan pelaksana atau peraturan di bawahnya. Tentu saja, harmonisasi tersebut harus mengedepankan asas kedaulatan demi terjaganya NKRI serta asas kenusantaraan dalam menjaga kepentingan seluruh Indonesia. Dengan harmonisasi, diharapkan konflik kewenangan antarlembaga negara, khususnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya dapat menjamin pembangunan berkelanjutan dan menciptakan kesejahteraan.
Kedua, restrukturisasi lembaga penegak hukum. Meskipun sudah dibentuk Badan Koordinasi Keamanan Laut (BAKORKAMLA), benturan di antara lembaga penegak hukum masih kerap terjadi. Oleh karena itu, gagasan beberapa pakar mengenai pembentukan Coast Guard atau Penjaga Laut dan Pantai harus segera mendapatkan perhatian pemerintah.

Ketiga, percepatan penyusunan perundang-undangan. Terkait dengan masih adanya kekosongan hukum, percepatan penyusunan peraturan perundang-undangan harus dilakukan. Tentu saja dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang sudah ada. Dengan kata lain, perlu adanya undang-undang baru yang melengkapi dari undang-undang yang sudah ada, seperti perlunya penyusunan UU Perairan Pedalaman dan UU Zona Tambahan. Selain itu, UU No 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen perlu segera direvisi karena UU ini masih mengacu pada ketentuan Konvensi Jenewa 1958 yang hanya mendasarkan pada kedalaman laut.

Penulis adalah dosen Departemen Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan FPIK-IPB dan Staf Peneliti Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari Bersama Membangun Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur

Sejarah Terbentuknya Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur

Kabupaten Nunukan adalah salah satu Kabupaten di provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di kota Nunukan. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 14.493 km² dan berpenduduk sebanyak 109.527 jiwa (2004). Motto Kabupaten Nunukan adalah "Penekindidebaya" yang artinya "Membangun Daerah" yang berasal dari bahasa suku Tidung. Nunukan juga adalah nama sebuah kecamatan di Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia.

Kabupaten Nunukan merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Bulungan, yang terbentuk berdasarkan pertimbangan luas wilyah, peningkatan pembangunan, dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Pemekaran Kabupaten bulungan ini di pelopori oleh RA Besing yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Bulungan.

Pada tahun 1999, pemerintah pusat memberlakukan otonomi daerah dengan didasari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Nah, dgn dasar inilah dilakukan pemekaran pada Kabupaten Bulungan menjadi 2 kabupaten baru lainnya yaitu Kabupaten Nunukan dan kabupaten Malinau.

Pemekaran Kabupaten ini secara hukum diatur dalam UU Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Barat, dan Kota Bontang pada tanggal 4 Oktober 1999. Dan dengan dasar UU Nomor 47 tahun 1999 tersebut Nunukan Resmi menjadi Kabupaten dengan dibantu 5 wilayah administratif yakni Kecamatan Lumbis, Sembakung, Nunukan, Sebatik dan Krayan.

Nunukan terletak pada 3° 30` 00" sampai 4° 24` 55" Lintang Utara dan 115° 22` 30" sampai 118° 44` 54" Bujur Timur.

Adapun batas Kabupaten Nunukan adalah:
- Utara; dengan negara Malaysia Timur, Sabah.
- Timur; dengan Laut Sulawesi.
- Selatan; dengan Kabupaten Bulungan dan Kabupaten Malinau.
- Barat; dengan Negara Malaysia Timur, Serawak

Kata Mutiara Hari Ini

Hidup bukan hidup, mati bukan juga mati, hidup adalah mati, mati adalah hidup, hidup bukan sekedar kematian, hidup adalah sensasi dari kematian, mati bukan sekedar kematian, mati adalah sensasi dari kehidupan, kematian dan kehidupan hanyalah sebuah sensasi dalam suasana ketidaknyataan....

Info Visitor