Selamat Datang di Blog Nunukan Zoners Community - Media Komunikasi Informasi Masyarakat Nunukan

Mimpi masa kini adalah kenyataan hari esok.

Anda bisa, jika Anda berpikir bisa, selama akal mengatakan bisa. Batasan apakah sesuatu masuk akal atau tidak, kita lihat saja orang lain, jika orang lain telah melakukannya atau telah mencapai impiannya, maka impian tersebut adalah masuk akal.

Menuliskan tujuan akan sangat membantu dalam menjaga alasan melakukan sesuatu.

Jumat, 04 April 2008

Perlukah Kita Menonton Film Ayat-ayat Cinta

Nunukan Zoners - Kehadiran film Ayat-Ayat Cinta (AAC) ternyata tidak kalah heboh dengan novelnya. Bayangkan saja, baru beberapa hari tayang sudah menembus angka 1 juta penonton! Sambutan yang begitu antusias ini tidak hanya mengagetkan industri perfilman Indonesia tapi juga Hanung Bramantyo selaku sutradaranya. Sebelumnya memang ada kekhawatiran bahwa film yang bernuansa keagamaan tidak laku dijual dan dan tidak menarik minat penonton. Saya sendiri minggu lalu sebenarnya sudah niat ingin menonton dan sempat ikutan ngantri tiket, tapi akhirnya gagal karena tidak kebagian. Hari ini, setelah juga masih ngantri panjang akhirnya berhasil juga mendapatkan tempat duduk untuk menyaksikan film Ayat-Ayat Cinta. Bagi saya yang sudah membaca novel best seller karya Habiburrahman Saerozy (kang Abik) ini tentu saja penasaran, seperti apakah Hanung menuangkannya ke dalam bentuk film walaupun jujur saja sampai dengan menulis artikel ini saya tidak tahu dan tidak hafal dengan nama-nama pemainnya. Bagi pembaca novelnya mungkin banyak yang kecewa karena apa yang mereka harapkan tidak sesuai harapan. Memang yang terasa kurang dalam film ini adalah nuansa “Kairo” nya yang nyaris tidak ada padahal dalam novelnya kang Abik menggambarkan sedemikian detail. Kita seolah diajak kang Abik untuk juga menikmati keindahan panorama dan kehidupan Mesir. Walaupun lokasi pembuatan film dengan pertimbangan biaya sudah dialihkan (semula direncanakan di Mesir kemudian dipindahkan ke India) tapi tetap saja jauh dari sempurna. Sangat wajar jika banyak mantan mahasiswa Indonesia yang pernah kuliah di Mesir yang setelah menyaksikan film ini mengeluhkan bahkan melecehkan “pemaksaan” lokasi ini. Hal lain yang juga sangat mengganggu adalah alur ceritanya yang ternyata ada beberapa diluar “teks aslinya” sehingga kekuatan Islam yang coba dibangun kang Abik dalam novelnya terlihat hambar di film ini. Belum lagi pemeran Fahri, Aisha dan Nurul yang menurut saya kurang cocok sebagai tokoh-tokoh tersebut. Untungnya Maria yang juga tokoh sentral dimainkan sangat apik. Tapi juga perlu disadari bahwasanya film ini sebenarnya tidak hanya sekedar hiburan tentang percintaan tapi juga film dakwah tentang bagaimana keindahan Islam yang sudah mengatur tatanan kehidupan secara keseluruhan. Untuk yang terakhir ini menurut saya Hanung belum berhasil. Dia memang terperangkap antara idealismenya sebagai seorang sutradara muslim (dia mengakui makin mencintai Islam setelah men-sutradarai film ini) dengan produser yang melihat film sebagai sebuah industri yang harus menguntungkan. Disinilah terjadi sebuah dilematis yang mau tidak mau harus dikompromikan. Makanya tidak aneh jika bagi mereka yang belum membaca novelnya, bisa jadi memiliki pandangan yang berbeda dan sangat puas setelah menyaksikan film ini. Mengetahui kendala-kendala yang dihadapinya, rasanya apa yang telah dihadirkan Hanung ke layar lebar tetap patut dihargai apalagi dia sudah berhasil pula memainkan emosi penonton. Terbukti tidak sedikit penonton yang menitikkan air mata karena terhanyut, terharu dan terkagum-kagum. Sedikit berbagi, ada kejadian nyata dimana ada seorang wanita yang dalam waktu singkat sudah 3 kali menonton film ini. Uniknya, setiap kali menonton dia selalu menyiapkan tissue karena dia selalu menangis. Meminjam istilah Andrea Hirata, bisa jadi hal ini merupakan jenis penyakit nomor kesekian yaitu ketagihan akan sesuatu yang berlebihan kalau sudah suka. :-) Kembali kepada judul di atas “Perlukah Menonton Ayat-Ayat Cinta?”. Jawabannya sederhana, semua kembali kepada anda. Bagi yang tidak menyukai film sudah barang tentu sebagus apapun yang disajikan pasti tidak ada sisi baiknya karena bagi mereka menonton hanya sebuah kemubaziran. Sebaliknya bagi yang menyukai film, tetap berusaha menikmati dan mencari sisi baiknya. Saya sendiri termasuk kelompok yang kedua, tentunya dengan batasan-batasan menurut nilai-nilai yang saya anut. Sebagai penonton awam, saya hanya berharap semoga pada film-film berikutnya kualitas yang dipertontonkan semakin baik lagi sehingga film sebagai media dakwah juga tercapai (khabarnya novel “Ketika Cinta Bertasbih” yang juga ditulis kang Abik akan di-filmkan). Kang Abik sendiri dalam suatu kesempatan pernah menyampaikan ke saya bahwa dia ingin film Ayat-Ayat Cinta bisa menjadi trendsetter bagi industri perfilman dalam negeri. Sebuah harapan yang tidak berlebihan ditengah derasnya film-film mistis khurafat dan jenis film lainnya yang lebih mengedepankan hedonism.

Baca Lebih Lengkap Artikelnya....

Yang Terlupakan di Perbatasan Sebatik

SEBATIK – Kemiskinan masih saja melilit perbatasan Indonesia. Di Kecamatan Krayan, Sebatik, Kalimantan Timur, satu-satunya cara untuk keluar masuk dari wilayah ini hanya bisa dilakukan dengan transportasi udara. Pendapatan mereka bahkan 70 persen dialokasikan untuk transportasi. Hanya 30 persen saja untuk keperluan hidup sehari-hari. Ini yang menyebabkan, hingga kini, masyarakat sangat tergantung dengan subsidi transportasi dari pemerintah, baik pusat atau daerah. “Kondisinya memang tidak mudah. Terlebih sudah setahun ini pemerintah pusat menghapuskan subsidi transportasi. Kami yang kerepotan untuk menangani subdisi bagi mereka sekarang,” kata Bupati Nunukan Abdul Hafid Achmad, akhir pekan lalu di Nunukan. Kebutuhan transportasi bagi Kecamatan Kerayan memang sangat vital. Hanya dengan cara inilah, masyarakat bisa berinteraksi dengan sanak keluarga mereka di kecamatan lain di Sebatik seperti Kecamatan Nunukan, Kecamatan Sebatik, Kecamatan Kerayan Utara dan Selatan (pemekaran baru) dan Kecamatan Sebuku, Kecamatan Lumbis dan Kecamatan Sembakung. Yang lebih utama lagi, transportasi ini pula yang menghantarkan penduduk bisa melakukan aktivitas ekonominya.
Meskipun pemerintah sudah membangun jalan-jalan tembus di perbatasan kedua negara, tetapi itu belum memadai. Kurang lebih Rp 5-10 miliar dana subsidi dikucurkan pemerintah pusat, padahal seharusnya dana tersebut masih diperlukan dua kali lipatnya lagi atau kurang lebih Rp 20 miliar.
“Penduduk bertambah, begitu juga dengan kebutuhan sosial lainnya. Tapi pemerintah pusat beranggapan hanya akan memanjakan rakyat kalau terus memberikan subsidi,” paparnya. Sama dengan wilayah lain di Sebatik, untuk kebutuhan sembilan bahan pokok minus beras, lebih banyak didatangkan dari Malaysia. Meskipun begitu, beras yang diproduksi masyarakat lokal seringkali jatuh harganya ketika dijual di perbatasan. Beras per gantang atau 3,8 liter harusnya dihargai 20 ringgit, tetapi seringkali harganya turun menjadi 7-8 ringgit saja. Sarana transportasi memang menjadi masalah besar bagi wilayah yang naik daun ketika kasus Ambalat mencuat, baik di Kerayan atau Sebatik. Banyak pejabat yang silih berganti mengunjungi Ambalat. Nasionalisme seakan diukur dari pernah tidaknya kaki melangkah di tapal batas Desa Aji Kuning, Sebatik. Tapi situasi tidak banyak berubah sepeninggalan pejabat yang silih berganti datang. Jalan-jalan yang sudah dibangun masih berupa agregat. Selaput tipis aspal sudah koyak di sana sini. “Cukup menghibur rakyat bahwa jalan mereka pernah diaspal,” kata Herman Baco, penduduk setempat yang mengantar kami, rombongan dari Departemen Pertahanan (Dephan) yang melihat perbatasan itu beberapa waktu lalu. Sulitnya transportasi ini pula yang menyebabkan warga memilih transaksi dengan Malaysia, tepatnya dengan Tawau yang terletak di Sabah. Kakao, sawit, dan ikan serta kebutuhan lain lebih mudah didapatkan dari Malaysia dari pada di Tarakan. Ongkos transportasi pun jauh lebih murah. Cukup dengan waktu 20 menit ke Tawau dan membayar 10 ringgit atau setara dengan Rp 25.000 daripada harus menempuh dua jam ke Tarakan dengan biaya hampir Rp 100.000. “Kami belanja di Malaysia. Pagi berangkat dengan kapal sendiri, sore kembali ke sini. Dagangan terjual, pulang bisa bawa barang dagangan lain,” ujar Saedah, warga Aji Kuning. Ia biasa membawa pisang, kelapa, dan hasil bumi lain yang laku dijual di Malaysia. Paling tidak dua kali seminggu, ia ke luar negeri. “Tiap hari kita keluar masuk juga bisa. Jadi kami ini paling sering ke luar negeri,” ujarnya. Saedah yang asli Kediri ini sudah sejak 1989 tinggal di perbatasan tersebut. Selain itu, warga Sebatik juga biasa menjual hasil bumi secara overskip, dilakukan dari kapal ke kapal di tengah laut.

Pos Imigrasi
Pembangunan wilayah perbatasan memang tidak sepesat di daerah lain. Bila warga Malaysia memandang ke Sebatik, yang tampak hanya gelap yang pekat. Berbeda dengan pandangan dari Sebatik ke ujung Tawau di malam hari. “Kami hanya ingin pemerintah memberikan kami jalan dan dermaga. Itu sarana kami untuk bisa bertahan hidup dan memperbaiki kondisi ekonomi. Kalau jalan pun tidak punya, dermaga tidak ada, wilayah ini akan sangat sulit maju,” ujar Alimin, warga setempat. Ia juga berangan-angan, supaya dibangun pos imigrasi dan bea cukai di Sebatik. Cara ini menurutnya akan lebih ekonomis, dari pada harus ke Nunukan hanya untuk mendapatkan cap pos imigrasi. Tidaklah berlebihan keinginan Bupati Nunukan agar wilayah perbatasan mendapat perhatian khusus. Di Tawau yang hanya berjarak kurang lebih lima mil saja, infrastruktur berupa jalan, listrik, air bersih, pelabuhan, rumah sakit, sekolah, dan fasilitas lain yang lengkap dan memadai. Tidak berlebihan bila masyarakat Kerayan dan Sebatik membutuhkan jalan dan dermaga, tanpa fasilitas ini, harga semen di Kerayan tetap akan Rp 400.000 per sak dan harga gula serta beras yang mencapai Rp 10.000 dan Rp 15.000 per kilonya. Mereka yang terlupakan di ujung Indonesia, dan makin miskin karenanya.

"...Bagaimana tanggung jawab pemerintah dan pemda dalam mengatasi masalah ini. butuh ketulusan hati untuk membantu saudara kita yang jauh disana. semoga pemerintah pusat maupun daerah bisa membantu saudara kita..."

Baca Lebih Lengkap Artikelnya....

Sejarah Terbentuknya Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur

Kabupaten Nunukan adalah salah satu Kabupaten di provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di kota Nunukan. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 14.493 km² dan berpenduduk sebanyak 109.527 jiwa (2004). Motto Kabupaten Nunukan adalah "Penekindidebaya" yang artinya "Membangun Daerah" yang berasal dari bahasa suku Tidung. Nunukan juga adalah nama sebuah kecamatan di Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia.

Kabupaten Nunukan merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Bulungan, yang terbentuk berdasarkan pertimbangan luas wilyah, peningkatan pembangunan, dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Pemekaran Kabupaten bulungan ini di pelopori oleh RA Besing yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Bulungan.

Pada tahun 1999, pemerintah pusat memberlakukan otonomi daerah dengan didasari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Nah, dgn dasar inilah dilakukan pemekaran pada Kabupaten Bulungan menjadi 2 kabupaten baru lainnya yaitu Kabupaten Nunukan dan kabupaten Malinau.

Pemekaran Kabupaten ini secara hukum diatur dalam UU Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Barat, dan Kota Bontang pada tanggal 4 Oktober 1999. Dan dengan dasar UU Nomor 47 tahun 1999 tersebut Nunukan Resmi menjadi Kabupaten dengan dibantu 5 wilayah administratif yakni Kecamatan Lumbis, Sembakung, Nunukan, Sebatik dan Krayan.

Nunukan terletak pada 3° 30` 00" sampai 4° 24` 55" Lintang Utara dan 115° 22` 30" sampai 118° 44` 54" Bujur Timur.

Adapun batas Kabupaten Nunukan adalah:
- Utara; dengan negara Malaysia Timur, Sabah.
- Timur; dengan Laut Sulawesi.
- Selatan; dengan Kabupaten Bulungan dan Kabupaten Malinau.
- Barat; dengan Negara Malaysia Timur, Serawak

Kata Mutiara Hari Ini

Hidup bukan hidup, mati bukan juga mati, hidup adalah mati, mati adalah hidup, hidup bukan sekedar kematian, hidup adalah sensasi dari kematian, mati bukan sekedar kematian, mati adalah sensasi dari kehidupan, kematian dan kehidupan hanyalah sebuah sensasi dalam suasana ketidaknyataan....

Info Visitor