Selamat Datang di Blog Nunukan Zoners Community - Media Komunikasi Informasi Masyarakat Nunukan

Mimpi masa kini adalah kenyataan hari esok.

Anda bisa, jika Anda berpikir bisa, selama akal mengatakan bisa. Batasan apakah sesuatu masuk akal atau tidak, kita lihat saja orang lain, jika orang lain telah melakukannya atau telah mencapai impiannya, maka impian tersebut adalah masuk akal.

Menuliskan tujuan akan sangat membantu dalam menjaga alasan melakukan sesuatu.

Sabtu, 28 Februari 2009

Trans-Kalimantan, Dilema Sebuah Jalan

Trans-Kalimantan, Dilema Sebuah Jalan
Jumat, 27 Februari 2009 | 04:14 WIB

Oleh : Ahmad Arif dan Haryo Damardono

Nunukan Zoners dan Kompas : Sungai adalah sejarah Kalimantan yang ditinggalkan. Dan jalan darat menjadi tumpuan untuk masa depan. Menyusuri jarak 3.195 kilometer, perjalanan ini adalah untuk melongok masa depan itu. Masa depan yang awalnya dirajut oleh perusahaan kayu dengan menghancurkan hutan hujan tropis ini menyisakan jejak jalan yang mengular. Itulah jalan trans-Kalimantan. Dari Kampung Sungai Ular, titik darat terujung di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, yang berbatasan dengan Negara Bagian Sabah, Malaysia, perjalanan menjelajahi trans-Kalimantan poros selatan dimulai, Kamis (5/2). Di beranda negeri itu, kami bertemu keluarga Solle (35) di rumahnya yang dikepung kebun sawit milik pengusaha Malaysia, perkebunan yang disemai di lahan bekas hutan yang dibabat lima tahun lalu. Di depan rumah itu terpancang dua pengumuman, papan kecil menyebutkan tanah itu milik Solle, sedangkan yang lebih besar menyebutkan tanah itu milik perusahaan sawit.”Tiga hari lalu bayi saya lahir. Saya sendirian membantu kelahiran. Tak ada bidan di sini,” kata Solle yang memotong sendiri tali plasenta bayinya. Kota terdekat adalah Nunukan yang harus ditempuh dengan perahu selama lebih dari satu jam dan berbiaya sewa Rp 1 juta. Atau, tujuh jam bermobil menuju Kota Malinau melalui jalan hancur yang hanya bisa ditempuh oleh mobil gardan ganda. Keterisolasian identik dengan desa-desa yang berdekatan dengan Sungai Ular, seperti Kanduangan dan Simanggaris. Sulitnya akses membuat mahal harga barang. Warga bergantung pada pasokan barang dari Sabah yang jaraknya lebih dekat. Melewati jalan mirip kubangan kerbau, kami tiba di ibu kota Kabupaten Malinau. Kemegahan kantor bupati dan gedung DPRD kontras dengan rumah-rumah warga yang lapuk. Gedung pemerintahan yang megah, seperti di Malinau, merupakan pemandangan yang selalu dijumpai di sepanjang jalan hingga ke Kalimantan Barat. Kami melintasi jalan baru itu. Lapang dan mulus, berujung persis di depan Kantor Bupati Malinau. Selebihnya, perjalanan menuju Tanjung Redeb, Kabupaten Berau, harus melalui jalan tanah yang hancur. Pada sebuah bukit, malam terang bulan. Saiful (29), sopir truk pengangkut bibit karet dari Banjarmasin, bergelut dengan lumpur yang menjebak roda truknya. Seminggu di jalan telah mematikan separuh bibit karet yang dibawanya, menguras tenaga dan uangnya. Jalan itu menjadi kuburan bagi truk-truk. Itulah akar masalah dari mandeknya ekonomi rakyat di pedalaman, melambungnya harga kebutuhan bahan pokok, dan membuat warga tak bisa menjual hasil bumi. Di jalan berlumpur itu, kami berpapasan dengan konvoi truk tangki minyak sawit mentah (CPO). Badan truk itu juga memenuhi jalan yang lebarnya hanya 4,5 meter. Konvoi dikawal alat berat milik perusahaan sawit untuk mengeluarkan salah satu truk tangki yang terjebak di lumpur. Dua personel tentara mengawal konvoi itu, meminta kendaraan lain menepi. ”Alat-alat berat dan tentara itu hanya peduli pada kelancaran lalu lintas truk tangki CPO,” kata Khaeruddin, pengendara kendaraan pribadi yang sudah semalaman terjebak di jalan, sekitar 47 km dari Tanjung Redeb. ”Sepekan ini sedikitnya 370 kendaraan juga tertahan di sini karena terhalang truk sawit yang terperosok. Ada yang telah tertahan seminggu,” katanya. Memasuki Bontang menjelang dini hari. Kota yang dibangun tambang gas itu menyala terang. Namun, nyala cahaya hanya seputaran kota. Begitu ke pinggir kota, rumah-rumah warga kembali dibekap gelap. Kota-kota di Kalimantan defisit listrik. Kegelapan meraja hingga kami tiba di Samarinda, ibu kota Kalimantan Timur. Kami memasuki Kalimantan Selatan dari arah Batulicin saat senja. Pekerja proyek perbaikan jalan berpacu dengan truk-truk pengangkut batu bara dan truk raksasa pengangkut alat berat perusahaan tambang.

Dari kayu ke sawit
Siang itu terik, Nanyang (45) berjalan di tepi jalan sambil menutup mulut dan hidungnya dengan kedua tangan dari debu yang beterbangan ketika mobil melintas jalan trans-Kalimantan di Kabupaten Lamandau, Kalteng. Dia berjalan pulang dari ladang. Tangkin—tas khas Dayak yang diikatkan pada kepala—dipenuhi sayuran dan umbi talas.
Sepanjang hidup, Nanyang tak pernah naik mobil. Dia adalah petani yang bepergian dengan jalan kaki atau naik perahu ke kampung-kampung tetangga. Jalan darat itu bukan milik dia. Begitu sejak dulu. Berpuluh tahun dia menjadi saksi alat-alat berat dan truk yang lewat di depan rumahnya menuju hutan adat yang sudah diserahkan negara kepada pengusaha kayu. Truk-truk itu membawa pergi kayu-kayu melalui jalan itu, meninggalkan semak dan ladang kosong menghampar. Meninggalkan sungai yang kini mengering dan keruh. Sungai yang ditinggalkan adalah sejarah yang dicampakkan. Jalan darat bagi masyarakat Kalimantan pada masa lalu hanyalah batang kayu bertumbangan. Jalan darat yang dapat dilalui mobil baru dibangun di Kalimantan oleh perusahaan kayu pemegang izin hak pengusahaan hutan (HPH) pada dekade 1970-an. Izin HPH pertama diperoleh perusahaan Amerika, Weyerhaeuser dan Georgia-Pacific, yang lantas berkolaborasi dengan pengusaha nasional yang ditunjuk rezim Orde Baru. Lahirlah raja-raja kayu yang mengukir jejak jalan kayu (log) di bumi Kalimantan. Sedikitnya 75 persen bekas jalan jalan kayu itu kini menjadi jalan trans-Kalimantan poros selatan yang memanjang dari Sungai Ular, Nunukan, hingga Aruk, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, yang kami capai pada Rabu (18/2). (FUL/CAS/BRO/WHY)

Baca Lebih Lengkap Artikelnya....

Kenali Caleg, Jangan Beli Kucing dalam Karung!

Kenali Caleg, Jangan Beli Kucing dalam Karung!
Sabtu, 28 Februari 2009
Laporan wartawan Inggried Dwi Wedhaswary

Nunukan Zoners Jakarta— Banyaknya partai peserta pemilu dan melimpahnya jumlah caleg yang berlaga dipastikan akan membingungkan masyarakat pemilih. Sejumlah pengamat meragukan, para pemilih akan mengenal caleg, apalagi sampai mengetahui kualitasnya. Hati-hati memilih caleg, jangan sampai beli kucing dalam karung! Sekjen Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang mengatakan, masyarakat harus proaktif mengenali calegnya. "Sekarang ini ada keprihatinan terhadap kualitas caleg. Banyaknya caleg, membuat masyarakat gamang menentukan pilihan. Masyarakat bisa proaktif, membuat komunitas pemilih di level kecil," ujar Sebastian, Sabtu (28/2) di Jakarta. Dengan komunitas kecil tersebut, masyarakat bisa membuat kriteria caleg yang akan dipilih sehingga bisa melakukan seleksi terhadap calon yang ada pada hari pemungutan suara. "Pilihan harus dibuat pertimbangan jauh-jauh hari. Kalau baru menentukan pilihan pada hari pemungutan, saya yakin tidak akan mendapatkan calon yang berkualitas. Setelah itu, buat kontrak politik dengan caleg," ujarnya. Sebastian juga prihatin dengan banyaknya caleg yang masih 'hijau' di dunia politik, dipaksakan maju demi memenuhi kuota pencalonan. Akibatnya, kata dia, proses seleksi caleg ibarat membeli cabai di pasar. "Jadi caleg itu sama saja dengan tawar-menawar cabai di pasar. Pas tawarannya, bungkus. Ketemu orang, ditawarin. Ini persoalannya," kata Sebastian.

Baca Lebih Lengkap Artikelnya....

Kumpulkan Kepala Daerah, TNI Bahas Isu Binter di Bali

Kumpulkan Kepala Daerah,
TNI Bahas Isu Binter di Bali


Nunukan Zoners Denpasar - TNI akan menggelar seminar nasional tentang pembinaan teritorial (Binter) untuk mencari konsep dan gagasan baru terkait hal tersebut. TNI juga akan mempertegas sikap netralitasnya dalam pemilu 2009 kepada rakyat. Seminar ini bakal dihadiri seluruh kepala daerah mulai dari gubernur hingga bupati/walikota di seluruh tanah air yang diundang Mabes TNI di Universitas Udayana, Denpasar, pada 26 Februari 2009. Seminar itu bertema 'Pemberdayaan Wilayah Pertahanan Melalui Pembinaan Teritorial Bersama Seluruh Komponen Bangsa dalam Rangka Mendukung Kepentingan Nasional'. Hal ini disampaikan Panglima Kodam IX/Udayana Mayjen Hotmangaradja Pandjaitan dalam jumpa pers di Makodam, Jl Udayana, Denpasar, Selasa (24/2/2009). TNI juga menyatakan siap menerima usulan, dan konsep baru perihal pemninaan teritorial. "Pada masa lalu konsep binter digunakan untuk kepentingan pemerintah," katanya. Ia menegaskan bahwa TNI akan bersikap netral pada pemilu 2009. "Kita juga akan mempertegas komitmen netralitas TNI tidak terlibat politik praktis," kata Pangdam. Pangdam juga menegaskan, bila kegiatan mengundang seluruh kepala daerah itu terkait penyelenggaraan Pemilu 2009. Pasalnya, seminar ini sudah dijadwalkan beberapa bulan sebelumnya oleh Mabes TNI. Mabes TNI menggandeng Universitas Udayana, hal ini terlihat dari penggunaan Kampus Unud di Jimbaran, Badung, sebagai tempat penyelenggaraan seminar itu. Rektor Unud Prof Dr I Made Bakta menyatakan akademisi punya kewajiban moral dalam konsep pembinaan teritorial untuk membantu membangun pertahanan nasional, terutama menyangkut pemberdayaan masyarakat madani. Kepala Staf TNI AD Jenderal Agustadi Sasongko akan menjadi pembicara kunci dalam seminar itu serta dari kalangan akademisi. (gds/ndr)

Baca Lebih Lengkap Artikelnya....

Pemain Illegal di Perbatasan Dilibas


Pemain Illegal di Perbatasan Dilibas
Sabtu, 11 Oktober 2008 10:02

Pasukan pengaman perbatasan (Pamtas) berkolaborasi dengan Kesatuan Operasi Daerah Militer (Kodim) 0911 Nunukan, gencarkan operasi penertiban oknum Warga Negara Indonesia (WNI) melakukan pelanggaran lintas batas. Daerah perbatasan Nunukan (Indonesia) – Tawau (Malaysia) tak bisa dipungkiri menjadi ladang ekonomi menguntungkan untuk perdagangan barang maupun manusia secara illegal. Tidak sedikit pelaku penyelundupan yang tiap hari mengeruk keuntungan dengan cara memperdayai situasi di garis batas negara tersebut. Nah, setelah beberapa dekade berselang kehadiran Pamtas di Nunukan tidak terdengar, kali ini benar-benar merupakan terobosan baru dan mengejutkan. Apalagi memang masih banyak pemain illegal yang berkeliaran di kawasan itu.Penangkapan oleh Pamtas sekaligus membuktikan bahwa tudingan adanya permainan antara oknum TNI dengan pemain illegal perbatasan adalah tidak benar. Dari catatan BONGKAR!, baru dua kesatuan Pamtas dan Dandim yang kompak menerapkan ketegasan terhadap sejumlah oknum pemain illegal di wilayah perbatasan RI-Malaysia, distrik Nunukan. Yaitu, Pamtas TNI asal Kalsel yang di pimpin Letkol Infantri Teguh bersama Dandim 0911 yang dipimpin Letkol Infanti Budi Lukito serta Pamtas dan Dandim yang sekarang sedang bartugas, masing-masing dipimpin Letkol Infatri J Robert Giri dan Letkol Infantri Basri. Era pimpinan Teguh dan Budi Lukito, sejumlah kasus penangkapan illegal logging berhasil ditangani, sedangkan dua pimpinan TNI sekarang lebih agresif lagi sebab belum genap berusia enam bulan menduduki jabatan di perbatasan RI-Malaysia tercatat sudah empat kali penangkapan dan pemeriksaan kapal yang bermuatan barang-barang illegal milik pengusaha Nunukan dari dan tujuan Tawau, Malaysia bahagian Sabah. Tangkapan terakhir adalah penyelundupan BBM asal Serudong, Malaysia, melalaui darat di wilayah Desa Kanduangan, Nunukan Barat. Dalam operasi tersebut, Pamtas berhasil mengamankan barang bukti berupa minyak solar sebanyak 10 ton lebih atau sekitar 21 drum dan satu tangki penimbunan berkapasitas 6 ton berhasil diamankan TNI. “Kami berharap polisi bisa mengembangkan penyelidikan terhadap pelaku lainnya yang belum tertangkap,” ujar Danpamtas, Robert Giri. Dandim 0911 Nunukan Letkol Infantri Basri, mengungkapkan sudah saatnya seluruh aparat termasuk TNI menegakkan aturan yang benar di wilayah perbatasan RI-Malaysia tersebut tanpa pandang bulu. Pasalanya, menurut Parajurit kelahiran Makassar yang sukses bertugas di perbatasan RI-Malaysia, Sambas Kalbar ini mengaku sudah menerima laporan bahwa praktek penyelundupan barang-barang illegal di Nunukan termasuk daerah paling rawan diantara beberapa garis perbatasan lainnya. Dia juga mengungkapkan kondisi itu tercipta sebab tidak tegasnya aturan di laksanakan dan terdapat oknum aparat dan pemerintah bekerja sama dengan para pemain illegal di daerah itu. Ungkapan itu bukan tanpa alasan, sebab menurut Basri, paska penangkapan sejumlah kapal bermuatan barang-barang illegal, terdapat oknum pejabat Pemkab dan DPRD serta pemilik kapal yang mencoba membujuk atur damai dengan iming-imingan konpensasi uang kepada anggota TNI. “Tetapi saya tegaskan bawah jika ingin tidur nyenyak dalam berbisnis ikuti aturan yang berlaku dan jangan terbiasa melakukan pendekatan negatif ke aparat,” terang Basri. Dia juga mengindikasikan jika sejumlah lembaga dan oknum aparat lain terkait yang bertugas di Nunukan selama ini melakuan permainan dengan para pemain illegal. Sehingga penyelundupan barang dan jasa di wilayah perbatasan itu bisa bertahan dan tumbuh subur selama ini. Pengalaman dalam menindak para pelaku illegal, menurut Basri, para pelaku juga kerap menjual nama bupati dalam untuk meloloskan barang illegal. Salah satu contoh yang disebutkan Basri adalah tangkapan kapal yang memuat ratusan sak gula illegal milik HG. “Beberapa kali menemui kami agar barangnya dilepas dengan alasan sudah minta izin ke Bupati Nunukan. Saya bilang saya tidak perduli siapapun orang yang melanggar, kami tindak sesuai prosedur hukum,” terang Basri. Karena tindakan tegas Pamtas dan Kodim tersebut, tak ayal para pemain illegal menjadi ciut dan tak bisa berkutik. Berbagai isu untuk mempengaruhi psikologis masyarakat agar mendapat dukungan pun dilancarkan, salah satu isu yang dibangun para pemain illegal adalah mengkampanyekan kelangkaan barang sembako karena TNI gencar menangkap kapal barang pedangang. “Tapi itu isu yang dibuat-buat sebab keadaan sembako selama penangkapan tetap stabil,” tabah Basri. Barang-barang selundupan itu diperangi aparat TNI di lapangan, sebab selain merusak harga barang Sembako lokal, para pedagang ini juga tidak membayar pajak resmi kepada daerah, sehingga menurut TNI tindakan tersebut telah melanggar hukum dan sebagai pasukan penjaga perbatasan operasi penangkapan yang dilakukan masuk dalam aturan 14 kewenangan TNI, sesuai UU TNI tahun 2004 tentang penahanan di jalur perbatasan, diantaranya adalah mencegah dan menertibkan perdagangan lintas batas yang tidak resmi alias merugikan negara dan masyarakat. *sakir

Baca Lebih Lengkap Artikelnya....

LETKOL INF DRS. BASRI menjadi DANDIM 0911/NNK

LETKOL INF DRS. BASRI MENJADI DANDIM 0911/NNK
Oleh : Genaria Pandjaitan

03-Jul-2008, 05:51:04WIB


Nunukan Zoners : Bukan waktu yang pendek menjadi Komandan Kodim 0911/NNK selama 3 tahun. Itulah yang dirasakan Letkol Inf Taufik Budilukito, selama menjabat sebagai komandan sejak Kodim berdiri di Nunukan. Dalam pisah sambut Dandim 0911/NNK, Selasa (1/7) malam, ia didampingi istrinya Lely Taufik naik ke atas panggung menyampaikan pesan dan kesannya selama menjadi Dandim Nunukan. “Di samping tugas-tugas selaku pembina komandan kewilayahan, kami juga mendapat tugas tambahan, yakni pengamanan perbatasan”, kata Dandim. Pengamanan perbatasan tersebut dilakukan dengan peninjauan ke daerah perbatasan. Baik melalui laut dan udara menggunakan heli. “Pernah suatu saat bulan puasa hari pertama, saya diperintahkan untuk meninjau perbatasan bersama Danyon. Selama 3 hari berturut-turut naik heli, lama kelamaan jadi takut. Mungkin kalau saya tidak jadi Dandim di Nunukan, saya tidak pernah naik heli”, selorohnya. Pagi kemarin berangkat ke Jakarta dan bertugas di Mabes TNI Jakarta Sementara itu, Letkol Inf Drs. Basri yang menggantikan Taufik menjabat Dandim di Nunukan, menceritakan perjalanan tugasnya selama menjadi TNI AD. “Sebelum disini, saya lumayan lama keliling Kalimantan. Tahun 2004 saya bertugas di Balikpapan selama 2,5 tahun dan dilanjutkan menjadi Danyon yang harus menjaga perbatasan Kalimantan Barat sejauh 987 kilometer”, ungkap Letkol Inf Drs. Basri. Alumni Akmil 1989 ini juga mengaku tidak betah berada di belakang meja. “Selama jadi Danyon, saya duduk di meja kalau tanda tangan saja. Selebihnya tinjau perbatasan”, katanya yang sering diprotes dua putrinya, gara-gara 6 kali pindah tugas. Acara ini dihadiri oleh Wabup Kasmir Foret, Sekkab Zainuddin HZ, Ketua DPRD Ngatidjan Achmadi, pimpinan unsur Muspida dan vertikal, anggota TNI AD, serta pensiunan TNI AD Nunukan. (Pendam 6/Dispenad/Gnr)

Baca Lebih Lengkap Artikelnya....

Kodim 0911/Nnk Laksanakan Bhakti TNI Terpadu

Ditulis Oleh Penerangan Kodam VI/Tanjungpura
Selasa, 18 November 2008
Nunukan Zoners (18/11), Komandan Kodim (Dandim) 0911/Nnk Letnan Kolonel Inf Drs. Basri membuka kegiatan Bhakti TNI terpadu yang berlangsung di Desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Barat, Kabupaten Nunukan, Kaltim, Senin (17/11). Kegiatan Bhakti TNI terpadu yang dilaksanakan oleh anggota Kodim 0911/Nunukan tersebut akan berlangsung selama satu bulan hingga tanggal 16 Desember mendatang. Dalam sambutan, Dandim 0911/NNK Letkol Inf Drs Basri mengungkapkan, kegiatan ini lebih bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan membantu meringankan beban masyarakat Sebatik khususnya yang berada di perbatasan. Dandim juga mengatakan, sebagai bagian dari komponen bangsa, TNI menyadari kondisi kemampuan anggaran pemerintah untuk membangun daerah secara merata dan menyeluruh. Sehingga perlu dicarikan solusi untuk mengatasinya. “Salah satunya yang dinilai masih efektif dan efisien, melalui program Bhakti TNI Terpadu ini,” ujarnya. Kegiatannya Bhakti TNI ini Untuk Mendukung program pemerintah daerah guna mempercepat akselerasi pembangunan sarana dan prasarana, Selain melaksanakan kegiatan Bhakti TNI dalam bentuk fisik serta non fisik, Kodim Nunukan juga menyerahkan bantuan berupa, 3 unit mesin genset berkapasitas 50 KVA. Kegiatan Bhakti TNI fisik oleh anggota Kodim 0911/Nunukan Yakni pembuatan badan jalan 6 x 1000 meter, pembuatan 3 jembatan berkonstruksi kayu berukuran 4 x 6 meter, pembangunan 3 unit rumah genset berukuran 2 x 3 meter dan pemasangan instalasi listrik. Sedangkan program Bhakti TNI nonfisik, dititikberatkan pada penyuluhan bela negara dan wawasan kebangsaan, penyuluhan kenakalan remaja, narkoba dan kamtibmas, Kedepannya, Kodim 0911/NNK berencana akan bekerja sama dengan Polres Nunukan, muspika setempat dan Dinas Kesehatan (Dinkes) Nunukan dalam pembinaan kepramukaan, penyuluhan pertanian dan pemutaran film perjuangan untuk masyarakat Aji Kuning, serta pengobatan gratis yang ditempatkan di posko Kodim di Aji Kuning. (Penerangan Kodam VI/Tpr)

Baca Lebih Lengkap Artikelnya....

Kamis, 26 Februari 2009

Pemerintah Bangun Fasilitas Perikanan di Sebatik

Pemerintah Bangun Fasilitas Perikanan di Sebatik
Written by widodo
Rabu, 18 Pebruari 2009

Nunukan Zoners Tarakan, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menyiapkan pembangunan berbagai fasilitas pendukung sektor perikanan di Sebatik, Kalimantan Timur. Garis batas perairan di dekat Sebatik sempat diributkan pemerintah Indonesia dan Malaysia beberapa waktu silam. "Keinginan DKP itu supaya ikan-ikan hasil tangkapan nelayan kita didaratkan di Sebatik bukan di Tawao," kata Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP), Aji Sularso, pada dialog bersama nelayan dan berbagai instansi pemerintahan terkait pukat hela di Tarakan, Kalimantan Timur, Rabu (18/2) Ia mengatakan DKP akan membantu Pemda setempat untuk memajukan Sebatik mendirikan Tempat Pendaratan Ikan (TPI), Pos Penjagaan bersama DKP, TNI AL, dan Polri, menempatkan kapal pengawas di perbatasan perairan Sebatik dan Tawao, Malaysia. "Kalau perlu saya akan membantu menyampaikan permintaan pembangunan 'coolstorage' ke Dirjen Perikanan Tangkap supaya tidak langsung di bawa ke Tawao," ujar dia. Tidak adanya "coolstorage" di Sebatik membuat nelayan di sekitar Nunukan dan Sebatik menjual hasil tangkapannya ke Tawao tanpa proses pengolahan dan tanpa didaratkan di pelabuhan Indonesia.Karena itu lah DKP tidak pernah memiliki data produksi perikanan di wilayah tersebut, ujar dia. "Sambil menunggu peraturan (pukat hela) selesai, sementara tolong (ikan) didaratkan di pelabuhan yang belum jadi dulu. Jadi ini juga bisa mempercepat permohonan 'coolstorage' dipenuhi," tambah Aji. Sementara itu, Kasubdit Prasarana Pengawasan Direktorat Sarana dan Prasarana Pengawasan P2SDKP, Gatot Rudiyono mengatakan, keinginan DKP sendiri sebenarnya bertahap membangun sektor perikanan di Sebatik untuk mengimbangi Tawao. "Ada pengepul-pengepul ikan yang mengambil dari nelayan kita di Sebatik untuk dikirim ke Tawao langsung. Karena itu Pak Dirjen (Aji Sularso) inginnya ada unit pengolahan ikan di sana," ujar Gatot. Sementara itu, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Nunukan Yusuf mengatakan, kendala terbesar untuk mengembangkan perikanan di Sebatik adalah daya listrik. "Kalau membangun 'coolstorage' saja mungkin Pemda masih mampu, tapi permasalahannya adalah listrik. Tidak cukup daya untuk bisa menyokong 'coolstorage'," tambah dia. (ant)

Baca Lebih Lengkap Artikelnya....

Pulau Sebatik Minta Otoritas Khusus

Pembangunan Daerah Perbatasan Tertinggal Jauh
Pulau Sebatik Minta Otoritas Khusus

Nunukan Zoners Sebatik Untunglah, hujan segera berlalu dari Pulau Sebatik. Satu per satu, malam itu, Sabtu (16/8), penduduk kembali memadati kafe terbuka di Desa Sungai Nyamuk. Mereka duduk berbaris, menghadapi layar besar yang tengah menyiarkan pertandingan bulu tangkis dari ajang Olimpiade. Pemain ganda putra Indonesia Markis Kido/Hendra Setiawan tengah berjuang melawan pasangan Cina Cai Yun/ Fu Haifeng di partai final. Sorak-sorai membahana ketika Markis/Hendra mengakhiri pertandingan dengan kemenangan. Menyaksikan kemenangan itu di Pulau Sebatik memunculkan perasaan bangga yang lebih kuat dari biasanya. Itu pula yang dirasakan Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga (Menegpora) Adhyaksa M. Dault. "Begitu menang, saya langsung sujud syukur," ujarnya. Malam tujuh belas Agustus itu, sang Menteri memang tengah menginap di pulau Sebatik. Sebab, keesokan harinya, ia menjadi inspektur upacara peringatan Hari Kemerdekaan di desa itu. Dalam orasinya, kemenangan itu ia kabarkan kepada peserta upacara. "Semangat bela negara harus terus muncul di dalam sanubari kita. Selanjutnya, saya berharap agar jangan ada sejengkal tanah pun hilang dari negeri kita," katanya. Kehadiran menteri di tengah-tengah masyarakat Sebatik bukan tanpa alasan. Deputi I Pemberdayaan Pemuda Kemenegpora Sakhyan Asmara mengatakan, kunjungan tersebut ditujukan untuk menyebarkan semangat cinta tanah air kepada masyarakat setempat, khususnya para pemuda. "Ini pertama dalam sejarah. Seorang menteri menjadi inspektur upacara di perbatasan negara, khususnya Pulau Sebatik." Adhyaksa tiba di Pulau Sebatik, Sabtu (16/8) sore. Ia bersama Wakil Komandan Jenderal Pasukan Khusus TNI AD Brigjen TNI Wisnu Bawa Tenaya, dan rombongan menumpang helikopter Super Puma milik TNI AU. Dari sana, sang menteri meninjau Pos III perbatasan Indonesia-Malaysia di Desa Aji Kuning dan Pos I TNI AL di Desa Sungai Pancang. Malam harinya, ia berdialog dengan masyarakat setempat di Hotel Queen. Pulau Sebatik berada di bagian utara Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negeri Sabah Malaysia. Yang menarik, status kepemilikan pulau itu pun terbagi dua. Wilayah utara pulau itu, seluas 187,23 km2, menjadi milik Malaysia. Sementara, wilayah seluas 246, 61 km2, di selatan, milik Indonesia. Di Desa Aji Kuning, sedikitnya terdapat 300 kepala keluarga yang berada tepat di garis perbatasan Indonesia-Malaysia. "Bahkan, ada rumah warga yang berlokasi tepat di garis perbatasan. Jadi, ruang tamunya masuk wilayah Indonesia sedangkan dapurnya ada di Malaysia," kata Camat Sebatik, Asmar, kepada "PR", Sabtu (16/8) malam. Masyarakat setempat memiliki cerita sendiri soal terbaginya status kepemilikan pulau itu. "Dulu, Sebatik --termasuk sebagian pulau Kalimantan dan Tawau (negeri Sabah)-- adalah milik Kerajaan Bulungan. Nah, ceritanya, Raja Bulungan kalah berjudi sehingga harus menyerahkan setengah Pulau Sebatik kepada lawannya," ujarnya. Sebatik milik Indonesia dibagi menjadi dua kecamatan, Sebatik dan Sebatik Barat, dan secara administratif masuk ke wilayah Kab. Nunukan Kalimantan Timur. Jumlah penduduk mencapai 30.000 jiwa, mayoritas berasal dari suku Bugis. Yang menarik, secara ekonomi, masyarakat Pulau Sebatik sangat bergantung kepada Malaysia, khususnya ke Tawau. Hampir semua komoditas yang dihasilkan masyarakat, seperti ikan, sawit, dan cokelat, dijual ke negeri jiran itu. Masyarakat Sebatik pun membeli aneka kebutuhan sehari-hari dari Tawau. Tak heran jika ada dua mata uang yang beredar di sana, yakni rupiah dan ringgit. "Tetapi, kami lebih suka menggunakan ringgit. Nilainya lebih banyak," ujar Budi Witikno (13), pelajar kelas 1 SMP di Sungai Nyamuk, Minggu (17/8). Secara geografis, Pulau Sebatik memang lebih dekat ke Tawau. Perjalanan ke Tawau hanya membutuhkan waktu 15 menit menggunakan speed boat 60 PK. Ongkosnya 15 ringgit (setara Rp 45.000,00). Sementara, perjalanan ke pulau Nunukan membutuhkan waktu 1,5 jam. Ongkosnya pun lebih dari Rp 100.000,00.

**
PULAU Sebatik adalah pintu gerbang Indonesia di Kalimantan. Tak heran, jika kemudian, isu internasional dari sana sering dimunculkan "Jakarta" yang mengakibatkan hubungan Indonesia-Malaysia memanas. Akan tetapi, uniknya, masyarakat Sebatik dan Tawau tak terpengaruh. Mereka tetap menjalin hubungan yang harmonis. Mengapa demikian? Sebagian penduduk Sebatik dan Tawau ternyata masih bersaudara. Mereka berasal dari Bugis. Sebagai ilustrasi, Minggu (17/8), "PR" berbincang dengan Rufaidah (31), penumpang speed boat dari Tawau. "PR" sempat menduga bahwa dia pulang berbelanja. Tetapi, ia mengatakan, pulang dari pernikahan sepupu. Setidaknya, ada empat kasus yang "memaksa" pemerintah mulai memberikan perhatian lebih buat Pulau Sebatik, yakni sengketa kepemilikan pulau Sipadan-Ligitan (2002), eksodus ratusan ribu tenaga kerja, sengketa blok Ambalat (2005), dan Asykar Wataniah (2007). Sejumlah pejabat negara, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pernah berkunjung ke pulau tersebut. Kendati demikian, hingga kini, masyarakat masih merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah. "Kami mengusulkan agar Sebatik diberikan otoritas khusus, seperti Batam, pada tahun 2010. Hanya dengan itu, kami rasa, Sebatik bisa maju," kata Abdul Latif (40), tokoh masyarakat. Harapan lain yang hingga kini belum dipenuhi pemerintah adalah pembangunan tempat pelelangan ikan (TPI). Buat masyarakat Sebatik, keberadaan TPI sangat mendesak. "Sehingga kami tak perlu lagi menjual ikan ke Tawau. Sekarang, kami terpaksa menjual ikan ke Tawau seharga 7 ringgit per kilogram. Tetapi, yang membeli ikan-ikan itu, ya orang Sebatik juga. Harganya sudah 10 ringgit per kilogram," kata Abdullah Jamal (48), penduduk Desa Sungai Nyamuk. Sejumlah masyarakat mengaku iri dengan pencapaian pembangunan di Tawau. Jika malam tiba, mereka menyaksikan Kota Tawau yang bermandikan cahaya. Gedung-gedung menjulang tinggi. Sedangkan masyarakat Sebatik hanya mendapat jatah penerangan listrik dua hari sekali. Sebatik pun tak memiliki jaringan air bersih. Mereka mengandalkan curahan air hujan. Selain itu, banyak lagi soal yang mendera Sebatik. Ruas-ruas jalan yang rusak, keberadaan rumah sakit, pelabuhan yang representatif, sekolah, dan sebagainya.

**

KETIKA berkunjung ke pulau itu, Adhyaksa merasakan betul derita masyarakat. Tapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali berharap. "Sekarang, kita melihat Tawau bersinar. Nanti, 5 tahun lagi, harapan saya, Tawaulah yang melihat kita. Mereka akan silau melihat Sebatik," ujar sang menteri sambil menikmati kilauan sinar Kota Tawau di seberang, Sabtu (16/8) petang. (Hazmirullah/"PR")***

Baca Lebih Lengkap Artikelnya....

Kejar Perempuan Sampai Tawau

Kejar Perempuan Sampai Tawau
Rabu, 17 Desember 2008 12:06

Dua oknum polisi AKP Muhammad Arief Fanani dan Brigpol Yusuf membantah menerima suap dari pejabat Dinas Pekerjaan Umum (PU) Nunukan maupun kontraktor. Jajaran Polda Kaltim benar-benar merasa terpukul. Disaat semua instansi penegak hukum menyelenggarakan hari antikorupsi sedunia 9 Desember lalu, surat kabar malah menurunkan berita adanya dua oknum polisi Satuan Tipikor Polda Kaltim diduga menerima suap dari pejabat Dinas PU Nunukan. Kedua polisi itu diberitakan menyebrang ke Tawau Malaysia ketika ditugaskan atasannya untuk menyelidiki beberapa kasus proyek di lingkungan Dinas PU Nunukan. Dua penyidik Satuan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Direktorat Reserse dan Kriminal (Reskrim) Polda Kaltim diduga menerima suap dari Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Nunukan Abdul Azis Muhammadiyah. Kasusnya saat ini ditangani Bidang Profesi dan Pengamanan Internal (Propam) Polda Kaltim, yang telah menetapkan dua penyidik Tipikor tersebut sebagai tersangka. "Kedua penyidik itu sudah diperiksa, namun mereka membantah,” kata Kombes Pol Yoyok Subagio, Kabid Propam Polda Kaltim. Tetapi ia mengaku sudah punya bukti yang mengarah ke unsur suap itu. Diceritakan, AKP M Arief Fanani dan Brigpol Yusuf berangkat ke Nunukan pada 2 November 2008, untuk memulai penyelidikan dugaan korupsi pada sejumlah proyek pembangunan jalan di Nunukan. Data awalnya adalah hasil temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan laporan dari Nusantara Corruption Watch (NCW).Dari pemeriksaan petugas Propam, kata Yoyok, kedua penyidik berangkat ke Tawau Malaysia pada tanggal 7 – 10 November. Pada waktu di luar negeri itu diduga kedua oknum polisi menerima suap. ”Kami masih mendalami kasus ini dengan mencari tambahan bukti. Dalam waktu dekat kami ke Nunukan,” kata Yoyok yang dilansir sebuah koran harian di Kaltim. Dalam penanganan kasus ini, Propam juga meminta bantuan Polres Nunukan untuk meminta keterangan tiga pejabat Dinas PU dan rekanannya dalam proyek. Ketiga pejabat Dinas PU tersebut adalah Ketua Dinas PU Abdul Azis Muhammadiyah, Kasubdin Bina Marga Khotaman dan Kasubdin Pengairan Sofyang. Sementara AKP Muhammad Arief Fanani sendiri membantah tudingan yang sempat berkembang di masyarakat bahwa ia menerima suap dari Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Nunukan Abdul Azis Muhammadiyah. ”Itu tidak benar, kami tidak pernah menerima apapun, baik dari Dinas PU ataupun kontraktor," kata Fanani, seperti dilansir sebuah koran harian. Pada tanggal 2 November, cerita Fanani, ia bersama Brigpol Yusuf berangkat untuk menyelidiki dugaan korupsi pada proyek pembangunan jalan, menindaklanjuti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Di samping itu ada juga pengaduan dari Nusantara Corruption Watch (NCW) dan Indonesia Crisis Center (ICC) ke Polda Kaltim. Temuan BPK – seperti sudah dilansir di website www.bpk.go.id menyebutkan ada potensi kerugian negara dalam proyek pembangunan jalan di Nunukan, karena Panitia Lelang menetapkan ekskalasi (perubahan harga) yang tidak sesuai dengan ekskalasi harga yang telah dipatok pemerintah pusat. Menurut Fanani ia sudah mencek dan ternyata para kontraktor yang disebut menerima kelebihan pembayaran akibat adanya eskalasi itu sudah mengembalikan ke kas daerah. Sayangnya Fanani tidak menjelaskan apa soal mencek pengembalian uang oleh kontraktor ke kas daerah itu merupakan tugas penyidik kepolisian. Sedangkan laporan dari LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) menyebutkan adanya temuan dugaan penyuapan dari CV Surya Lestari (kontraktor) ke Dinas PU. Kemudian kedua penyidik itu melakukan cek terhadap aliran dana sejumlah Rp 178 juta itu ada pada rekening PU, hanya saja diketahui dana itu dikirimkan dari DPRD Nunukan sebagai bantuan untuk warga. Dari pengembangan penyelidikan itu diketahui kalau dana tersebut digunakan untuk pelebaran sungai yang sering banjir akibat pengerjaan jalan. Pekerjaannya dilakukan PT Buni Raya milik Hj Kartini. Masih cerita Fanani, keduanya kemudian mulai tanggal 3 – 9 November mulai melakukan pemeriksaan kepada pejabat Dinas PU dan juga kontraktor. Ketika pemeriksaan yang dilakukan giliran kepada Hj Kartini, ternyata perempuan yang termasuk pengusaha sukses ini tidak ada di Nunukan. Dikabarkan Hj Kartini berada di Tawau Malaysia untuk berobat. Karena alasan ingin menuntaskan pekerjaan penyelidikan tersebut, akhirnya AKP M Arief Fanani dan Brigpol Yusuf berangkat ke Tawau Malaysia pada tanggal 10 November. Tapi Fanani mengaku upaya mengejar perempuan sampai Tawau mengalami kegagalan, karena Hj Kartini sudah bertolak ke Makassar. "Kita lalu pulang keesokan harinya dan melakukan pengecekan ke lapangan. Hasilnya tidak ada pelanggaran yang dilakukan Hj Kartini. Proyeknya berjalan sesuai kontrak kerja, dan kewajiban yang dilihat sebagai potensi kerugian itu sudah dibayarkan," bela Fanani. Apa benar alibi yang dikemukakan Fanani? Dan bagaimana ia bisa sampai ke Tawau Malaysia, sementara tidak ada surat izin dari pimpinannya? Yoyok Subagio, Kabid Propam Polda Kaltim, menambahkan, setidaknya sudah ada dua pelanggaran yang dilakukan Fanani dan Yusuf. Pelanggaran itu menyangkut kedisiplinan dan kode etik. Sementara untuk dugaan kasus suap, masih dalam penyelidikan. Dari Nunukan diperoleh kabar kalau kedatangan kedua penyidik Tipikor Polda itu sudah dipantau oleh sejumlah kontraktor rekanan Dinas PU dan juga kalangan aktivis LSM di sana. Bahkan gerak-gerik kedua penyidik tersebut telah menjadi perbincangan warga, karena ada pihak yang berusaha memanfaatkannya. Cerita yang diperoleh BONGKAR! menyebutkan, sejumlah kontraktor yang diduga terlibat masalah dan namanya masuk dalam temuan BPK, didatangi oleh seorang oknum yang mengaku menjadi fasilitator. Para kontraktor ini dimintai uang sekitar Rp100 Juta dengan alasan agar kasusnya ditutup. Ketika dikonfirmasi kepada Fanani, ia juga mengakui kalau mendengar cerita memang ada yang memanfaatkan kedatangan mereka di Nunukan. Fanani menyebut nama initial oknum itu, yakni Sy. "Dia itu mantan pejabat pembuat komitmen di Dinas PU, inisialnya Sy. Bersama temannya, dia memeras para kontraktor. Mereka minta uang dan bilang untuk diberikan kepada penyidik Tipikor," kata Fanani. Toh, apapun alasan yang muncul, polisi terlanjur kehilangan muka dengan kasus ini. Apalagi disebut-sebut keberangkatan kedua oknum polisi itu didampingi oleh tiga pejabat Dinas PU Nunukan dan juga beberapa orang kontraktornya. Secara etika seorang penyidik tidak diperkenankan ’dekat-dekat’ dengan orang yang diperiksanya, apalagi kalau sampai ketahuan keduanya dibayari ongkos, makan dan hotelnya selama di luar negeri. *ch siahaan

Baca Lebih Lengkap Artikelnya....

Yang Terlupakan di Ujung Indonesia

Yang Terlupakan di Ujung Indonesia Sebatik
Benaeng Ulunati 09-02-07 08:33
Kemiskinan masih saja melilit perbatasan Indonesia. Di Kecamatan Kerayan, Sebatik, Kalimantan Timur, satu-satunya cara untuk keluar masuk dari wilayah ini hanya bisa dilakukan dengan transportasi udara. Pendapatan mereka bahkan 70 persen dialokasikan untuk transportasi. Hanya 30 persen saja untuk keperluan hidup sehari-hari. Ini yang menyebabkan, hingga kini, masyarakat sangat tergantung dengan subsidi transportasi dari pemerintah, baik pusat atau daerah. Kondisinya memang tidak mudah. Terlebih sudah setahun ini pemerintah pusat menghapuskan subsidi transportasi. Subsidi transportsi ini memang dirasa memberatkan, meski paling penting. Kebutuhan transportasi bagi Kecamatan Kerayan memang sangat vital. Hanya dengan cara inilah, masyarakat bisa berinteraksi dengan sanak keluarga mereka di kecamatan lain di Sebatik seperti Kecamatan Nunukan, Kecamatan Sebatik, Kecamatan Kerayan Utara dan Selatan (pemekaran baru) dan Kecamatan Sebuku, Kecamatan Lumbis dan Kecamatan Sembakung. Yang lebih utama lagi, transportasi ini pula yang menghantarkan penduduk bisa melakukan aktivitas ekonominya. Meskipun pemerintah sudah membangun jalan-jalan tembus di perbatasan kedua negara, tetapi itu belum memadai. Kurang lebih Rp 5-10 miliar dana subsidi dikucurkan pemerintah pusat, padahal seharusnya dana tersebut masih diperlukan dua kali lipatnya lagi atau kurang lebih Rp 20 miliar. “Penduduk bertambah, begitu juga dengan kebutuhan sosial lainnya. Tapi pemerintah pusat beranggapan hanya akan memanjakan rakyat kalau terus memberikan subsidi,” paparnya. Sama dengan wilayah lain di Sebatik, untuk kebutuhan sembilan bahan pokok minus beras, lebih banyak didatangkan dari Malaysia. Meskipun begitu, beras yang diproduksi masyarakat lokal seringkali jatuh harganya ketika dijual di perbatasan. Beras per gantang atau 3,8 liter harusnya dihargai 20 ringgit, tetapi seringkali harganya turun menjadi 7-8 ringgit saja.Sarana transportasi memang menjadi masalah besar bagi wilayah yang naik daun ketika kasus Ambalat mencuat, baik di Kerayan atau Sebatik. Banyak pejabat yang silih berganti mengunjungi Ambalat. Nasionalisme seakan diukur dari pernah tidaknya kaki melangkah di tapal batas Desa Aji Kuning, Sebatik. Tapi situasi tidak banyak berubah sepeninggalan pejabat yang silih berganti datang. Jalan-jalan yang sudah dibangun masih berupa agregat. Selaput tipis aspal sudah koyak di sana sini. “Cukup menghibur rakyat bahwa jalan mereka pernah diaspal,” kata Herman Baco, penduduk setempat yang mengantar kami, rombongan dari Departemen Pertahanan (Dephan) yang melihat perbatasan itu beberapa waktu lalu. Sulitnya transportasi ini pula yang menyebabkan warga memilih transaksi dengan Malaysia, tepatnya dengan Tawau yang terletak di Sabah. Kakao, sawit, dan ikan serta kebutuhan lain lebih mudah didapatkan dari Malaysia dari pada di Tarakan. Ongkos transportasi pun jauh lebih murah. Cukup dengan waktu 20 menit ke Tawau dan membayar 10 ringgit atau setara dengan Rp 25.000 daripada harus menempuh dua jam ke Tarakan dengan biaya hampir Rp 100.000. “Kami belanja di Malaysia. Pagi berangkat dengan kapal sendiri, sore kembali ke sini. Dagangan terjual, pulang bisa bawa barang dagangan lain,” ujar Saedah, warga Aji Kuning. Ia biasa membawa pisang, kelapa, dan hasil bumi lain yang laku dijual di Malaysia. Paling tidak dua kali seminggu, ia ke luar negeri. “Tiap hari kita keluar masuk juga bisa. Jadi kami ini paling sering ke luar negeri,” ujarnya. Saedah yang asli Kediri ini sudah sejak 1989 tinggal di perbatasan tersebut. Selain itu, warga Sebatik juga biasa menjual hasil bumi secara overskip, dilakukan dari kapal ke kapal di tengah laut.

Pos Imigrasi
Pembangunan wilayah perbatasan memang tidak sepesat di daerah lain. Bila warga Malaysia memandang ke Sebatik, yang tampak hanya gelap yang pekat. Berbeda dengan pandangan dari Sebatik ke ujung Tawau di malam hari.
“Kami hanya ingin pemerintah memberikan kami jalan dan dermaga. Itu sarana kami untuk bisa bertahan hidup dan memperbaiki kondisi ekonomi. Kalau jalan pun tidak punya, dermaga tidak ada, wilayah ini akan sangat sulit maju,” ujar Alimin, warga setempat. Ia juga berangan-angan, supaya dibangun pos imigrasi dan bea cukai di Sebatik. Cara ini menurutnya akan lebih ekonomis, dari pada harus ke Nunukan hanya untuk mendapatkan cap pos imigrasi. Tidaklah berlebihan keinginan Bupati Nunukan agar wilayah perbatasan mendapat perhatian khusus. Di Tawau yang hanya berjarak kurang lebih lima mil saja, infrastruktur berupa jalan, listrik, air bersih, pelabuhan, rumah sakit, sekolah, dan fasilitas lain yang lengkap dan memadai. Tidak berlebihan bila masyarakat Kerayan dan Sebatik membutuhkan jalan dan dermaga, tanpa fasilitas ini, harga semen di Kerayan tetap akan Rp 400.000 per sak dan harga gula serta beras yang mencapai Rp 10.000 dan Rp 15.000 per kilonya. Mereka yang terlupakan di ujung Indonesia, dan makin miskin karenanya.tim

Baca Lebih Lengkap Artikelnya....

Pulau Kecil dengan Dua Negara Berdaulat

Pulau Kecil dengan Dua Negara Berdaulat
Tanggal : 28 Sep 2005
Sumber : Kompas

Prakarsa Rakyat, Oleh: Wisnu Dewabrata

Sepintas orang tentu tidak akan terlalu memerhatikan sebuah batu, berukuran panjang dan lebar sekitar 50 x 50 sentimeter, yang tergeletak di salah satu sudut jalan tanah di Desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. Boleh jadi masyarakat sekitar berpikir batu itu batu biasa. Hanya karena kehadiran sejumlah orang dari Departemen Pertahanan sajalah yang membuat batu tersebut menjadi sedikit istimewa, Selasa (20/9) siang itu. Menurut Kepala Subdinas Batas Wilayah Direktorat Strategi Pertahanan Dephan Kolonel CTP Juni Suburi, batu itu adalah salah satu dari 18 patok penanda wilayah perbatasan dua negara, Indonesia dan Malaysia, yang berada pada posisi 4º10' Lintang Utara (LU). Menurut Suburi, patok batu itu ditanam sebagai penanda batas wilayah kedua negara, yang ditentukan berdasarkan konvensi di antara pemerintah penjajah kedua negara, Inggris dan Belanda, yang dilakukan tiga kali, yaitu tahun 1891, tahun 1915, dan terakhir tahun 1928. Garis batas wilayah kedua negara di pulau itu adalah 4º10' LU. Di sekitar patok batu di Desa Aji Kuning itu berdiri rumah kayu semipermanen milik penduduk. Beberapa bangunan malah didirikan di atas tanah wilayah kedua negara sesuai dengan posisi patok batu tadi. Desa Aji Kuning memang salah satu desa di Kecamatan Sebatik yang berlokasi tepat di titik perbatasan. Salah seorang warga desa berseloroh, setiap hari ia sanggup pergi pulang ke luar negeri secara gratis. Caranya, cukup berjalan melangkahi patok batu tadi. Tidak cuma itu, seseorang juga bisa dalam waktu bersamaan berada di dua negara berbeda. Sebelah kaki memijak wilayah Malaysia, sementara sebelah kaki lagi di Indonesia.Suburi memaparkan, saat dilakukan pengukuran ulang oleh tim survei kedua negara pada tahun 1982-1983, tim menemukan ada ketidakakuratan sebesar 4" pada patok-patok yang ditanam. Selisih itu mungkin muncul karena teknologi yang kita pakai sekarang jauh lebih canggih dan presisinya lebih akurat. Jika dikonversikan, selisih 4" itu setara dengan 103 hektar. Sayangnya, Malaysia belum sepakat soal itu, ujar Suburi. Dephan, kata Suburi, setidaknya mencatat 10 titik persoalan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia yang terjadi di Kalimantan. Sebatik salah satunya. Sembilan titik masalah perbatasan lainnya ada di Tanjung Datuk, titik B 2.700-B 3.100, Sungai Senapad, Sungai Simantipal, dan titik C 500-C 600 (kelimanya di Kalimantan Timur), juga di Gunung Raya, Batu Aum, titik D 400, dan Gunung Jagoi di wilayah Kalimantan Barat. Menurut Suburi, selama ini kendala utama penanganan wilayah perbatasan terkait persoalan infrastruktur jalan dan akses komunikasi untuk mempermudah pengawasan wilayah perbatasan yang ada secara lebih intens. Selain itu, kendala juga muncul karena keterbatasan fasilitas pos pengamanan perbatasan. Kebanyakan bangunan pos-pos pamtas (keamanan perbatasan.Red) itu masih berupa bangunan semipermanen, sementara untuk satu pos berisi 20-30 personel, ujar Suburi. Persoalan masalah perbatasan menjadi sedikit lebih seru ketika Camat Sebatik Slamet Riady mempertanyakan satu isu yang berkembang saat itu ke rombongan peninjau dari Dephan. Menurut Slamet, otoritas Malaysia berencana membangun pagar sepanjang wilayah perbatasan, termasuk di Desa Aji Kuning. Hal itu cukup meresahkan karena selama ini penduduk ada yang membangun rumahnya tepat atau berdekatan dengan titik perbatasan. Bahkan, walau hanya berseberangan dan dipisahkan ruas jalan tanah selebar satu kendaraan roda empat, sejumlah rumah warga bisa jadi berdiri di dua negara berbeda. Namun, mereka tetap berstatus warga negara Indonesia. Slamet meminta pemerintah turun tangan mengantisipasi masalah itu. Pemerintah perlu merelokasi penduduk yang rumahnya terancam terkena dampak pembangunan pagar pembatas oleh Malaysia itu. Banyak warga kami yang tinggal di sini bekerja di Malaysia. Malah anak-anak mereka pun disekolahkan di sana walau dibatasi tidak boleh lebih tinggi dari tingkat sekolah menengah pertama, ujar Slamet. Lebih lanjut persoalan lain terkait masalah perbatasan juga diungkap Wakil Ketua DPRD Kabupaten Nunukan Abdul Wahab dari PDI Perjuangan. Ungkapan itu disampaikan saat tatap muka rombongan Dephan dengan unsur musyawarah pimpinan daerah Kabupaten Nunukan, Selasa malam. Persoalan klise yang terjadi di sana, menurut Wahab, terkait praktik pembalakan liar dan penyelundupan kayu ke Malaysia yang sudah berlangsung sejak lama. Menurut Wahab, dalam sehari ada sekitar lima kapal tongkang (jongkong) berkapasitas muat 50 meter kubik kayu gelondongan pergi pulang Sebatik-Malaysia membawa kayu-kayu ilegal. Jika diasumsikan dalam sebulan ada 20 hari efektif kegiatan mondar-mandir seperti itu, diperkirakan dalam sebulan 5.000 meter kubik kayu dibawa ke negeri jiran itu secara ilegal. Komandan Pos TNI Angkatan Laut Satuan Tugas Marinir Sungai Pancang Letda (P) Welly Udianto menolak anggapan bahwa kawasan Pulau Sebatik rawan praktik penyelundupan. Menurut dia, kalaupun ada, para penyelundup biasanya lebih memilih masuk dari kawasan Pulau Sipadan-Ligitan karena lebih tidak berisiko. Menurut Welly, untuk Pulau Sebatik, pos TNI AL terbagi dalam dua unit gugus keamanan laut, yaitu di Sungai Nyamuk dan Sungai Taiwan. Pengamanan mereka diperkuat dengan satu unit kapal patroli keamanan laut Sembakung, satu unit speedboat berkekuatan 75-PK dengan lima personel. Selain itu, di pulau ini juga ditempatkan 409 personel TNI AD Batalyon-613 yang diperbantukan ke Komando Distrik Militer 09-11 dan Komando Rayon Militer 019-02 Sebatik. Dengan pengamanan ketat, apakah masih ada praktik penyelundupan? Bisa ya, bisa juga tidak. Akan tetapi, kenyataannya, tidaklah sulit menemukan barang kebutuhan sehari-hari produksi Malaysia di Sebatik. Barang itu dijual di warung kecil dengan rupiah dan ringgit Malaysia.tim

Baca Lebih Lengkap Artikelnya....

Perhatikanlah Kami di Perbatasan!



Perhatikanlah Kami di Perbatasan!
Asurandi - Surabaya

Sepadan, Ligitan, Ambalat, Atambua, Sebatik dan berbagai daerah diperbatasan negara ini sangat butuh perhatian, bukan hanya slogan saat kampanye tapi juga ditunggu tindakan nyata.

Seorang remaja laki-laki mengenakan pakaian putih dan celana panjang abu-abu berjalan santai diantara perbatasan dua Negara, Indonesia-Malaysia sambil mengernyitkan dahi memandang jauh kemudian matanya berbinar-binar, rasanya sesak dada membandingkan kedua Negara serumpun ini diperbatasanya, mudah sekali membedakannya. Pengalaman pribadi ini masih kuingat walaupun sudah hampir lima tahun berlalu. Perjalanan ke pos lintas batas (PLB) Entikong, saat itu adalah tour sekolahku SMA Negeri 1 Ngabang. Jarak dari kotaku ke Ibu kota Propinsi Kalimantan Barat yaitu Pontianak sejauh 177 km sedangkan jarak kotaku ke perbatasan Entikong Indonesia – Tebedu Sarawak Malaysia cuma sejauh 140 km. Sungguh ini perjalanan yang mengesankan karena dari hal ini aku belajar kedua Negara dari cara mereka mengelola perbatasannya. Indonesia negaraku dan Malaysia Negeri jiran kita.Sesak dadaku waktu itu karena perih akan realita yang kulihat diperbatasan kedua negara, Indonesia yang kubanggakan rasanya hancur berkeping-keping saat itu.Realita apakah yang kulihat ? akan saya paparkan. Melihat areal perbatasan di wilayah Indonesia, berjejalan pedagang kaki lima yang tidak teratur dipasar yang dekat sekali dengan kantor imigrasi Indonesia, tidak jauh dari itu terdapat tempat prostitusi bahkan dipinggir-pinggir jalan raya utama banyak terdapat warung makan kaki lima yang tidak layak, sampah berserakan dipinggir-pinggir jalan, para calo valas (valuta asing) yang berkeliaran menawarkan penukaran uang dari Rupiah ke Ringgit Malaysia ataupun sebaliknya, parkir kendaraan yang sangat tidak mengindahkan estetika, begitu kompleks sekali rasanya apa yang kulihat saat itu. Ketika saya melangkah masuk ke wilayah Malaysia, yaitu Tebedu setelah melewati kantor imigresyen Malaysia (logat melayu untuk pengucapan kata immigration). Masuk tanpa paspor ketika itu dibolehkan bagi pelajar Indonesia yang berseragam, waktu itu kami cuma ijin masuk melihat wilayah Malaysia, pemandangannya sangat jauh berbeda. Jalan raya yang bersih dan mulus, banyak pepohonan disekitar jalan raya, tidak ada sampah yang berserakan dijalanan, tidak ada pedagang kaki lima yang semrawut, parkir yang tampak rapi bahkan para calo valas tidak kelihatan di Wilayah Malaysia. Sungguh inilah yang membuat mataku berbinar, perbedaan pemandangan ini sungguh tragis. Akhirnya saat itu kusempatkan berfoto di wilayah Malaysia dengan rekan-rekanku di plang besar bertuliskan TEBEDU karena aku yakin suatu saat nanti kita mampu mengelola perbatasan Negara kita jauh lebih baik dari Malaysia. Lebaran 2008 kemaren ketika pulang kampung ada hal yang membuatku terkejut, biasanya snack dan minuman kaleng berkarbonat saja yang kutemukan dirumah adalah produk SDN BHD (perusahaan-perusahaan Malaysia) tetapi ketika itu aku temukan tabung gas dirumah adalah punya PETRONAS. Lha, apa yang sebenarnya terjadi ??? 17 tahun hidup di pedalaman Kalimantan Barat aku merasakan sepertinya kami yang hidup jauh dari pulau Jawa ini, bukan bangsa Indonesia. Kenapa ??? karena seperti di anak tirikan, pembangunan di pulau Jawa begitu pesat, tingkat kualitas pendidikan di Jawa jauh lebih baik dibandingkan ditempatku begitu yang kulihat di televisi waktu itu, untuk menonton channel televisi Indonesia saja kami harus membeli perangkat parabola lengkap dengan receivernya itupun kadang gambarnya belum tentu bagus sedangkan untuk menonton televisi Malaysia cuma butuh antenna setinggi 4-5 meter sudah bisa ditonton dengan kualitas gambar yang bagus tanpa perlu membeli perangkat parabola dan receiver yang waktu itu cukup mahal harganya. Produk-produk makanan dan minuman Malaysia lebih mudah didapatkan dan harganya lebih murah dibandingkan dengan produk Indonesia. Begitu juga kasusnya kenapa dirumahku menggunakan gas dari PETRONAS karena gas dari PERTAMINA stock di kotaku habis dan yang adapun harganya mahal sekali, salahkah kami yang membeli produk Negara lain dan banyak diantara kami yang rasa Nasionalisme nya mulai meluntur ??? Walau sekarang sudah masa otonomi daerah tapi kondisi berubah maju dengan lambat, bahkan sudah jadi rahasia umum di Kalimantan Barat bahwa PLB Entikong adalah salah satu gerbang human trafficking atau perdagangan manusia. Penyelundupan-penyelundupan barang pun banyak sekali yang dilakukan oleh “preman” yang berseragam dan mereka juga sering melakukan pungutan liar (pungli) pada TKI illegal yang melintas atau orang-orang Malaysia yang masuk bahkan dari pungli itu mereka bisa mendapatkan 3 juta rupiah setiap orang dalam satu hari ketika lagi ramai, informasi ini kuketahui langsung dari temanku yang sering melakukan penyelundupan peralatan elektronik dari Malaysia yang harganya jauh lebih murah di bandingkan dengan harga pasar di Indonesia dan aparat yang bertugas dilapangan, chaos sekali kondisinya. Inilah kebiasaan yang mulai membudaya dan sudah jadi rahasia umum, tentunya praktek illegal seperti ini harus dihapuskan ! Kita memang masih payah mengelola wilayah perbatasan. Dari berita yang kubaca, kondisi pulau Sebatik, propinsi Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan Sabah Malaysia tidak jauh berbeda. Kondisi jalan di pulau ini berupa jalan yang tidak beraspal, jika hujan mengguyur maka akan susah melintasi jalanan daerah ini karena becek dan licin. di Kotanya, kondisinya relatif lebih ramai, ada berbagai jenis kendaraan dan listrik, namun listrik yang ada di pulau ini sangat minim, sehingga sangat sulit memperoleh fasilitas listrik yang bisa digunakan untuk mendukung industri menengah apalagi untuk industri besar, tentunya ini salah satu penghambat kemajuan. Dari pulau Sebatik, jika kita memandang ke arah utara, maka akan terlihat dengan jelas kota Tawau Malaysia, jika melihat pemandangan kota Tawau dan kemudian membandingkan dengan kondisi Sebatik saat ini sungguh bagaikan bumi dan langit. kota Tawau begitu maju dan berkembang pesat secara ekonomi, sementara Sebatik, masih saja diam di tempat dan tidak beranjak. Inilah gambaran nyata dari kondisi daerah perbatasan di Negara kita, mungkin kondisi ini tidak jauh berbeda di daerah perbatasan dengan Papua Nugini maupun Timor Leste. Banyak hal tentunya yang masih bisa kita lakukan untuk memperbaiki kondisi ini, karena wilayah perbatasan sangat rentan. Menurut saya, pembangunan infrastruktur yang berkesinambungan dan peningkatan kualitas pendidikan harus jadi prioritas sehingga rasa nasionalisme yang luntur itu dapat terobati dengan kepedulian Negara yang tidak mendiskriminasikan daerah tertentu dalam pembangunan. Pemerintah daerah, pemerintah pusat, pihak swasta dan masyarakat setempat harus bekerja sama untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di perbatasan sehingga tidak terulang lagi kasus lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan maupun Timor-timur, tentunya ini menjadi tugas rumah kita semua dan butuh kerja keras semua pihak untuk mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan berdaulat.(tim)

Baca Lebih Lengkap Artikelnya....

Hidup di Tapal Batas Sebatik

Hidup di Tapal Batas Sebatik
Editor : Lucky Marbun
Reporter : Albert Bembot
Nunukan Zoners Kaltim - Bagaimana rasanya hidup di perbatasan dua negara ?. Tim Teropong belum lama ini mengunjungi Pulau Sebatik di Kalimantan Timur terbelah dua, satu milik Malasia dan satu lagi, kita – Indonesia. Penduduk di sini harus menggunakan dua mata uang yang berbeda. Atau rumah yang juga terbagi dua. Begitulah hidup di tapal batas. Hari masih pukul sembilan pagi, saatnya kami bergegas dari Kota Tarakan dengan menumpang helikopter TNI Angkatan Darat. Perjalanan ke Sebatik tidaklah mudah, karena letaknya sangat jauh dan sulit dicapai dengan jalan darat. Kalimantan Timur masih diliputi hutan lebat, meskipun disana – sani terlihat titik – titik tandus karena pohonnya yang sudah ditebang. Pulau ini letaknya disebelah timur laut Kalimantan. Luasnya sekitar dua ratus sembilan puluh sembilan kilo meter persegi. Secara administratif dibagi dua antara Indonesia dan Malaysia. Bagian utara dikelola negara bagian Sabah - Malaysia. Sedangkan bagian selatan masuk Kabupaten Nunukan Propinsi Kalimantan Timur. Kami mampir lebih dahulu ke Pulau Nunukan yang berbatasan dengan Malaysia. Dari sini kami akan menggunakan perahu, untuk menyebrang ke Pulau Sebatik. Dari dermaga Sedadap di Pulau Nunukan, perjalanan ke dermaga Manstika di Pulau Sebatik, kurang lebih limabelas menit dengan perahu motor. Biayanya pun tergantung cuaca dan jumlah penumpang. Kalau cuaca lagi bersahabat biaya penyebrangan hanya limabelas ribu rupiah. Tetapi jika lagi ombak besar biaya tiket yang harus dibeli melonjak mencapai lima puluh ribu perorang. Kadang penumpang harus menanti cukup lama, bila cuaca buruk. Sebagian besar mereka, mereka hendak pergi ke Tawao, wilayah Malaysia yang letaknya di sebrang Pulau Sebatik. Pulau Sebatik pernah ramai dibicarakan orang ketika ketika terjadi eksodus besar – besaran TKI dari Malaysia. Dan inilah Pulau Sebatik. Barangkali pulau ini satu – satunya di dunia yang terpaksa harus dibelah dua, antara kita dan Malaysia. Kesan pertama tandus dan gersang. Kondisinya hampir tidak ada bedanya dengan Pulau Nunukan. 46 tahun lalu, pulau ini menjadi saksi pertempuran hebat antara Indonesia dan Malaysia, mempersoalkan status Kalimantan. Dari dermaga, selama satu jam kami melewati jalan darat, yang tidak nyaman menuju Kota Sei Nyamuk, Ibu Kota Kecamatan Sebatik. Bercengkrama di Tapal Batas Penduduk asli di Pulau Sebatik adalah Suku Tidung. Mereka menempati wilayah bagian barat. Selain Tidung, banyak pendatang yang mendiami pulau ini, seperti Bugis – Makassar atau Timor. Sekitar tiga puluh ribu kepala keluarga di sini bermata pencaharian sebagai petani coklat dan kelapa sawit. Ada juga yang memilih profesi sebagai nelayan dan pemecah batu. Menarik melihat dari dekat kehidupan mereka di Desa Aji Kuning, desa unik yang terbelah, satu Indonesia, satu lagi wilayah Malaysia. Dari delapan desa di Kecamatan Sebatik, memang ada tiga desa, termasuk Desa Aji Kuning yang berbatasan langsung dengan negara bagian Sabah. Dengan mudah kita melihat terbelahnya desa ini dari rumah milik Mappangarah. Sepintas tidak ada yang istimewa dari rumah ini. Ternyata jika kita perhatikan, rumah milik Mapanggarah ini berdiri diatas wilayah dua negara. Bagian depan rumah ini berada di wilayah Indonesia, sedangkan bagian belakang atau dapurnya berada di wilayah Malaysia. Garis batas memang tidak memisahkan dengan jelas, penduduk di perbatasan dua negara ini. Bahkan ada warga negara kita yang tinggal di Malaysia, sebagian justru masih keluarga atau kerabat Mapanggarah. Ketidakjelasan ini sudah lama terjadi. Sebenarnya Desa Aji Kuning secara De Jure masuk Malaysia, namun penduduk Indonesia sudah tinggal sejak tahun 1975 tidak pernah mempermasalahkannya. Lihat saja, salah satu pos perbatasan ini. Sepintas, sulit membedakan warga negara Indonesia dan Malaysia. Kedua warga negara, sering melintas keluar masuk perbatasan untuk berdagang, mengunjungi keluarga di kedua wilayahnya. Biasanya pedagang Malaysia membeli berbagai hasil pertanian, lalu membawanya ke Tawao – Malaysia yang hanya ditempuh sepuluh menit dengan perahu motor. Yang menarik, kehidupan di Sebatik ini tidak bisa lepas dari kehadiran TNI Angkatan Darat. Maklum wilayah perbatasan. Kehadiran anggota TNI di kampung Aji Kuning sudah menjadi bagian dari masyarakat disini. Dua kali seminggu prajurit – prajurit ini mengajar dan melatih agar siswa – siswi di SDN 010 Aji Kuning ini memiliki wawasan kebangsaan yang tinggi dan semakin cinta akan negerinya.

Mengais Ringgit di Pasar Malam
Mencari ikan, adalah salah satu mata pencarian masyarakat yang tinggal di kamping Aji Kuning Pulau Sebatik. Mereka mengandalkan Tawao – Malaysia untuk pemasaran hasil laut dan komoditi pertanian. Dan ini adalah salah satu tempat penampungan ikan di Pulau Sebatik.
Biasanya nelayan di pulau ini menjualnya para bandar. Lalu dibawa ke Tawao Malaysia dengan harga tiga hingga empat ringgit perkilogramnya. Untuk menambah penghasilan, kaum wanita di pulau ini juga memiliki kesibukannya sendiri. Herlina yang tinggal di kampung sungai Bajao - Sebatik Timur ini, setiap hari sibuk mencari tudai, sejenis kerang yang biasanya berada dibalik pasir. Mencari tudai biasa dilakukan sejak pagi hingga siang, saat air masih surut. Dalam sehari ia bisa mengumpulkan dua kilogram tudai. Tudai ini kemudian di jual kepada pengepul dari Tawao seharga dua ringgit atau sebelas ribu rupiah perkilogramnnya. Tanpa Tawao, barangkali kehidupan di pulau ini berhenti. Semisal beribu – ribu tandan pisang ini, akan membusuk, bila tidak dipasarkan ke Tawao Malaysia.Penduduk menggunakan sungai senyamuk ini, sebagai sarana transportasi ke sana. Seluruh transaksi dilakukan dengan mata uang Ringgit - Malaysia. Sejak lama, penduduk di sini mengandalkan Tawao. Namun belakangan transaksi mulai berkurang. Pasar ini Barangkaloi menjadi salah satu penyebab. Pasar Aji Kuning kini cukup membantu masyarakat di pulau Sebatik. Pasar ini setiap hari buka, bahkan pada malam minggu dibuka hingga pagi hari. Tapi anda heran, melihat barang yang dijual. Sebagian besar berasal dari Malaysia. Kasna, salah satu pedagang, sengaja membeli roti dari Malaysia. Bukan rasanya yang enak, melainkan jaraknya lebih dekat, sehingga kualitasnya tidak cepat rusak. Ringgit memang berkuasa di sini. Ini pertanda Malaysia telah menggerakan perekonomian di pulau ini dan akhirnya penduduk tergantung dengan Ringgit. Pemerintah harus memberikan perhatian lebih di daerah ini, untuk mengikis ketergantungan mereka dengan Ringgit, atau keinginan mereka mewariskan mata uang rupiah kepada anak cucu hanya tinggal mimpi. (Sup)

Baca Lebih Lengkap Artikelnya....

Rabu, 25 Februari 2009

PEMERINTAH RI MINTA RAZIA PATI TIDAK LANGGAR HAM

PEMERINTAH RI MINTA RAZIA PATI TIDAK LANGGAR HAM
Jakarta dan Nunukan 25 February 2009

Nunukan Zoners Jakarta, 25/2/2009 (Kominfo Newsroom) - Pemerintah Indonesia bersedia melakukan kerjasama dengan Pemerintah Negeri Sabah Malaysia dalam penanganan pekerja asing ilegal, khususnya TKI, berkenaan dengan Program Pendaftaran Pendatang Asing Tanpa Ijin (PATI) di Sabah, Malaysia. Namun, penanganan operasi/razia hendaknya dilakukan tanpa melanggar HAM, penuh kesopanan/lunak dan bermartabat, serta tidak merugikan WNI/TKI legal yang bukan termasuk kategori PATI. Demikian dikatakan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Erman Suparno saat meninjau proses pemutihan TKI yang undocumented di kantor Konjen RI Kota Kinabalu, Sabah Malaysia, Selasa (24/2), seperti dikutip siaran pers dari Humas Depnakertrans, Rabu (25/2). Siaran pers tersebut menyebutkan, dalam peninjauan ini Menakertrans didampingi Konjen RI Kota Kinabalu Rudhito Widagdo, Plt. Dirjen Binapenta I Gusti Made Arke, Staf khusus Menteri Eva Yuliana, Kapus AKLN Depnakertrans Guntur Witjaksono dan Atase Ketenagakerjaan Malaysia Teguh Hendro Cahyono. Dalam penjelasannya, Menakertrans mengatakan pendaftaran dan pemutihan TKI merupakan tindak lanjut kerjasama Pemerintah RI dengan Pemerintah Malaysia khususnya di Negeri Sabah sekaligus menindaklanjuti hasil pertemuan Menakertrans dengan Ketua Menteri Sabah pada bulan Nopember 2008. Sampai saat ini telah terdaftar sebanyak 217.373 TKI, termasuk istri dan anak TKI yang telah melakukan proses pemutihan dan pelayanan kelengkapan dokumen yang dilakukan di pelayanan satu atap di KJRI Kota Kinabalu,? kata Menakertrans. Erman juga menambahkan, para TKI umumnya bekerja di ladang yang tinggal di Kota Kinabalu, Tawau, Sandaan, Lahat Datu, Sempurna, Sipitang, Keningau, Kudat dan Tenong. Dalam proses pemutiham ini diharapkan para WNI/TKI di Sabah memberikan kontribusi segera mengurus kelengkapan dokumen dimaksud, dan untuk itu telah disiapkan 150.000 passport dengan biaya 22 Ringgit /Passport (24 halaman). Saat disinggung mengenai adanya kemungkinan pemulangan TKI asal Sabah, Menakertrans menegaskan bahwa Pemerintah Sabah tidak melakukan pemulangan TKI ke Tanah Air. Diprediksi justru akan menambah Tenaga Kerja termasuk TKI, karena relatif sektor yang menonjol disini adalah perkebunan yang selalu membutuhkan tenaga kerja. Dalam kunjungan kerja di Sabah, Malaysia, Menakertrans mengunjungi sekolah anak-anak TKI yang merupakan realisasi program pendidikan anak2 TKI yang merupakan program kerjasama antara kedua negara sebagai tindak lanjut kesepakatan/MoU antara Menakertrans RI dan Menteri DN Malaysia pada 10 Mei 2006. Sampai saat ini telah terealisasi lebih dari 7.000 anak2 TKI yang telah mendapat akses pendidikan. Selanjutnya akan dipenuhi sarana dan prasarana pendidikan sampai keseluruhan anak2 TKI mendapatkan akses pendidikan termasuk penambahan guru dari Indonesia yang semuanya berjumlah 109 guru yang ada. Menakertrans selanjutnya akan ke Nunukan dan Tawau dalam rangka antisipasi persiapan fasilitas embarkasi dan debarkasi Nunukan serta solusi jangka panjang dikaitkan dengan program pembangunan perbatasan dengan sistem Pengembangan Transmigrasi melalui Program Transmigrasi paradigma baru yakni Kota Terpadu Mandiri. (Az/toeb).

Baca Lebih Lengkap Artikelnya....

Nunukan Menuju Batam-nya Kalimantan

Nunukan Menuju Batam-nya Kalimantan
Oleh
Sofyan Asnawie

Nunukan Zoners – Bupati Nunukan H Abdul Hafid Achmad membayangkan sepuluh tahun ke depan kota yang ditanganinya itu benar-benar menjadi sebuah kota. Nunukan menjadi ”Batam-nya Kalimantan” atau bahkan menjadi Ibu Kota Kalimantan Utara. Ia ingin Kota Nunukan tidak hanya sebagai ”kampung” di sebuah kecamatan dan tidak lagi terkenal dengan predikat tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal. Memang, sedikitnya 2.000 TKI dari sana berangkat ke Tawau, Malaysia, setiap tahun. ”Kelak, saya tidak ingin menyibukkan diri pada konotasi kota perdagangan lintas batas, border trade, atau TKI. Paling penting bagaimana mengibukotakan Nunukan,” katanya sambil mengisap rokok tanpa henti. Bupati dan Ketua DPRD Nunukan, Ngatidjan, menilai”Nunukan lama” tidak bisa dipertahankan. Bila tetap kumuh, tidak mungkin menjadi sebuah kota modern. Dan untuk menjadi ibu kota kabupaten, Nunukan dimekarkan ke pinggiran pulau. ”Membuat master plan kota baru,” kata Ngatidjan. Maka mulailah daerah pinggiran dibenahi dan dilakukan pemekaran wilayah. Pelayanan air bersih dibenahi, daya listrik ditambah walau masih biarpet. Infrastruktur seperti jalan dan jembatan juga dibenahi, sekolah-sekolah dibangun menjadi permanen. Ini dilakukan tidak hanya di Nunukan kota, tapi juga di seluruh kecamatan, termasuk Sebatik. Desa Binusan tidak lagi dusun sepi dan dirancang menjadi simpul Nunukan Barat menembus Nunukan Selatan. Sayur-mayurnya dipasarkan ke Tawau, Malaysia, apalagi, kini Pemerintah Sabah, Malaysia, mengarahkan Tawau menjadi lokasi bandara. Kelak Tawau menjadi kota nomor tiga terbesar di Sabah, setelah Kota Kinabalu dan Sandakan. Pemerintah Malaysia memang secara diam-diam membenahi Wallace Bay di Pulau Sebatik, yang berjarak tiga kilometer dari Nunukan. Jutaan ringgit ditanamkan di Wallace Bay yang berbatasan dengan garis lintang 04 derajat 10 menit yang membagi Pulau Sebatik. Malaysia ingin mempertahankan Tawau sebagai pasar utama masyarakat perbatasan di Indonesia ini.
”Kita harus jawab semua tantangan ini,” kata Abdul Hafid. Ia bukan hanya risih melihat Tawau, tapi juga merasa tertantang oleh perkembangan sejumlah kota di sekitarnya yaitu Malinau, Tanjung Selor, dan Tarakan. Maka upaya menyulap Nunukan disiapkan, dengan modal sekitar Rp 1 triliun per tahun dari APBD plus DAU dan dana otonomi dari pusat. Obsesi menjadikan Nunukan sebagai serambi tengah Indonesia dimulai dari Sedadap. Maka Bupati Hafid mengubah citra Sedadap sebagai lokasi penampungan TKI. Bekas penampungan TKI yang pernah heboh saat deportasi besar-besaran TKI dari Malaysia tahun 2001 dan 2003-2004, pelan-pelan terhapus oleh pembangunan Sedadap. Di pantai Sedadap juga dibangun Pangkalan TNI Angkatan Laut. Bila pembangunan Pelabuhan Lemijung selesai, pelabuhan Lemijung akan melayani feri penyeberangan Nunukan–Tawau. Komplek pasar semimodern telah disiapkan di dekat Lemijung, bandar udara ditingkatkan di mana tahun 2010 akan melayani pesawat berbadan lebar terbatas, misalnya jenis Boeing 737-200 atau Airbus.

Beban Daerah Perbatasan

Karena beban sebagai daerah perbatasan, perlu pula ada perhatian serius terhadap akses ke wilayah perbatasan, misalnya pembangunan Desa Simenggaris yang berhadapan dengan Serudong, Malaysia. Simenggaris dengan perkebunan sawitnya kelak dirancang menjadi sebuah kota. Tetapi selama ini, Simenggaris hanya bisa menampung sekitar 1.000 tenaga kerja, sehingga tetap saja Nunukan menjadi”pengekspor” TKI ke Sabah.
Sekitar 1.500 TKI berangkat dari Nunukan ke Sabah setiap bulannya. Awalnya mereka masuk Sabah secara legal, tetapi akibat kenakalan sejumlah toke, tekong dan calo TKI yang memperdaya TKI, akhirnya para TKI itu menjadi ilegal. Dengan gaji 15 ringgit sehari, dipotong levi (pajak) dan uang paspor sampai 5 ringgit, gaji TKI per bulan hanya tersisa 10 ringgit atau sekitar Rp 27.000 sehari atau sekitar Rp 800.000 per bulan. Dibanding Upah Minimum Provinsi (UMP) Kalimantan Timur, angka ini masih di bawahnya, tapi tetap masih banyak yang bekerja ke Malaysia. Selain itu, rencananya pada tahun 2020 Pulau Sebatik dikembangkan menjadi kota otonom. Paling lambat tahun 2020 pula, diyakini pemekaran Nunukan menjadi kabupaten dan kota akan terlaksana, setidaknya Nunukan pulau dan Nunukan daratan. Yang jelas, saat ini Nunukan pulau, sedang disiapkan menjadi kota yang fungsi dan peranannya seperti Kota Batam. ”Kita ingin menjadikan Nunukan sebagai Batam-nya Kalimantan,” kata Bupati Hafid. Untuk itu, Pemerintah Nunukan membangun jalan lingkar pantai, ring road yang membentang di seputar tepi pantai Nunukan. Mantan Kepala Bina Marga Dinas PU Jainuddin P menjelaskan bahwa pembangunan Jalan Pelabuhan– impang Kadir yang mengikuti garis pantai Nunukan, baru sampai pada pengerjaan tanah dan siring.
Rencananya ini menjadi jalan utama dan bagian pantainya bebas bangunan kecuali untuk mangrove, sehingga bagian pantai membentuk lepas pandang dengan lebar badan jalan 30 meter. Jalan ini dibangun dua ruas, dikerjakan mulai 2005. Dari sisi ini Nunukan akan sangat indah. Tahun 2010, jalan tersebut akan mengangkat gengsi Nunukan dan menjadikan pulau itu sebuah kota terencana. Guna membuka jalan tersebut, Pemerintah Nunukan melalui APBD dan subsidi provinsi akan mengeluarkan dana sekitar Rp 47,5 miliar. Nunukan merupakan salah satu dari kabupaten hasil pemekaran Bulungan. Hampir seluruh wilayah utara Nunukan berbatasan langsung dengan dua negara bagian Malaysia yakni Sabah dan Sarawak, sedangkan di timur berbatasan dengan Laut Sulawesi yang juga berhadapan langsung dengan Malaysia. Ambalat adalah bagian dari wilayah perairan Nunukan. Luas wilayah Nunukan 14.263.68 Km2. Penduduk Nunukan kini mendekati 100.000 jiwa, terbagi dalam tujuh kecamatan dan 218 kelurahan desa. Puluhan tahun sudah, Nunukan selalu didikte Malaysia karena perekonomiannya tergantung pada Malaysia dengan Tawau sebagai pasar utamanya. Tetapi pesatnya pembangunan hingga tahun 2020, membuat Malaysia—setidaknya Tawau—harus mengakui pembangunan Nunukan. Pada tahun 2020 itu pula, bila pembangunan konsisten dan konstan, Tawau akan berpaling ke Nunukan. n

Baca Lebih Lengkap Artikelnya....

Cahaya dari Negeri Tetangga


Nunukan Zoners Pontianak. Berpuluh tahun dibekap gelap, sebagian desa di batas negara itu kini bermandikan cahaya. Listrik dari negeri tetangga yang mengalir nonstop 24 jam ke sana telah mengirim cahaya itu. Cahaya yang tak sanggup diberi oleh negeri sendiri. Kami baru bisa merasa senang sekarang. Listrik sudah bisa dinikmati siang malam seperti di kota,” kata Maria (30), warga Desa Kaliau, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Maria gembira menyikapi listrik dari Malaysia yang mengalir sejak 23 Januari 2009. Sebelumnya, warga desa yang berbatasan dengan Kampung Biawak, Negara Bagian Sarawak, Malaysia, itu hanya bisa menikmati listrik saat malam. Itu pun aliran listriknya sering mati hidup.Tak hanya Maria yang bersukacita, PT PLN (Persero) juga mempersiapkan seremoni peresmian pada 26 Februari mendatang di Sajingan Besar, yang rencananya dihadiri Direktur Utama PT PLN Fahmi Mochtar.

Tak mampu

Meski pahit, mesti diakui, bangsa Indonesia yang kaya sumber daya alam dan energi tak mampu memenuhi kebutuhan dasar warganya. Badan Persiapan Pengelolaan Kawasan Khusus Perbatasan Kalbar merilis, hingga 2008, dari 116 desa di Kalbar yang berbatasan dengan Malaysia, masih sekitar 67 desa atau sekitar 58 persen yang belum teraliri listrik PLN.
Dari 49 desa yang sudah ada jaringan PLN itu, belum semua warganya menikmati listrik PLN. Tercatat ada 36.612 keluarga yang menghuni 49 desa tersebut dan hanya 14.757 keluarga yang menikmati listrik dari PLN. Sekitar 1.831 keluarga mengusahakan sendiri listrik dengan genset atau pembangkit listrik tenaga surya. Gaus (52), warga Dusun Gun Tembawang, Desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Sanggau, misalnya, hingga detik ini masih harus mengeluarkan biaya membeli solar sekitar Rp 1.080.000 per bulan untuk menghidupkan genset pukul 18.00-24.00. Sementara Saset (40), petani di Dusun Gun Jemak, sejak lahir hingga sekarang masih menggunakan pelita untuk penerangan rumahnya pada malam hari. ”Genset barang yang mahal bagi kami,” katanya. Untuk memenuhi kebutuhan itu, PT PLN memutuskan membeli listrik dari Malaysia. Kontrak kerja sama pembelian listrik dari Malaysia tersebut meliputi 200 kVA untuk memenuhi kebutuhan di Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, dan 400 kVA untuk memenuhi kebutuhan di Badau, Kabupaten Kapuas Hulu. Daya listrik dari Malaysia ini dibeli PLN sebesar 30,2 sen ringgit Malaysia atau sekitar Rp 936 tiap kWh. Sedangkan PLN menjual kepada masyarakat di perbatasan tetap Rp 500 tiap kWh. Kerja sama pembelian listrik dari Malaysia mulai intensif dibahas pertengahan tahun lalu. Pada 10 Juli 2008, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral melalui Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi memberikan persetujuan terhadap pembelian listrik dari Malaysia untuk wilayah perbatasan itu. Pembelian listrik dari Malaysia itu karena kebutuhan listrik di perbatasan yang semakin meningkat, sementara kemampuan PLN untuk memenuhi kebutuhan itu terbatas. Pembelian listrik dari Malaysia juga dapat menekan kerugian yang selama ini diderita PLN untuk mengoperasikan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) di kedua wilayah itu. Biaya operasional PLTD PLN di Sajingan Besar dan Badau mencapai Rp 166 juta tiap bulan. Sementara dengan membeli listrik dari Malaysia, PLN hanya perlu mengeluarkan subsidi Rp 74 juta tiap bulan.

Ketergantungan

Bupati Sambas Burhanuddin A Rasyid mengatakan, pasokan listrik dari Malaysia sangat berarti bagi warga perbatasan. Bahkan, dengan bersemangat ia mengungkapkan, wilayah yang dialiri listrik dari Malaysia itu kemungkinan akan diperluas hingga ke Kota Singkawang dan Kabupaten Bengkayang.
Namun, pemerhati sosial di Kalbar, William Chang, justru melihat pembelian listrik dari Malaysia ini sebagai salah satu bentuk kelemahan dan ketidakmampuan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. ”Pemerintah harus belajar, kenapa Malaysia bisa, sementara kita tidak. Padahal, Sarawak dan Kalimantan berada di daratan yang sama, kekayaan alamnya sama. Bahkan, lebih kaya Kalimantan,” kata Chang. Pembelian listrik dari Malaysia meningkatkan ketergantungan warga perbatasan terhadap Malaysia, yang selama ini sudah bergantung pada berbagai produk Malaysia dari gula hingga gas. Indonesia menjadi pasar bagi produk jadi Malaysia dan Malaysia menerima produk mentah Indonesia. Nilai tambah ekonomi ada di Malaysia. ”Dilihat dari segi pertahanan dan keamanan wilayah, posisi tawar Malaysia di sana juga jelas lebih kuat,” katanya. Kekhawatiran itu juga tersirat dalam pernyataan Wakil Gubernur Kalbar Christiandy Sanjaya. Ia berharap, pembelian listrik dari Malaysia untuk warga perbatasan ini bukan untuk jangka panjang. ”Jika skema pembangunan energi listrik Indonesia pada 2010 terwujud, kita tidak perlu lagi bergantung pada pihak luar negeri,” katanya. Pembelian listrik dari Malaysia untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kalimantan adalah ironi terbesar negeri ini. Betapa tidak, Kalimantan adalah salah satu produsen batu bara terbesar dunia. Batu bara Kalimantan telah memberi cahaya kota-kota di Pulau Jawa hingga ke Korea dan Jepang. Namun, kekayaan alam Kalimantan ini tak mampu memberi cahaya kepada penduduk Kalimantan sendiri. Coba saja datang ke Palangkaraya menjelang petang. Hari begitu cepat malam karena sebagian besar wilayah kota gelap tanpa listrik. ”Saya sedih, tapi saya tidak ingin menangis,” kata Teras Narang, Gubernur Kalteng, prihatin. (Haryo Damardono/ Ahmad Arif)

Baca Lebih Lengkap Artikelnya....

Batu Bara dan Sawit Meningkat, Rakyat Sengsara

Batu Bara dan Sawit Meningkat, Rakyat Sengsara
Kompas : 24 Februari 2009

Nunukan Zoners Pontianak - Produksi dan volume perdagangan batu bara dan minyak sawit mentah dari Kalimantan makin meningkat dari tahun ke tahun, tetapi tak diiringi kenaikan kemakmuran warga secara signifikan. Masyarakat Kalimantan justru harus menanggung kerugian dengan hancurnya infrastruktur jalan karena jalur trans-Kalimantan didominasi kendaraan industri tambang dan perkebunan sawit yang melebihi tonase. Camat Laung Tuhup M Syahrial Pasaribu, Senin (23/2), mengemukakan, warga di pedalaman Desa Muara Laung, Kecamatan Laung Tuhup, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, harus membeli beras lebih mahal Rp 800 per kilogram dibandingkan dengan kecamatan lain yang jalannya bisa dilalui truk. Di Desa Kanduangan, Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, warga mengeluhkan sulitnya menjual kelapa sawit mereka. Perusahaan sawit yang ada di desa itu hanya mementingkan panenan dari kebun mereka sendiri.”Hasil panenan kami sering membusuk. Mau dijual ke daerah lain sulit karena jalan hancur,” kata Solle (35), warga di daerah perbatasan dengan Malaysia ini. Maria (30), warga Desa Kaliau, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, menambahkan, untuk menjual getah karet dan sayur-mayur, ia harus berjalan kaki sejauh 5 kilometer ke Kampung Biawak, Negara Bagian Sarawak, Malaysia, karena jalan di Kota Sambas rusak parah. Maria juga bergantung dari Malaysia untuk mencari gula, misalnya.

Meningkat

Kesulitan yang dialami masyarakat Kalimantan itu berbanding terbalik dengan produktivitas serta ekspor batu bara dan minyak kelapa sawit daerah ini.
Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kalimantan Selatan Subarjo mengatakan, produksi batu bara Kalsel pada tahun 2007 mencapai 52,2 juta ton dan tahun 2008 mencapai 78,5 juta ton. Sebagian besar batu bara diekspor ke luar negeri dan angka ekspor meningkat tajam dua tahun terakhir, yaitu 40 juta ton pada 2007 dan 50 juta ton pada 2008. Ketua Gabungan Perusahaan Perkebunan Indonesia (GPPI) Kalbar Ilham Sanusi mengatakan, produksi minyak sawit mentah (CPO) di Kalbar per tahun mencapai 700.000 ton, dengan nilai jual di pasar lokal mencapai Rp 4 triliun. ”Produksi sejumlah itu tidak hanya dinikmati pengusaha sawit, tetapi juga sekitar 500.000 pekerja pabrik sawit dan 80.000 petani sawit,” katanya. Perkebunan sawit juga memberi kontribusi menggerakkan perekonomian rakyat. ”Investasi sawit di Kalbar tahun 2008 mencapai Rp 3 triliun dan efeknya luar biasa dalam menggerakkan ekonomi rakyat,” katanya. Di Kaltim, pertumbuhan ekonomi selama 2008 naik sekitar 7 persen tanpa migas dan 3 persen dengan migas. Namun, hancurnya jalan di Kaltim, menurut dosen ekonomi Universitas Mulawarman, Aji Sofyan Effendi, akan memperlambat pertumbuhan ekonomi Kaltim hanya 5-6 persen tanpa migas dan 1-2 persen dengan migas pada 2009. Potensi ekonomi yang hilang senilai Rp 2,1 triliun sampai Rp 4,2 triliun. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kaltim 2009 menunjukkan bahwa dari pendapatan asli daerah Rp 1,5 triliun, sekitar Rp 1,2 triliun di antaranya berasal dari pajak hasil bumi (terutama dari tambang batu bara) dan bangunan serta pajak kendaraan bermotor. ”Pajak yang disetorkan perusahaan jauh lebih kecil daripada dampak perbuatan mereka yang menghancurkan jalan,” kata Aji.

Respons industri

Ketua Dewan Penasihat Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Kalteng Teguh Patriawan mengatakan, hingga saat ini truk tangki pengangkut CPO masih harus melintasi jalan negara trans-Kalimantan. Ini karena jalan negara masih merupakan satu-satunya akses dari pabrik pengolahan menuju pelabuhan laut di Kalteng, di Pelabuhan Bagendang, Kabupaten Kotawaringin Timur, dan di Pelabuhan Bumi Harjo, Kabupaten Kotawaringin Barat.
Ia menilai, perusahaan sawit seharusnya mengendalikan kontraktor pengangkut CPO patuh terhadap batasan maksimal 8 ton agar tidak merusak jalan trans- Kalimantan. Menurut Teguh, perusahaan sawit juga tak memberi kontribusi biaya pemeliharaan jalan, kecuali retribusi di pelabuhan yang diambil oleh pemerintah kabupaten. ”Besarnya sumbangan mereka Rp 10-Rp 20 per kilogram CPO,” ujarnya. Namun, tudingan itu ditentang Ketua GPPI Kalbar Ilham Sanusi yang menyebut kualitas jalan yang rendah sebagai penyebabnya. Beban berat jalan masih terjadi di Kalsel karena 3.000-an truk khusus angkutan batu bara sampai saat ini masih mendominasi pemakaian jalan nasional, khususnya di poros selatan di daerah Kabupaten Kota Baru-Tanah Bumbu-Tanah Laut dan poros tengah di Kabupaten Hulu Sungai Selatan-Tapin-Banjar-Banjarbaru-Banjarmasin.

Dihentikan

Kepala Dinas Perhubungan Kalsel Fahrian Hefni mengatakan, sesuai dengan peraturan daerah penggunaan jalan untuk batu bara dan perkebunan besar, pemakaian jalan umum untuk angkutan batu bara dan perkebunan besar akan dihentikan pada 23 Juli 2009.
”Pantauan di lapangan, saat ini 50 persen jalan khusus sudah ada. Kami harapkan dalam beberapa bulan ini semua jalan khusus itu sudah siap pakai,” katanya. Menurut Fahrian, sebagian truk batu bara juga didatangkan dari Jawa dan Sulawesi yang sama sekali tak dikenai pungutan khusus pemakaian jalan. (FUL/WHY/BRO/RYO/AIK)

Baca Lebih Lengkap Artikelnya....

Kaltim-UEA Kerja Sama Bangun Rel KA

Kaltim-UEA Kerja Sama Bangun Rel KA
Kompas : Senin, 23 Februari 2009
Oleh : Ambrosius Harto

Nunukan Zoners Samarinda, — Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur akan menandatangani perjanjian kerja sama pembangunan rel kereta api di Kabupaten Kutai Timur. Penandatanganan dengan investor dari Uni Emirat Arab itu akan dilaksanakan di Jakarta awal Maret 2009 ini. Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak mengatakan itu di Samarinda, Senin (23/2). ''Rel akan dibangun dari Kecamatan Muara Wahau ke Maloy dan Lubuk Tutung, Kutai Timur,'' katanya seusai Rapat Paripurna IV DPRD Kaltim. Biaya pembangunan rel itu, menurut Ishak, akan menghabiskan dana sekitar 900 juta dollar AS. Semua biaya akan ditanggung investor dari UEA yang telah beroperasi di Muara Wahau dalam bentuk pertambangan batu bara. (BRO)

Baca Lebih Lengkap Artikelnya....

Senin, 23 Februari 2009

Terlibat, Oknum Pemerintah (Juga) Ikut-Ikutan

Terlibat, Oknum Pemerintah (Juga) Ikut-Ikutan
Oleh Abdul Wahab Kiak

Korankaltim.Friday, 30 January 2009 14:40
Nunukan Zoners - Maraknya perambahan hasil hutan, khususnya kayu membuat Wakil Ketua DPRD Nunukan Abdul Wahab Kiak angkat bicara. Menurutnya, tidak adanya Polisi Hutan (Polhut) membuat masyarakat dan sejumlah pihak swasta bahkan oknum pemerintah semena-mena membawa kayu keluar dari hutan untuk diperjualbelikan. Tak hanya dari kawasan KBNK, tapi juga KBK, bahkan Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM). Belum lagi jatanya, sejumlah oknum di lingkungan Pemkab Nunukan ikut bermain dengan melakukan penjarahan kayu tanpa dilengkapi dokumen resmi. Indikator-indikator itu katanya, sudah cukup untuk membentuk Polhut dibawah Dinas Kehutanan (Dishut). Jika tak sera dibentuk, ia khawatir kawasan hutan di Nunukan beberapa tahun ke depan hanya tinggal kenangan. Sebab, ia melihat selama ini tak ada itikad baik dari Pemkab Nunukan untuk menyelamatkan hutan. Justru penjarahan terlihat dibiarkan. "Tidak adanya Polhut membuat sistem pengawasan terhadap penjarahan hutan lemah dan memberi andil besar dalam kelangkaan kayu di Nunukan. Seharusnya Dinas Kehutanan (Dishut) Kaltim segera membentuk Polhut," ujarnya kepada Koran Kaltim. Dengan APBD yang terbatas, menurutnya kecil kemungkinan Dishut Nunukan membentuk Polhut tanpa ada bantuan dari provinsi. Meskipun, saat ini Wahab melihat kinerja kepolisian dalam menindak eksploitasi kayu keluar dari hutan sudah sangat baik, tapi akan lebih baik jika ada petugas khusus yang menjaga keberadaan hutan di Nunukan. "Meskipun ada polisi, tapi wilayah kerja dan jumlah personil mereka terbatas dibandingkan luas kawasan hutan. Alangkah baiknya Polhut berdiri sendiri untuk mengawasi penjarahan kayu hutan secara bebas dan ilegal," tandasnya. Jika membandingkan dengan luasnya kawasan hutan di Nunukan beberapa dekade lalu dengan saat ini, Wahab menilai sangat perlu dibentuk aparat khusus. “Meskipun luasan hutan sudah berkurang, namun untuk mencegah deforetrasi dan degradasi hutan menjadi semakin cepat, perlu sistem pengawasan melekat. Jika Polhut tidak segera dibentuk, bukan mustahil penjarahan hutan akan terus berlangsung dan menambah lama kelangkaan kayu yang saat ini sudah cukup parah di Nunukan," pungkasnya. Sejumlah perusahaan kayu asal Malaysia diduga juga ikut terlibat penjarahan itu. Berdasarkan citra satelit terakhir diperoleh gambaran jelas, jalur jalan logging dari perusahaan kayu Malaysia telah memasuki atau mendekati wilayah Indonesi, terutama di belasan lokasi sekitar TNKM. Citra satelit Landsat 7 Edhanee Thermative Mapper (LTM) akhir tahun lalu memperlihatkan, ribuan meter jalan perusahaan kayu Malaysia berkelok-kelok memasuki wilayah Indonesia. Sekurangnya terdapat 18 lokasi jalan yang melanggar perbatasan serta belasan lainnya bahkan mulai mendekati wilayah perbatasan, di radius 1-2 kilometer dari teritorial Indonesia. Terutama di Krayan Darat dan Huku yang masuk wilayah Nunukan. Ironisnya, sejumlah oknum di lingkungan Pemkab Nunukan disinyalir ikut terlibat, namun, sejauh ini belum didapat kepastian soal kebenarannya. Tetapi, kasus terakhir, di mana Kasatpol PP Nunukan Abdul Kadir harus mendekam di sel tahanan Polres Nunukan bersama 2 bawahannya, Suhedi Tiranda dan M Hadir karena membawa kayu yang diduga ilegal di Komplek Perumahan Sedadap menjadi bukti, masih ada oknum di pemerintahan ang terlibat dalam kasus illegal logging. (kid)

Baca Lebih Lengkap Artikelnya....

Sejarah Terbentuknya Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur

Kabupaten Nunukan adalah salah satu Kabupaten di provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di kota Nunukan. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 14.493 km² dan berpenduduk sebanyak 109.527 jiwa (2004). Motto Kabupaten Nunukan adalah "Penekindidebaya" yang artinya "Membangun Daerah" yang berasal dari bahasa suku Tidung. Nunukan juga adalah nama sebuah kecamatan di Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia.

Kabupaten Nunukan merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Bulungan, yang terbentuk berdasarkan pertimbangan luas wilyah, peningkatan pembangunan, dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Pemekaran Kabupaten bulungan ini di pelopori oleh RA Besing yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Bulungan.

Pada tahun 1999, pemerintah pusat memberlakukan otonomi daerah dengan didasari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Nah, dgn dasar inilah dilakukan pemekaran pada Kabupaten Bulungan menjadi 2 kabupaten baru lainnya yaitu Kabupaten Nunukan dan kabupaten Malinau.

Pemekaran Kabupaten ini secara hukum diatur dalam UU Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Barat, dan Kota Bontang pada tanggal 4 Oktober 1999. Dan dengan dasar UU Nomor 47 tahun 1999 tersebut Nunukan Resmi menjadi Kabupaten dengan dibantu 5 wilayah administratif yakni Kecamatan Lumbis, Sembakung, Nunukan, Sebatik dan Krayan.

Nunukan terletak pada 3° 30` 00" sampai 4° 24` 55" Lintang Utara dan 115° 22` 30" sampai 118° 44` 54" Bujur Timur.

Adapun batas Kabupaten Nunukan adalah:
- Utara; dengan negara Malaysia Timur, Sabah.
- Timur; dengan Laut Sulawesi.
- Selatan; dengan Kabupaten Bulungan dan Kabupaten Malinau.
- Barat; dengan Negara Malaysia Timur, Serawak

Kata Mutiara Hari Ini

Hidup bukan hidup, mati bukan juga mati, hidup adalah mati, mati adalah hidup, hidup bukan sekedar kematian, hidup adalah sensasi dari kematian, mati bukan sekedar kematian, mati adalah sensasi dari kehidupan, kematian dan kehidupan hanyalah sebuah sensasi dalam suasana ketidaknyataan....

Info Visitor