Selamat Datang di Blog Nunukan Zoners Community - Media Komunikasi Informasi Masyarakat Nunukan

Mimpi masa kini adalah kenyataan hari esok.

Anda bisa, jika Anda berpikir bisa, selama akal mengatakan bisa. Batasan apakah sesuatu masuk akal atau tidak, kita lihat saja orang lain, jika orang lain telah melakukannya atau telah mencapai impiannya, maka impian tersebut adalah masuk akal.

Menuliskan tujuan akan sangat membantu dalam menjaga alasan melakukan sesuatu.

Selasa, 03 Maret 2009

Hutan Bakau, Lingkungan Akuatik yang Mulai Rusak

Hutan Bakau, Lingkungan Akuatik yang Mulai Rusak
Oleh
Teuku Kemal Fasya

Jika Anda penggila wisata kota pesisir, jangan lupakan Langsa. Sejarah Langsa sebagai kota pesisir dikenal lama di semenanjung Lamuri (Aceh), selain Bandar Aceh dan Meulaboh. Secara historis kota ini menjadi batu loncatan islamisasi Sumatera Timur, dengan tokoh utamanya Sultan Muhammad Kampai atau dijuluki Teungku Keramat Panjang. Secara antropologis Langsa terkenal sebagai kota multikultur, karena pembauran pelbagai etnis: Jawa, Batak, Melayu, Tapanuli, China, Tamil, dll, sehingga menjadi satu-satunya “kota yang terberkati” di masa konflik. Satu yang pasti menyenangkan dari Langsa adalah pelabuhannya. Jalan menuju Kuala Langsa dilindungi hutan bakau yang rimbun. Matra iklim pun membalur kenyamanan, karena cuaca yang sering berawan dan hujan. Hidrografi kota pelabuhan yang memiliki dua pintu masuk ini pun cukup tenang. Salah satunya karena hempasan angin darat dan laut di Selat Malaka teredam oleh padatnya hutan. Namun, kini sejarah hutan akuatik itu mulai nelangsa. Bakau yang lebat, tempat bergantungnya ratusan fauna seperti kera, bangau, dan tupai mulai raib. Statusnya sebagai hutan lindung tidak menyurutkan pembabatan massal. Pelakunya masyarakat sekitar. Setahun terakhir hutan bakau Kuala Langsa telah hilang separuhnya. Bandul waktu mengumpulkan satu lagi obituari hutan bakau nusantara, dan satu-satunya rimba bakau potensial di Nanggroe Aceh Darussalam.

Lamurnya Hukum
Jika diteliti lebih jauh, kerusakan hutan bakau di Indonesia bukan hanya disebabkan bergeraknya tangan-tangan globalisasi dalam mengembangkan proyek eksploitasi, seperti hutan darat, la-han gambut, atau terumbu karang, tapi juga problem riil masyarakat pesisir. Menurut lembaga pangan PBB, FAO, pemanfaatan hutan bakau Indonesia memberikan tambahan devisa hingga 2 miliar dolar AS pertahun, tapi tidak berimbas pada kesejahteraan masyarakat pesisir. Hasil riset Asian Development Bank (ADB), angka kemiskinan absolut di Indonesia sebagian besar diderita ma-syarakat pesisir (80 persen). Hal ini memberikan gambaran bahwa pemanfaatan potensi hutan akuatik di Indonesia tidak menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama ekonomi. Pengalihfungsian hutan bakau menjadi areal pertambakan telah memupuk proses ketergantungan baru. Hampir seluruh pekerjanya adalah masyarakat lokal yang telah menjadi buruh upah murah dari tanah-tanah yang dahulunya mereka miliki. Krisis ekonomi tahun 1997 telah menyebabkan masyarakat menjual tanah-tanah miliknya, dan memanfaatkan hutan adat atau lindung sebagai tempat bergantung. Belum lagi pengalihfung-sian hutan untuk proyek infrastruktur. Kasus korupsi yang sedang merebak saat ini tentang pengalih-fungsian 600 hektar hutan bakau untuk pembangunan pelabuhan di Tanjung Siapi-api, Su-matera Selatan, menunjukkan fenomena kerusakan permanen bagi akuatik hijau yang seharusnya mampu menghadang abrasi dan produsen oksigen murni bagi daerah pesisir. Akibatnya mudah ditebak. Hutan bakau Indonesia yang sebenarnya terluas di dunia mengalami proses deforestasi ekstrem. Dari 8,6 juta hektare hutan bakau di tahun 1986, kini hanya tersisa kurang 2 juta hektar. Peraturan menteri kehutan yang melarang ekspor kayu bakau tidak menyurutkan praktik pedagangan ilegal. Arang bakau meninggalkan efek harum panggangan dan disenangi konsumen Jepang, Hong Kong, dan Amerika. Bukan rahasia, sebagian besar berasal dari black market Indonesia. Kontradiksi antarperaturan yang pro-konservasi versus pro-eksploitasi semakin berkibas-libas. Ini jelas terlihat dari penerapan Perpu No. 1/2004 yang kemudian berubah menjadi UU No. 19/2004 tentang (eksploitasi) hutan. Pemantik bom waktu yang ditinggalkan Megawati di akhir masa pemerintahannya dipercepat ledakannya oleh Yudhoyono melalui peraturan organik (PP No. 2/2008 tentang pendapatan negara bukan pajak dari eksploitasi hutan lindung). Bahkan kini, Menteri ESDM Pur-nomo Yusgiantoro tengah bergiat me-ngeluarkan Keppres yang memperluas kesempatan eksploitasi hutan bagi pemain baru. Apa gunanya peraturan menteri yang melarang ekspor jika secara internal pemerintah tidak mengurangi ego eksploitasinya atas hutan-hutan nusantara?

Mencabut Kemanusiaan
Secara nasional pemerintah seperti tidak memiliki pilihan maknyus, di te-ngah krisis minyak global yang entah kapan usai. Namun efek kerusakan lingkungan dan kebangkrutan ekonomi jangka panjang juga perlu dipertimbangkan. Makanya, alih-fungsi hutan seperti tidak bersanksi tegas, karena pemerintah juga tidak memiliki program berkelanjutan dalam menangani problem kemiskinan masyarakat pesisir.. Sima-la-kama ini hanya akan terpecahkan jika pemerintah kembali memfungsikan hukum adat, menertibkan logika hukum dan mencabut peraturan-peraturan yang melegalkan praktik komersialisasi hutan, serta mengadvokasi problem kemiskinan masyarakat pesisir dengan program berkesinambungan dan pro lingkungan. Prinsip keseimbangan ekologis sebenarnya dimiliki semua komunitas hutan, baik pesisir atau pedalaman. Di Aceh dikenal hukum adat yang dikelola oleh pang laot. Ia tidak hanya mengatur lalu-lintas pelayaran tapi juga pemanfaatan hutan dan biosfer bakau. Prinsip produksi-konsumsi hutan bakau oleh masyarakat pesisir tempo doeloe sebenarnya tidak sampai menganggu ekosistem utama. Sanksi adat yang kuat dan religio-magis dipercaya mencegah tindakan berlebihan atas hutan. Saat ini kebaikan adat tergerus rasionalitas kapital yang menawarkan mimpi perubahan dan hedonisme. Pembangunan fasilitas komersial seperti hotel dan restoran di wilayah hutan bukan hanya mengubah kultur tapi juga perbudakan ekonomi masyarakat lokal. Masyarakat pesisir paling menjadi babu, office boy, dan satpam di tanah nenek moyang mereka. Mereka tuan tanpa tanah dan harga diri. Moralitas adat perlu kembali dihidupkan. Mencabut sebuah pohon bakau tanpa alasan yang jelas sama de-ngan mencabut satu nilai kemanusiaan masyarakat lokal. Sejuta pohon tercabut sama dengan sejuta resiko yang bakal mereka terima. Pelan atau cepat sejarah kerusakan akan terulang, dan pasti meninggalkan tragedi kemanusiaan.

Penulis adalah dosen Antropologi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari Bersama Membangun Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur

Sejarah Terbentuknya Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur

Kabupaten Nunukan adalah salah satu Kabupaten di provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di kota Nunukan. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 14.493 km² dan berpenduduk sebanyak 109.527 jiwa (2004). Motto Kabupaten Nunukan adalah "Penekindidebaya" yang artinya "Membangun Daerah" yang berasal dari bahasa suku Tidung. Nunukan juga adalah nama sebuah kecamatan di Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia.

Kabupaten Nunukan merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Bulungan, yang terbentuk berdasarkan pertimbangan luas wilyah, peningkatan pembangunan, dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Pemekaran Kabupaten bulungan ini di pelopori oleh RA Besing yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Bulungan.

Pada tahun 1999, pemerintah pusat memberlakukan otonomi daerah dengan didasari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Nah, dgn dasar inilah dilakukan pemekaran pada Kabupaten Bulungan menjadi 2 kabupaten baru lainnya yaitu Kabupaten Nunukan dan kabupaten Malinau.

Pemekaran Kabupaten ini secara hukum diatur dalam UU Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Barat, dan Kota Bontang pada tanggal 4 Oktober 1999. Dan dengan dasar UU Nomor 47 tahun 1999 tersebut Nunukan Resmi menjadi Kabupaten dengan dibantu 5 wilayah administratif yakni Kecamatan Lumbis, Sembakung, Nunukan, Sebatik dan Krayan.

Nunukan terletak pada 3° 30` 00" sampai 4° 24` 55" Lintang Utara dan 115° 22` 30" sampai 118° 44` 54" Bujur Timur.

Adapun batas Kabupaten Nunukan adalah:
- Utara; dengan negara Malaysia Timur, Sabah.
- Timur; dengan Laut Sulawesi.
- Selatan; dengan Kabupaten Bulungan dan Kabupaten Malinau.
- Barat; dengan Negara Malaysia Timur, Serawak

Kata Mutiara Hari Ini

Hidup bukan hidup, mati bukan juga mati, hidup adalah mati, mati adalah hidup, hidup bukan sekedar kematian, hidup adalah sensasi dari kematian, mati bukan sekedar kematian, mati adalah sensasi dari kehidupan, kematian dan kehidupan hanyalah sebuah sensasi dalam suasana ketidaknyataan....

Info Visitor